/0/24057/coverorgin.jpg?v=fd1094b94f91e88087ae939108913a37&imageMogr2/format/webp)
PAGI ini angin berhembus dingin sekali, yang kebetulan aku sudah bangun dan pergi ke musola terdekat. Hawa dingin yang menggigit tubuh ini tidak kuhiraukan lagi, yang jelas aku khusyu sholat berjamaah. Kuikuti imam yang paruh baya, pengganti dari bapaknya yang sudah tiada. Aku jadi ingat tahun-tahun yang lalu saat aku masih sekolah di SMA, Musola tua ini tempat kami kumpul bersama teman-teman di kampung ini. Kami semua mengenal, Ustad Tarmuji yang memiliki musola tersebut. Musola tua yang tetap kokoh berdiri sampai saat ini, sampai beliau beranak banyak.
Begitulah bersama teman-teman sekampung, waktu itu kami rajin mengaji dan sholat di musola tua ini. Daya tarik selain itu adalah kepada anak-anak perempuan sang ustad, yang memang memiliki putri yang cantik-cantik. Namun kini teman-teman yang biasa sholat di sini tidak kujumpai lagi. Dan aku menyadari betapa aku sudah lama tidak sholat Subuh di sini. Bukannya malas, tapi hari-hariku memang sudah tidak di Sawangan lagi. Selama ini hari-hariku berada di rantau orang, terakhir kali aku berada di Malaysia.
Pada hari ini memang sengaja aku sholat Subuh di musolah tua ini, karena besok akan meninggalkan Sawangan kembali. Kemarin temanku yang bernama Aang menemuiku.
"Lih, udah nggak kerja lagi ya?" Tanya Aang berbasa-basi. Kujawab iya. Lalu dia melanjutkan, "Mau kerja nggak?"
"Oh, tentu aja mau..." Aku menjawabnya agak cuek.
"Ini serius, Lih." Kata Aang ketika melihat aku bersikap masa bodoh. "Atau lo udah ada kerjaan?" Aku menatap Aang sebentar, kemudian kembali dengan kesibukanku menggambar. "Ya... gitu deh, kalau nggak menggambar, ya siaran di radio Cobra." Kataku seadanya. Tapi memang begitulah, sepulang dari rantau aku memang menghabiskan waktu dengan menggambar atau melukis. Kadang-kadang siaran di radio Cobra milik pak Haji Taif. Kebetulan tekhnisi radio tersebut adalah adikku, Geri.
"Lih, ini kerja di wilayah Sukabumi..." Mendengar perkataan itu, aku berhenti menggambar. "Apa? Sukabumi?" Aku tertarik. "Kerja apa, Ang?"
"Begini ceritanya, Pak Yatna punya tanah di wilayah Sukabumi. Jadi dia tuh mau usaha mengelola tanah teras untuk batako. Nanti Pak Yatna akan menyiapkan dua mobil berikut sopirnya."
"Terus, di sana gua kerja ngapain? Kenek?" Potongku.
"Tentu aja bukan, pokoknya lo dijadiin mandor, atau wakil manager...pokoknya dijamin asyik deh Lih..." Kata Aang pasti.
"Oke, gua setuju, kapan mulai kerja?"
"Besok!"
Maka dari itu pagi ini aku sudah siap rapi. Aku pamit pada Emak dan Bapak, juga adik-adikku. Seperti biasa Emak selalu menyediakan sarapan dan makanan yang harus dibawa. Sekitar jam 7.00 pagi aku sudah berada di dalam mobil Pak Yatna. Ternyata ia tidak sendiri, istri dan anak-anaknya diajaknya pula.
"Lih, daerah tempat kerja kamu di sana itu sejuk sekali. Nama daerahnya kalau gak salah, Batukarut." Aku menganggukkan kepala, sementara istri dan dua anak Pak Yatna tertawa. Mungkin mereka heran dengan nama Batukarut. "Oya, satu lagi kamu harus jujur, karena dengan kejujuran orang akan percaya sama kamu." Kata Pak Yatna dengan nasehat.
Setibanya di sana, kami diterima oleh keluarga petani Pak Ading. Untuk sementara waktu, aku boleh tinggal di rumahnya. Di samping itu Pak Ading punya anak yang sebaya denganku namanya Herman, atau Belu, nama panggilannya. Kemudian aku juga diperkenalkan oleh Pak Ajat, pimpinan yang mengelola perusahaan Pak Yatna. Dan dengannya kami meninjau lokasi yang bakal jadi lahan perusahaan tersebut.
“Lih, inilah lokasi penggalian teras, cukup bagus buat batako.” Kata Pak Ajat sambil menunjuk sana-sini. Aku hanya manggut-manggut saja. “Hm... bagaimana kas anggarannya, apakah kamu sudah membawa catatannya?” Tanya Pak Ajat.
“Belum... tapi sebentar lagi Pak Yatna akan ke sini, kas anggarannya masih di tangan dia.”
“Lho, seharusnya kamu sudah memegangnya, karena posisimu itu bagian pemegang kas anggaran tersebut.” Pak Ajat menepuk bahuku. “Coba kamu tanyakan sama Pak Yatna.” Aku mengiyakan, lalu berlari menuju rumah Pak Ading.
“Bagaimana lokasinya, Lih? Bagus?” Tanya Pak Yatna ketika aku menemuinya di rumah Pak Ading. Saat itu istri Pak Yatna sedang bercengkerama dengan istri Pak Ading.
“Bagus, Pak.” Sahutku, “Hm... Pak Ajat menanyakan buku...”
“Ooh... Iya, memangnya Pak Ajat masih di lokasi ya?” Kata Pak Yatna sambil membuka tasnya, dan mengeluarkan buku besar.
“Pak... sebaiknya kita ke lokasi aja.” Terdengar suara Ibu Yatna, Anak-anaknya tampak kegirangan, karena mereka sudah bosan di rumah Pak Ading terus-menerus.
“Benar Pak, sebaiknya kita ke lokasi aja.” Kata Pak Ading membenarkan.
Dengan bergegas kami berjalan menuju lokasi, aku berjalan di sisi Pak Yatna, yang masih memegang buku besar tersebut. Pak Ading di belakang mengikutinya bersama dengan istri dan anak-anak.
“Lihar, buku ini nanti kamu aja yang pegang, juga uang kas anggaran dan rinciannya harus kamu yang menguasainya, sementara Pak Ajat hanya sebagai pengawas saja.” Kata Pak Yatna sambil memilih jalan yang enak, karena jalan yang dilaluinya itu agak rusak, berbatu-batu dan tidak beraspal. Namun jalan tersebut nantinya bakal dilalui mobil yang mengangkut teras-terasnya.
“Pak Ajat itu pengawas,ya Pak?”
“Iya, tapi gak mutlak, artinya dia itu hanya sebatas mengetahui medan lokasi.” Ia berhenti sebentar, “Nanti pada waktunya harus kamu kuasai semua.”
“Maksudnya?” Aku masih belum mengerti.
“Mengenai pembayaran tukang-tukang dan para pekerja yang lain, nanti kamu yang harus mengaturnya, mengenai itu nanti tehnisnya aku beri tahu. Dan mengenai Pak Ajat...” Pak Yatna menghentikan perkataannya, karena lokasi yang dituju sudah terlihat. Tampak Pak Ajat melambaikan tangan dari gubuk kecil, yang terdapat di depan lokasi, posisinya ada di pojok. Pak Yatna membalas lambaian tangan sambil tersenyum. Kemudian berkata kepada Pak Ading, “Pak Ading, tolong deh para pekerja dibilangin, nanti sehabis zhuhur segera berkumpul di sini.” Pak Ading mengangguk, lalu permisi. Cangkul yang tengah dipegangnya ditinggalkan di dekat gubuk, kemudian berlalu dari tempat itu. Kulihat Ibu Yatna dan anak-anak asyik melihat-lihat lokasi di sana-sini, suara anak-anaknya terdengar ribut sekali. Kami bertiga kembali terlibat pembicaraan. Pak Yatna memberi pengarahan kepada aku dan Pak Ajat. “Jadi buku ini tetap dipegang Lihar, sementara Pak Ajat cukup mengawasi saja, mengenai pembayaran buat pekerja nanti akan kuatur.”
“Oh, iya..iya, Pak, aku setuju sekali.” Kata Pak Ajat tersenyum, namun aku melihat ada senyum yang sinis menusuk mataku, ah, mungkin itu hanya perasaanku saja.
“Bagus, nanti keuangan tetap dipegang Lihar, agar ia tidak keliru dalam mencatat pemasukan dan pengeluarannya.” Pak Yatna berhenti sebentar memperhatikan Pak Ajat yang tersenyum dan manggut-manggut. “Bagaimana Pak Ajat, apa ada usulan lain?”
“Oh, nggak.... aku sudah paham kok...” Katanya tertawa, “Tenang Lih, selama ada aku, semua akan lancar.”
“Iya, Pak Ajat..” Kataku sambil tersenyum. Tiba-tiba datang Deni, salah satu anaknya Pak Yatna menghampiriku. “Bang Liar... Ibu menyuruh Abang untuk melihat tanah yang belah sono.”
“Oh... nanti Deni... Lihar lagi ngomong sama Bapak dulu.” Kata Pak Yatna, yang kemudian menyuruh anaknya kembali kepada ibunya. Dengan kecewa Deni kembali kepada ibunya. “Ibu, entar katanya, Bapak masih ngajak ngomong ama Bang Liar.”
“Ooh... ya udah nggak apa-apa... Kita tunggu aja dulu.” Sahut ibunya.
Seperempat jam kemudian aku sudah menemani Ibu Yatna dan anak-anaknya meninjau lokasi kedua, yang letaknya lebih jauh. Posisinya di pinggir tebing yang menuju balong, yang di bawahnya terdapat beberapa mata air. Ada beberapa bagian di pojok ada bekas tanah yang sudah digali, dengan nampak tanah teras yang bagus.
“Wah, tempatnya enak ya, Lih...” Kata Ibu Yatna takjub dengan pemandangan yang ia lihat. Sebuah dataran yang mengarah ke balong. Di mana pemandangan di bawahnya tampak indah, dengan sekat-sekat kolam ikan yang dibuat petani.
“Iya, bener, Bu.. tapi lokasinya cukup jauh dari jalan. Sedangkan teras-teras yang sudah digali harus berada di tepi jalan agar mudah diangkut mobil dan dibawa ke pabrik.” Aku menjawab dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
“Iya ya?” Bu Yatna seperti berfikir. “Nanti jadinya gimana ya?” Bu Yatna tampak agak bingung. Aku langsung tertawa, “Gampang, Bu... nanti kan ada tukang pikul.”
/0/13573/coverorgin.jpg?v=58029ab3ba218675a6b1add08bcca191&imageMogr2/format/webp)
/0/3945/coverorgin.jpg?v=130dd3844c362084149454ed134cab7c&imageMogr2/format/webp)
/0/18892/coverorgin.jpg?v=bf25a176b00c418376355bc8252f0915&imageMogr2/format/webp)
/0/3092/coverorgin.jpg?v=6017a83f5795db14f6aeff4606c5d9c3&imageMogr2/format/webp)
/0/4019/coverorgin.jpg?v=e1ef4fa87eee2dc58998acc3365705d4&imageMogr2/format/webp)
/0/7429/coverorgin.jpg?v=84e91445dd5a8d6ad3350ad2d733146b&imageMogr2/format/webp)
/0/12164/coverorgin.jpg?v=9d5b2f3dedf65b2fa4b83f700a555c0c&imageMogr2/format/webp)
/0/16982/coverorgin.jpg?v=6618733b14796c2fef1e9c4cb40ad6fe&imageMogr2/format/webp)
/0/17957/coverorgin.jpg?v=368c61d9274a8a54da1a3732e4636293&imageMogr2/format/webp)
/0/13481/coverorgin.jpg?v=05af35bf6937c4c2c3759c55661896ae&imageMogr2/format/webp)
/0/12548/coverorgin.jpg?v=f72bc751994afe48ccd7108bf84b4770&imageMogr2/format/webp)
/0/2967/coverorgin.jpg?v=29286c02197e8a269c74c66c8aecc6b0&imageMogr2/format/webp)
/0/17389/coverorgin.jpg?v=d7def4e12df47253961864e859457197&imageMogr2/format/webp)
/0/2780/coverorgin.jpg?v=1001949e2f836fc99439efe8577b7ae7&imageMogr2/format/webp)
/0/2909/coverorgin.jpg?v=2e3b0afd87e859fbfb81124480f67c1d&imageMogr2/format/webp)
/0/12469/coverorgin.jpg?v=b8d7d38e4d62e91a93565f9810b22e9d&imageMogr2/format/webp)
/0/28727/coverorgin.jpg?v=9be90b1b4ecaf6f4ebc0c2811c170f5f&imageMogr2/format/webp)
/0/20781/coverorgin.jpg?v=fb1c1389b74a601a4bd54fc93a22ae42&imageMogr2/format/webp)
/0/16858/coverorgin.jpg?v=55e57d0c3fbbbe72391c0a97e4415700&imageMogr2/format/webp)