Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
"Mas lagi nggak ada duit, Kasih. Beberapa bulan ini kerjaan Mas sedang kurang kondusif, jadi kerjaan banyak liburnya."
Kasih menghela napas berat, suaminya selalu saja beralasan seperti itu. Hari ini Kasih benar-benar membutuhkan uang, untuk membelikan ibunya obat, karena stok obatnya sudah habis.
"Mas udah nggak punya simpanan lagi, coba kamu pinjam dulu deh ke tetangga, siapa tahu dapat," sambung Danu dari ujung sana.
"Utang yang kemarin aja belum dibayar, ini disuruh minjam lagi, pasti nggak bakalan dikasih, Mas," keluh Kasih.
"Habisnya mau gimana lagi, Mas benar-benar nggak ada duit."
Sudah beberapa bulan ini, Dani tidak pernah mengirimkan uang, Kasih memahami hal itu.
Tapi, semakin ke sini, Kasih semakin curiga dengan tingkah suaminya yang belakangan ini tampak berbeda. Kasih merasa jika Dani tengah menyembunyikan sesuatu.
"Mas lagi nggak bohong sama aku, kan?" tanya wanita itu penuh selidik.
Kasih mendengar dengkusan kasar dari ujung sana.
"Kamu nuduh Mas berbohong?"
"Bukan begitu, hanya--"
"Itu sama saja kalau kamu anggap Mas bohong. Emang susah ya kalau bicara sama kamu, ini yang Mas nggak suka dari sifat kamu, bawaannya selalu curiga terus," sentak Dani.
"Maksud Mas apa?"
"Halah! Sudahlah, teleponnya Mas matikan saja."
Baru saja Kasih ingin membuka mulutnya, panggilan itu langsung terputus.
Kasih menghela napas berat. Kentara sekali jika wanita itu tengah kecewa. Danu, pria satu-satunya yang selalu dia andalkan, nyatanya tak dapat membantu, lantas ke mana lagi dia harus mencari bantuan?
Prang ....
Kasih terperanjat kaget ketika mendengar suara benda jatuh. Buru-buru dia melangkahkan kakinya menuju kamar ibunya.
Matanya membola ketika melihat serpihan gelas berhamburan di mana-mana.
"Ibu!" jerit Kasih.
Kasih tak memedulikan bagaimana kakinya yang terkena pecahan gelas itu, yang dia khawatirkan saat ini adalah ibunya. Mutia tampak memegangi kepalanya sambil meraung kesakitan.
"Sakit, Kasih," erang Mutia.
"Iya, Bu. Secepatnya aku akan membeli obatnya, Ibu yang sabar, ya," pinta Kasih dengan mata berkaca-kaca.
Kasih harus berusaha keras untuk meminjam uang. Secepatnya, kalau terus-terusan ditunda, ibunya akan semakin lama merasakan kesakitan.
'Maafin aku, Ibu. Karena telah gagal menjadi anak yang membanggakan,' batin Kasih sambil meneteskan air mata.
Kasih bernapas lega ketika melihat Mutia tidak lagi mengerang kesakitan. Ibunya tampak tertidur pulas. Kasih menatap ibunya cukup lama. Namun, semakin Kasih tatap, ada yang berbeda dari cara Mutia tertidur.
"Bu," panggil Kasih pelan, sambil menggoyangkan tubuh Mutia dengan pelan.
Tak ada respon, membuat Kasih kembali menggoyangkan tubuh ibunya.
"Ibu, jangan bikin aku takut, Bu. Ayo bangun, aku janji akan belikan Ibu obat," ucap Kasih yang tampak ketakutan.
Lagi-lagi Mutia tak menjawab, Kasih semakin cemas, tangannya gemetar, keringat dingin bercucuran. Kasih tahu bahwa saat ini Mutia tengah pingsan.
Tak ada cara lain, jalan satu-satunya adalah membawa Mutia ke rumah sakit, Kasih tak ingin mengambil risiko jika terjadi sesuatu pada ibunya.
***
Kasih tertunduk lesu ketika melihat nominal uang yang ada di kertas itu, pihak rumah sakit tak ingin membantunya jika dirinya belum membayar biaya administrasi.
Wanita itu tampak begitu frustrasi, tak ada jalan lain. Sepertinya dia harus meminjam uang lagi pada temannya, walau sebenarnya dia tahu, besar kemungkinan hasilnya nihil.
"Dicoba aja dulu deh," gumam wanita itu sambil merogoh ponselnya di saku celana.
Kasih harap-harap cemas ketika mendengar sambungan telepon itu terhubung, berdoa dalam hati semoga saja kali ini temannya mau membantunya.
"Halo, Kasih. Ada apa?"
Kasih tersenyum lebar ketika Diana mengangkat panggilannya.
"Halo, Di. Lagi sibuk nggak?" tanya Kasih pelan.
"Nggak terlalu sih, emangnya ada apa? Mau minjam uang lagi?"
Kasih tersenyum miris ketika Diana sudah bisa menebak pikirannya, pasti Diana risih karena dirinya selalu meminta bantuan padanya.
"Iya, Di. Apa kamu bisa membantuku, kali ini aja. Please," mohon Kasih.
"Aduh, maaf ya, Kasih. Kali ini aku nggak bisa bantu kamu. Soalnya aku juga lagi butuh uang. Tapi, aku ada kerjaan nih buat kamu, siapa tahu kamu tertarik."
Kasih menghela napas berat. "Aku butuh uangnya sekarang, Di," lirih wanita itu.
"Kamu tenang aja, kerja di sana bisa minta kasbon dulu kok. Bosnya itu baik banget. Kamu nggak tertarik kerja di sana? Daripada jualan, kan? Belum tentu dagangannya selalu laris."
Siapa yang tidak mau menerima tawaran yang begitu menggiurkan. Sama seperti Kasih saat ini, wanita itu tampak berbinar senang.
"Aku mau," jawab wanita itu cepat. "Tapi, kalau bisa, aku minta uangnya malam ini. Aku butuh banget uang buat biaya pengobatan ibu aku. Apa kamu bisa bantu aku?"
"Masalah itu gampang. Oke, jadi udah fix nih kamu terima tawaran itu?" tanya Diana.
"Iya, aku mau," jawab Kasih mantap.
"Oke, nanti malam aku datang ke rumah kamu, ya. Kita akan datang ke tempat kerja itu. Kamu harus berpakaian yang menarik."
"Siap, sekali lagi terima kasih ya, Di. Kamu memang teman yang sangat baik."
***
"Kita mau ke mana sih, Di. Memangnya ada ya, orang kerja malam-malam?" tanya Kasih heran, wanita itu tampak risih karena pakaiannya terlalu terbuka.