/0/16821/coverorgin.jpg?v=12a7363d56d48ac65197b270d1e45d7e&imageMogr2/format/webp)
Malam itu hening. Hanya suara jangkrik dan desir angin hutan yang terdengar dari sela-sela dinding bambu gubuk kecil di tepi hutan. Cahaya lampu minyak berkelip samar, menerangi wajah seorang gadis muda yang sedang duduk bersila di atas tikar usang. Gadis itu bernama Almira Safira, 17 tahun, rambut hitamnya tergerai menutupi sebagian wajah yang tampak sendu.
Sehari-hari, Almira membantu neneknya, Nenek Rahayu, bertahan hidup dengan menenun tikar dari pandan hutan, atau sesekali turun ke desa untuk menjual kayu bakar. Hidup mereka serba terbatas, jauh dari kebahagiaan yang semestinya dimiliki seorang gadis seumurannya.
Almira menatap keluar jendela bambu. Pandangannya kosong, tapi hatinya penuh gelisah. Sejak kecil, dia hanya tahu bahwa ayah dan ibunya meninggal dunia karena kecelakaan. Namun, semakin dewasa, ia mulai mendengar bisikan-bisikan lain. Ada desas-desus yang mengatakan bahwa kedua orang tuanya dibunuh.
"Apa benar, Nek?" tanya Almira suatu malam, dengan suara bergetar. "Apa benar ayah dan ibu tidak meninggal karena kecelakaan, melainkan dibunuh seseorang?"
Nenek Rahayu hanya menghela napas panjang. Matanya berkaca-kaca, namun bibirnya enggan menjawab jujur.
"Kau terlalu muda untuk memikirkan hal itu, Nak. Yang penting, kita harus tetap hidup," jawab neneknya lirih.
Tapi di hati Almira, rasa penasaran itu terus tumbuh.
Kehidupan Almira dan neneknya makin sulit sejak Rangga Prakoso, lelaki paruh baya berpengaruh di desa, mengincarnya. Rangga dikenal kejam, haus kekuasaan, dan memiliki banyak istri. Ia selalu mendapatkan apa pun yang dia mau, meski dengan cara kotor.
Beberapa hari lalu, Rangga datang ke gubuk mereka bersama dua pengawalnya. Suasana malam itu masih terbayang jelas di benak Almira.
"Rahayu..." suara Rangga berat dan dingin, "kau tahu, cucumu itu sudah besar. Wajahnya cantik, darah mudanya segar. Aku ingin menjadikannya istriku. Dia akan jadi istri keempatku."
Mata Almira melebar. Ia bersembunyi di balik pintu, tubuhnya gemetar mendengar kata-kata itu.
Nenek Rahayu mencoba menahan diri, menundukkan kepala meski hatinya bergejolak.
"Tuan Rangga, Almira masih terlalu muda. Usianya belum genap 19 tahun. Bersabarlah. Biarlah ia tumbuh dulu, baru setelah itu..."
Rangga menyipitkan mata, seakan menimbang-nimbang. Kemudian ia tersenyum sinis.
"Baiklah. Aku akan menunggu. Tapi jangan coba-coba melarikan diri dariku. Kalian tak akan bisa pergi ke mana pun tanpa aku tahu."
Suasana hening sesaat, hanya bunyi langkah Rangga dan pengawalnya meninggalkan gubuk yang terdengar. Sejak malam itu, hidup Almira dipenuhi ketakutan.
Hari-hari berikutnya, Almira berusaha menjalani hidup seperti biasa, namun di setiap langkahnya ia merasa diawasi. Setiap kali ia turun ke desa menjual kayu, orang-orang hanya berani menatapnya dari jauh. Tidak ada yang berani mendekat, apalagi berbicara, karena takut dimusuhi Rangga.
"Kenapa kita harus hidup seperti ini, Nek?" Almira bertanya suatu sore sambil menjemur kayu bakar. "Kenapa semua orang seolah-olah membenci kita?"
Nenek Rahayu tersenyum getir.
"Bukan membenci, Nak. Mereka takut. Rangga punya kuasa di desa ini. Dia bisa melakukan apa saja. Orang-orang lebih memilih diam daripada menolong kita."
Almira menunduk. Dadanya sesak. Rasanya seperti terpenjara meski tanpa jeruji besi.
/0/27383/coverorgin.jpg?v=51f079974a32f97d08d8f66a35f472df&imageMogr2/format/webp)
/0/28419/coverorgin.jpg?v=57b2b078f3adc4e611e7d5c25b8f3cc4&imageMogr2/format/webp)
/0/14608/coverorgin.jpg?v=735a087f628e9299843ef3642c7fd537&imageMogr2/format/webp)
/0/3095/coverorgin.jpg?v=1113e82abad1f60f913a3f9d60365a6e&imageMogr2/format/webp)
/0/7971/coverorgin.jpg?v=dca440106a4673dbd2ad510e2059881b&imageMogr2/format/webp)
/0/15353/coverorgin.jpg?v=7557f4a1b21f2ece9067206ca91e739c&imageMogr2/format/webp)
/0/5633/coverorgin.jpg?v=473528e6affb2aefc9d4b35de866c49e&imageMogr2/format/webp)
/0/10736/coverorgin.jpg?v=b939c426b55d646451be81456d492c69&imageMogr2/format/webp)
/0/12672/coverorgin.jpg?v=e267e35c6f73324fb77bb52565e1bcfb&imageMogr2/format/webp)
/0/30058/coverorgin.jpg?v=7e6f95ada6d9f78ff009e46c6f25d3cb&imageMogr2/format/webp)
/0/16908/coverorgin.jpg?v=eb76d5e78c94ca3449e4ff205c00d6f9&imageMogr2/format/webp)
/0/12752/coverorgin.jpg?v=74ae9140d44aa5de5990c253982efd58&imageMogr2/format/webp)
/0/8091/coverorgin.jpg?v=73a688c21282e81768896b6661e6f5d9&imageMogr2/format/webp)
/0/7242/coverorgin.jpg?v=9dd27e4d10822b34509e52f3feb4289f&imageMogr2/format/webp)
/0/18144/coverorgin.jpg?v=15b1340d5ddc298759b5c0fc43f49d98&imageMogr2/format/webp)
/0/28404/coverorgin.jpg?v=52f20601141c296a60175d856f4756b5&imageMogr2/format/webp)
/0/13557/coverorgin.jpg?v=fc94ee21ff3cb328b0874d2e8f3d6d46&imageMogr2/format/webp)
/0/20880/coverorgin.jpg?v=f4ed48f47c771795688fc1986665b888&imageMogr2/format/webp)