Siapa Yang Menghamili Istriku?

Siapa Yang Menghamili Istriku?

Fajar Merona

5.0
Komentar
2.7K
Penayangan
10
Bab

Kisah yang akan mengurai emosi dan air mata. Khusus Dewasa

Bab 1 Ruang Intimidasi

"Kalian masih belum dapat kabar baik, ya? Padahal sudah lima tahun, lho."

Suara Bu Elsa terdengar ringan-nyaris seperti basa-basi, tapi ucapannya menancap tepat di dada Zahra.

Zahra menelan ludah, mencoba mempertahankan senyumnya.

"Iya, Ma. Kami masih berusaha..." jawabnya pelan.

Belum sempat suasana reda, Ferlin, adik ipar Zahra, menyambar, nada geli terdengar jelas.

"Di keluarga kita sih nggak ada yang susah punya anak. Aku aja, begitu nikah langsung hamil. Mungkin Ferdi juga, kalau nggak dicegah, istrinya udah hamil juga tuh."

Zahra meremas jemarinya di pangkuan. Napasnya mulai terasa berat, tapi ia tetap berusaha tenang. Ruang tamu yang harusnya terasa hangat, kini berubah menjadi medan tekanan. Sunyi tapi menyesakkan.

"Iya, mungkin kamu perlu diperiksa lebih lanjut, Ra," Bu Elsa menambahkan, sambil tertawa kecil. Tatapannya tajam tapi terselubung manis. "Siapa tahu ada yang perlu diperbaiki."

Zahra melirik ke arah Fadlan. Harapannya sederhana: suaminya membela. Tapi Fadlan sibuk mengobrol dengan Pak Arya, pura-pura tidak mendengar. Seolah dirinya tak sedang duduk di tengah serangan pasif-agresif.

Dengan napas tertahan, Zahra tetap tersenyum. Tapi kali ini, senyumnya getir.

"Kami sudah periksa, Ma. Dan hasilnya... yang perlu lebih berusaha sebenarnya Mas Fadlan."

Ruangan langsung senyap beberapa detik. Bu Elsa terkekeh, tapi wajahnya tampak terganggu.

"Ah, masa? Dokter bisa salah, lho. Fadlan itu sehat dari kecil. Nggak pernah sakit parah."

"Iya, Ma, tapi yang diperiksa bukan soal itu," jawab Zahra tenang namun tegas. "Dokter bilang, kualitas benih juga pengaruh besar pada peluang kehamilan."

Ferlin menyela dengan tawa kering, mencoba mencairkan suasana.

"Mungkin Mas Fadlan cuma kurang makan yang sehat dan bergizi aja, kali..."

Dan lalu hening. Hening yang berat dan tajam.

Bu Elsa dan Ferlin saling melirik. Fadlan, yang tadi masih santai menyeruput teh, tiba-tiba terbatuk kecil.

Tatapannya mengarah ke Zahra-tatapan peringatan. Tapi Zahra sudah muak. Sudah terlalu lama ia menanggung semua komentar dan tekanan sendiri.

Zahra tak bergeming. Kali ini, biarlah suaminya ikut merasa sedikit saja apa yang ia rasakan.

Pak Arya akhirnya ikut bicara, suaranya tenang tapi tegas.

"Ma, jodoh, pati, dan anak itu rezeki dari Allah. Kita nggak bisa terlalu jauh ikut campur. Yang penting usaha dan tawakal."

"Iya, Yah. Tapi Mama kan cuma nyaranin Zahra untuk usaha lebih keras lagi," Bu Elsa bersikeras, nada suaranya mulai naik sedikit.

Pak Arya tetap kalem.

"Ayah percaya Zahra dan Fadlan sudah berusaha keras. Kalau Allah belum izinkan, ya kita tinggal bersabar, Ma."

Tiba-tiba, pintu depan terbuka. Bude Anin, kakak Pak Arya, masuk begitu saja.

"Lho, kok tegang gini? Lagi ngomongin apa?" tanyanya sambil duduk santai di samping Bu Elsa, adik iparnya.

"Ini lho, ngomongin Zahra dan Fadlan yang belum juga dikasih momongan," sahut Bu Elsa, dengan tawa yang dipaksakan.

Bude Anin tertawa lebar.

"Kenapa nggak bilang dari awal? Di kampung sebelah ada Gus Bokis. Banyak yang berhasil. Ada yang divonis mandul aja bisa langsung hamil, lho."

Zahra menoleh ke Fadlan, berharap kali ini ia akan menolak dengan tegas. Tapi seperti biasa, Fadlan diam. Pandangannya kosong, seolah semua ini bukan urusannya.

Akhirnya, Zahra bicara. Suaranya tenang tapi tajam.

"Maaf, Bude. Saya dan Mas Fadlan lebih memilih pengobatan medis. Kami sudah tahu apa yang perlu dilakukan."

Bude Anin mencibir pelan.

"Jangan sombong, Neng. Usaha itu bisa lewat mana aja. Rezeki itu perlu dikejar, gak bisa nunggu datang sambil duduk termangu. Kalau diam aja itu sama aja dengan menolak rizki. Nanti kalau udah lewat baru nyesel."

"Iya, kenapa nggak dicoba dulu, Ra? Jangan terlalu kaku," sambung Bu Elsa.

Zahra menggigit bibir, jari-jarinya mencengkeram rok. Tapi sebelum ia sempat bicara lagi, Fadlan akhirnya angkat suara.

"Kami akan tetap jalani pengobatan sesuai rekomendasi dokter, Bude. Terima kasih atas sarannya."

Zahra menoleh cepat, agak terkejut. Tapi ada sedikit kelegaan-meski hanya sebentar.

Namun Bude Anin belum selesai.

"Ya udah. Kalau nggak mau dikasih tahu sama orang tua. Anak-anak sekarang memang susah nurut. Semoga aja kalian nggak sampai nyesel nantinya."

Suasana menjadi benar-benar canggung. Tak ada yang bicara. Bahkan Pak Arya hanya menunduk, entah malas terlibat atau terlalu letih dengan drama rumah tangga anaknya.

Tak lama, Fadlan berdiri dan berkata pelan, "Ayo, Ra. Kita pulang."

Zahra mengangguk, tak bicara. Ia berdiri, mengangkat tas kecilnya, lalu berjalan bersama suaminya meninggalkan ruang tamu yang mendadak terasa seperti ruang interogasi.

Dalam perjalanan pulang dengan motor, Zahra duduk diam. Tangannya tak melingkar di pinggang suaminya seperti biasa. Angin malam menerpa wajahnya, tapi tak cukup dingin untuk meredakan panas di dalam dadanya. Ia menatap lurus ke samping, seolah mencoba menahan lautan emosi yang siap meledak. Fadlan bisa merasakan perubahan sikap istrinya. Tapi seperti biasa, ia memilih diam.

Sesampainya di rumah, Zahra langsung turun tanpa sepatah kata pun. Langkahnya cepat masuk ke dalam rumah, membiarkan pintu terbuka begitu saja. Fadlan menghela napas berat, lalu memarkir motor dengan perasaan tak menentu.

Di ruang tengah, Zahra berdiri dengan tangan gemetar, melepaskan kerudungnya dengan kasar. Wajah dan matanya memerah, bukan karena ingin menangis, tapi karena marah yang sudah mencapai puncaknya.

"Kenapa tadi kamu diam aja, Mas?" protes Zahra. Suaranya pelan, tapi tajam seperti pisau yang menyayat.

Fadlan menutup pintu perlahan dan menguncinya. "Aku nggak mau ribut sama Mama, Ra."

Zahra tertawa pendek, getir. "Oh, jadi biar kamu tetap kelihatan anak baik. Dan aku yang harus terus-terusan dijadikan sasaran? Kamu denger sendiri kan tadi mereka bilang apa? Seolah-olah aku ini... mandul, kan?"

Fadlan mengusap wajah. "Aku cuma nggak pengin ada keributan di rumah orang tua sendiri, Ra."

Zahra mendekat, matanya menyala. "Tapi kamu tega membiarkan aku dilecehkan begitu, Mas? Lima tahun. Lima tahun aku disindir, dibanding-bandingkan. Dan kamu selalu... DIAM!" Zahra tak kuasa lagi menahan gejolak dalam dadanya,

"Aku capek, RA," jawab Fadlan, nada suaranya mulai meninggi. "Kamu pikir aku nggak ngerasa bersalah? Aku juga malu, Zahra!"

"Kalau kamu malu, kenapa kamu membiarkan aku terus yang dihina dan salahkan, Fadaln?" Suara Zahra mulai bergetar karena kemarahan yang tak lagi bisa ditahan. "Aku ini istri kamu, Fadlan. Tapi aku merasa seperti orang asing di keluargamu sendiri!"

Fadlan menunduk. "Aku nggak tahu harus gimana..."

"Kamu tinggal ngomong! Satu kalimat, 'Tolong jangan salahin Zahra, ini bukan salah dia.' Sesederhana itu, Fadlan! Tapi kamu nggak pernah punya nyali!" Suara Zahra makin meninggi, dadanya naik-turun.

Fadlan terpaku. Suara Zahra menggema di antara dinding rumah yang dingin.

"Setiap pulang dari rumah orang tuamu, aku selalu merasa kecil dan terhina. Tapi kamu... kamu selalu bilang 'biarin aja,' 'nggak usah dipikirin'. Apa kamu pikir aku ini batu? Aku ini manusia yang punya perasaan? Coba kalau kamu dihina dan direndahkan oleh keluargaku, terus aku diam saja, kamu mau gimana, Fadlan?" Zahra benar-benar lepas kontrol.

Fadlan menggigit bibirnya. "Aku cuma... bingung harus gimana menghadapi mereka."

"Kamu itu keluarga mereka, masa malah bingung?" Zahra makin kesal. Lalu menatap suaminya lekat-lekat. "Kamu itu laki-laki, Mas. Kamu cuma takut jadi anak durhaka. Tapi kamu nggak pernah takut kehilangan aku, istrimu."

Fadlan menegang. Tidak ada bantahan.

Zahra menarik napas panjang, suaranya melemah, tapi lebih dalam. "Aku butuh suami yang berdiri di sampingku, bukan di belakang ibunya. Bagaimana kalu hinaan itu datang dari orang lain, apakah kamu juga akan membiarkannya?"

Zahra berbalik, melangkah ke kamar, meninggalkan Fadlan yang berdiri membeku, diliputi rasa bersalah dan kekosongan yang menggigit.

Ketika Fadlan mengetuk pintu kamar, Zahra justru memberikan ultimatum,

"Kalau kamu belum siap jadi suami, sebaiknya kita tidak perlu tidur bareng, Mas!"

"Zahra...."

"Aku ingin sendirian dulu, Mas!" potong Zahra tegas.

Fadlan hanya bisa pasrah.

Fadlan terlentang di sofa ruang tamu. Lampu sudah dimatikan, tapi pikirannya tetap menyala, penuh sesal dan kekosongan. Di balik pintu kamar yang tertutup, Zahra duduk memeluk lutut di sudut ranjang, matanya kosong menatap gelap. Bukan karena dia ingin menyerah, tapi karena sudah kehabisan tenaga untuk terus berjuang sendirian.

^*^

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Fajar Merona

Selebihnya

Buku serupa

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Gavin
5.0

Perusahaanku, CiptaKarya, adalah mahakarya dalam hidupku. Kubangun dari nol bersama kekasihku, Baskara, selama sepuluh tahun. Kami adalah cinta sejak zaman kuliah, pasangan emas yang dikagumi semua orang. Dan kesepakatan terbesar kami, kontrak senilai 800 miliar Rupiah dengan Nusantara Capital, akhirnya akan segera terwujud. Lalu, gelombang mual yang hebat tiba-tiba menghantamku. Aku pingsan, dan saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Ketika aku kembali ke kantor, kartu aksesku ditolak. Semua aksesku dicabut. Fotoku, yang dicoret dengan tanda 'X' tebal, teronggok di tempat sampah. Saskia Putri, seorang anak magang yang direkrut Baskara, duduk di mejaku, berlagak seperti Direktur Operasional yang baru. Dengan suara lantang, dia mengumumkan bahwa "personel yang tidak berkepentingan" dilarang mendekat, sambil menatap lurus ke arahku. Baskara, pria yang pernah menjanjikanku seluruh dunia, hanya berdiri di sampingnya, wajahnya dingin dan acuh tak acuh. Dia mengabaikan kehamilanku, menyebutnya sebagai gangguan, dan memaksaku mengambil cuti wajib. Aku melihat sebatang lipstik merah menyala milik Saskia di meja Baskara, warna yang sama dengan yang kulihat di kerah kemejanya. Kepingan-kepingan teka-teki itu akhirnya menyatu: malam-malam yang larut, "makan malam bisnis", obsesinya yang tiba-tiba pada ponselnya—semua itu bohong. Mereka telah merencanakan ini selama berbulan-bulan. Pria yang kucintai telah lenyap, digantikan oleh orang asing. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil segalanya dariku. Aku berkata pada Baskara bahwa aku akan pergi, tetapi tidak tanpa bagianku sepenuhnya dari perusahaan, yang dinilai berdasarkan harga pasca-pendanaan dari Nusantara Capital. Aku juga mengingatkannya bahwa algoritma inti, yang menjadi alasan Nusantara Capital berinvestasi, dipatenkan atas namaku seorang. Aku melangkah keluar, mengeluarkan ponselku untuk menelepon satu-satunya orang yang tidak pernah kusangka akan kuhubungi: Revan Adriansyah, saingan terberatku.

Gairah Liar Dibalik Jilbab

Gairah Liar Dibalik Jilbab

Gemoy
5.0

Kami berdua beberapa saat terdiam sejanak , lalu kulihat arman membuka lilitan handuk di tubuhnya, dan handuk itu terjatuh kelantai, sehingga kini Arman telanjang bulat di depanku. ''bu sebenarnya arman telah bosan hanya olah raga jari saja, sebelum arman berangkat ke Jakarta meninggalkan ibu, arman ingin mencicipi tubuh ibu'' ucap anakku sambil mendorong tubuhku sehingga aku terjatuh di atas tempat tidur. ''bruuugs'' aku tejatuh di atas tempat tidur. lalu arman langsung menerkam tubuhku , laksana harimau menerkam mangsanya , dan mencium bibirku. aku pun berontak , sekuat tenaga aku berusaha melepaskan pelukan arman. ''arman jangan nak.....ini ibumu sayang'' ucapku tapi arman terus mencium bibirku. jangan di lakukan ini ibu nak...'' ucapku lagi . Aku memekik ketika tangan arman meremas kedua buah payudaraku, aku pun masih Aku merasakan jemarinya menekan selangkanganku, sementara itu tongkatnya arman sudah benar-benar tegak berdiri. ''Kayanya ibu sudah terangsang yaa''? dia menggodaku, berbisik di telinga. Aku menggeleng lemah, ''tidaaak....,Aahkk...., lepaskan ibu nak..., aaahk.....ooughs....., cukup sayang lepaskan ibu ini dosa nak...'' aku memohon tapi tak sungguh-sungguh berusaha menghentikan perbuatan yang di lakukan anakku terhadapku. ''Jangan nak... ibu mohon.... Tapi tak lama kemudian tiba-tiba arman memangut bibirku,meredam suaraku dengan memangut bibir merahku, menghisap dengan perlahan membuatku kaget sekaligus terbawa syahwatku semakin meningkat. Oh Tuhan... dia mencium bibirku, menghisap mulutku begitu lembut, aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya, Suamiku tak pernah melakukannya seenak ini, tapi dia... Aahkk... dia hanya anakku, tapi dia bisa membuatku merasa nyaman seperti ini, dan lagi............ Oohkk...oooohhkkk..... Tubuhku menggeliat! Kenapa dengan diriku ini, ciuman arman terasa begitu menyentuh, penuh perasaan dan sangat bergairah. "Aahkk... aaahhk,," Tangan itu, kumohooon jangan naik lagi, aku sudah tidak tahan lagi, Aahkk... hentikan, cairanku sudah keluar. Lidah arman anakku menari-nari, melakukan gerakan naik turun dan terkadang melingkar. Kemudian kurasakan lidahnya menyeruak masuk kedalam vaginaku, dan menari-nari di sana membuatku semakin tidak tahan. "Aaahkk... Nak....!"

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku