"Dulu aku melakukan kesalahan, sekarang aku mau memperbaiki kesalahan itu dengan kesalahan lagi, apa kamu mau?" "Dulu aku benci sekaligus mencintai kamu, tapi sekarang aku mencintaimu sekaligus membenci diriku yang mencintaimu. Tapi apa boleh ku lanjutkan semua itu? Bagaimana dengan mereka, istrimu dan suamiku?" "Kalau begitu kita selingkuh aja? Tidak ada cinta yang salah. Yang salah adalah keadaan yang ada. Jadi salahkan saja takdir yang membuat kita saling mencinta tapi tak bisa memiliki." Bila cinta sudah berpisah tapi takdir yang mempertemukan? Apakah salah bila menghalalkan segala cara untuk bersama? Terlebih bila kebahagiaan adalah bersama denganmu, milik orang lain.
Long Time No See
"Pulangnya jangan lupa bawain makanan ya. Gak usah masak, kelamaan ntar!"
"Iya, Mas."
"Kalau udah jam pulang, langsung pulang. Jangan ngelayap dulu kamu! Aku sama Ibu udah kelaparan, ini aja harus nunggu kamu pulang, mana lama banget lagi! Kamu gak bisa pulang lebih cepet, apa?!"
"Aku langsung pulang kok, Mas. Kalau pulang cepet, aku belum bisa janji, habis ini aku harus ikut meeting soalnya."
"Halah, mitang miting aja kamu. Gegayaan, sok yang paling penting. Kerjaan jadi sekertaris itu sama aja kayak pembantu, yah kerjanya bantu-bantu. Beda lah sama aku yang dulu pernah jadi kepala pabrik, aku tuh boss."
Sambil mengigit bibir, jari dengan kuku pendek itu kembali mengetukkan pesan di layar ponselnya.
"Iya, Mas. Aku tahu kok. Tapi, kenapa Mas kelaparan? Kalau bisa makan lauk yang di rumah aja dulu, Mas. Harusnya cukup kok, kan tadi aku masaknya buat tiga kali makan."
"Heh, istri tidak berguna! Kamu masak itu dipisahin jadi tiga tempat gitu maksudnya buat pagi, siang sama malam gitu?! Pakai otak kamu! Aku sama Ibu ini manusia, bukan binatang! Masa makan dari pagi sampai malam menunya sama terus. Muak aku. Lagian tadi Rani juga datang ke rumah sama anak dan suaminya juga. Ya kali, gak suguhin makanan, malu dong. Mana di rumah cemilan juga udah pada habis, kamunya sih malas buat beli. Pelit kamu tuh! Buat apa kamu kerja di perusahaan gede kalau cuma bisa malu-maluin!"
Fatya Karmila Nugroho, wanita berusia dua puluh delapan tahun itu hanya bisa memejamkan mata sambil menarik nafas panjang. Helaan nafas panjang yang sudah entah untuk keberapa kalinya.
Makian semacam ini sudah sering ia dengar, tapi lima tahun tak juga membuatnya terbiasa. Meski pernikahan yang ia jalani bersama lelaki pilihannya, yang dulu sangat menggebu-gebu dalam menyatakan cinta padanya, ternyata tak memberikan kenyamanan seperti yang dijanjikan dahulu.
Setelah berhasil mengendalikan dirinya sendiri, terutama air mata yang seakan saling berlomba ingin keluar dari tempatnya, ia kemudian membalas pesan Antoni, suaminya.
"Iya, Mas. Maafin aku. Udah dulu ya, Mas. Sebentar lagi aku harus ikut meeting."
Tya, nama panggilannya, menaruh kembali ponsel hadiah dari atasannya itu. Hadiah karena Tya sudah mengerjakan pekerjaannya dengan sangat baik selama ini.
Ponsel tersebut menampilkan layarnya yang kembali terang. Pertanda ada pesan yang masuk.
"Pokoknya kamu harus cepat pulang, kalau tidak kamu tidur di luar malam ini! Jangan menguji kesabaranku, Tya!"
Tya menengadahkan wajah, kembali berusaha menahan laju air matanya. Bisa-bisanya ia diancam seperti itu, padahal dirinya lah satu-satunya pencari nafkah di pondok indah sang Mertua.
Mungkin karena dia tergolong hanya menantu, yang kebetulan masuk ke dalam hidup Antoni. Dan karena Antoni adalah anak lelaki pertama, ia diwajibkan tak boleh meninggalkan rumah orang tuanya tersebut.
Apalagi sang Mertua sudah ditinggal lebih dulu oleh suaminya. Jadilah ia dan Antoni mau tidak mau tinggal di sana. Sedangkan Rani, adik Antoni, tinggal terpisah, dengan jarak hanya beberapa rumah.
Tapi tinggal terpisah pun, rasanya sama saja. Hampir setiap hari, atau bahkan memang tiada hari tanpa kedatangan Rani. Apalagi kalau bukan untuk menumpang makan, pagi hingga malam.
Tak jarang juga, membawa bahan makanan yang isinya sudah tentu dari Tya seorang. Benar-benar jadi tulang punggung untuk keluarga suaminya sendiri.
Apa Tya secara sukarela tinggal di pondok indah sang mertua?
No, lebih tepat bila menyebut Antoni yang mau sedangkan Tya menolak. Tapi apalah arti pendapat Tya yang hanya bertitel sebagai istri.
Apalagi dengan sifat Antoni yang sangat patriarki, juga sang Ibu Mertua yang seperti Ibu tiri pada umumnya.
Semua kehidupan rumah tangganya diatur seperti yang sang Mertua inginkan. Bahkan pekerjaan Antoni pun diatur Ibunya.
Dan yang paling membagongkan adalah Antoni tidak diijinkan bekerja lagi oleh Ibunya karena asam lambung yang pernah ia alami. Sedangkan Tya dituntut untuk membantu perekonomian keluarga, karena sang suami yang tidak bisa bekerja.
Itulah awal mula Tya menjadi tulang punggung, mengingkari kodratnya sebagai tulang rusuk.
Pernah Tya mencoba untuk berpisah, merasa lelah karena apapun yang ia lakukan tak pernah diperhitungkan. Tapi lelaki itu memohon padanya.
Bahkan bersujud di kakinya, berjanji akan bekerja kembali ketika ia sudah sembuh dan tidak kambuh-kambuhan lagi.
Namun, terkadang janji ada untuk diingkari. Janji itu terjadi dua tahun lalu, dan akhirnya membawa Tya hingga sekarang, di tahu ke lima pernikahan mereka.
Kalau kata orang jaman sekarang, Tya hidup dalam lingkungan toxic, tapi saking toxicnya, wanita berparas manis itu tak mampu melepaskan diri.
Terhanyut bersama toxic yang sedikit demi sedikit membunuhnya secara sadar.
Tya memilih untuk tidak membalas pesan suaminya itu.
"Gue harus waras, meeting ini penting," lirih Tya kepada dirinya sendiri.
Dengan beberapa map di tangannya, ia lalu berdiri. Terakhir, ia mematut wajah di depan cermin.
"Senyum, Tya. Lo harus profesional, pekerjaan lo penting. Kalau lo sampai dipecat, orang-orang yang lo nafkahin itu bisa mati kelaparan. Buntut-buntutnya lo juga yang bakal disalahin."
Tya menampilkan senyum lebar yang sangat dipaksakan, lalu melangkah menuju ruangan atasannya.
Tok tok tok
"Masuk."
"Permisi, Pak. Sekarang waktunya kita ke ruang meeting, Pak. Perjalanan ke sana sekitar lima menit kalau liftnya tidak terlalu ramai. Tapi karena ini rapat akbar dengan pimpinan pusat, sebaiknya kita ke sana lebih dulu, Pak. Biar tidak telat," jelas Tya dengan suara jelas, serta senyum yang menampilkan kedua lesung pipinya.
Rivaldo Setyawan, atasan Tya yang menjabat sebagai direktur operasional di perusahaan tempatnya bekerja itu langsung melihat arloji mahal di tangannya.
"Oh iya. Syukur deh kamu ingetin. Kalau telat, bisa dimaki-maki kita. Kamu memang is the best, Tya."
"Sudah jadi tugas saya, Pak," sahut Tya.
Rivaldo mengenakan jasnya kembali, membetulkan posisi dasinya yang sedikit miring dengan tangannya sendiri.
Jangan mengharapkan adegan seperti di drama Korea dengan peran sekertaris dan atasannya. Tentu saja tidak mungkin.
Tya sangat menjaga kehormatannya sebagai seorang istri, dan Rivaldo pun sangat menghargai itu. Itu kenapa mereka bisa bekerja dengan sangat akur selama tiga tahun ini.
"Oh iya, semua laporan udah lengkap kan?" tanya Rivaldo saat ia dan Tya masuk ke dalam lift yang kebetulan kosong itu.
"Sudah, Pak."
"Cek lagi, Tya. Boss yang mau datang ini galaknya melebihi Lucifer. Kita bisa dilahap habis sama dia."
"Baik, Pak."
Sebagai sekertaris, Tya sangat cekatan. Meski ia sudah memastikan bila pekerjaannya tak ada yang salah ataupun ketinggalan, ia tetap kembali memeriksa nya, seperti titah sang atasan.
Tya bisa dengan leluasa melakukannya di atas meja, karena belum ada yang hadir di ruang meeting tersebut.
"Udah komplit kok. Tinggal disusun sesuai urutan aja," monolog Tya.
Suara pintu yang terbuka, membuat Tya bergegas dengan kegiatannya. Dengan cepat ia membungkuk, karena ia yakin yang tengah masuk ke dalam ruangan saat ini adalah pimpinan dari perusahaan pusat yang sedang ditunggu.
"Selamat siang, Pak," ucap Tya sambil menundukkan wajah.
Entah mengapa, rasanya ada aura kuat yang ti
ba-tiba mengelilinginya, sampai tak berani untuk mengangkat kepala.
"Surprise, long time no see, Tya."