Seorang suami merasa istrinya menyembunyikan sesuatu. Ketika ia menyewa detektif pribadi, ia menemukan bahwa istrinya telah berselingkuh dengan pria yang ia kenal, mengguncang kepercayaan yang ia miliki selama ini.
Arman duduk di meja makan, menatap piring berisi nasi dan lauk yang tidak tersentuh. Rina, istrinya, sibuk dengan ponselnya, tampak tidak peduli dengan suasana di sekitarnya. Hal ini bukanlah yang biasanya terjadi di antara mereka. Arman merasakan ada sesuatu yang aneh.
"Rin," panggil Arman pelan, berusaha memecahkan kebisuan yang menyelimuti mereka.
"Hm?" Rina menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.
"Apakah kamu baik-baik saja? Sepertinya kamu agak... jauh akhir-akhir ini."
Rina mengangkat kepalanya, matanya terlihat sedikit terkejut. "Aku baik-baik saja, Arman. Mungkin hanya capek setelah bekerja."
Arman mengangguk, tetapi hatinya tetap merasa gelisah. Ia tahu ada yang tidak beres. Sejak beberapa minggu terakhir, Rina sering pulang terlambat, dan jika ditanya, selalu ada alasan yang terdengar tidak meyakinkan.
"Jika ada yang mengganggu pikiranmu, kita bisa bicarakan," Arman mencoba menenangkan, walaupun hatinya bergetar.
Rina tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa dingin. "Tidak ada yang perlu dibicarakan. Aku hanya butuh waktu untuk diriku sendiri."
Arman merasa ada jarak yang tak terukur antara mereka. Ia mengalihkan pandangannya ke jendela, melihat hujan yang mulai turun di luar. Setiap tetesnya seperti mewakili keraguannya yang terus bertambah.
Setelah beberapa saat, Rina berdiri dan mengumpulkan piringnya. "Aku mau istirahat sebentar. Nanti kita lanjutkan pembicaraannya, ya?"
"Baiklah," jawab Arman, meskipun perasaannya semakin tidak nyaman. Rina melangkah pergi, dan Arman merasa terjebak dalam labirin pikirannya sendiri.
Sambil menghabiskan sisa waktu malam, Arman memikirkan apa yang bisa saja terjadi. Apakah mungkin Rina benar-benar menyimpan sesuatu? Apakah ada orang lain yang mengisi ruang kosong di hatinya? Ketakutan itu membayangi setiap detik, dan Arman berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanya ilusi.
Ketika Rina kembali, dia tampak lebih segar, tetapi Arman merasakan sesuatu yang berbeda dalam cara mereka berinteraksi. "Rin, aku hanya ingin tahu... Apakah ada yang ingin kamu ceritakan padaku?" tanya Arman dengan lembut.
Rina melihatnya, dan ada keraguan dalam matanya. "Arman, aku janji tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mungkin kita hanya perlu sedikit waktu untuk diri kita masing-masing."
Arman mengangguk, tetapi hatinya menolak untuk percaya. Setelah Rina pergi ke kamar, ia meraih ponselnya dan mulai mencari informasi tentang detektif swasta. Kecemasan yang terus menggerogoti hatinya mendorongnya untuk mengambil langkah yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Jika kamu memang menyembunyikan sesuatu, Rina, aku akan mencari tahu," bisiknya pada diri sendiri, penuh tekad. Saat malam semakin larut, Arman merasa seperti seorang detektif dalam cerita kriminal, siap menyelidiki kebenaran yang tersembunyi di balik senyuman istrinya.
Kepalanya berputar, dan ketakutan itu berubah menjadi ketegangan. Apakah ia siap untuk menghadapi apa yang mungkin ia temukan?
Pertanyaan itu menggantung di udara, mengisyaratkan awal dari perjalanan panjang yang tak terduga.
Malam itu, Arman tidak bisa tidur. Setiap detik di jam dinding terasa seperti satu jam. Ia berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang gelap. Hanya suara hujan yang membasahi atap rumahnya yang menjadi teman setianya. Pikirannya terus terbayang pada Rina dan kebohongan yang mungkin telah ia tutup-tutupi.
Dalam kekalutan, ia akhirnya memutuskan untuk melakukan pencarian online tentang detektif swasta. Dengan cepat, Arman menemukan beberapa nomor telepon dan alamat situs web. Dia mengklik salah satu tautan dan melihat profil detektif yang menawarkan layanan penyelidikan.
"Sinta Detektif Pribadi," gumam Arman, membaca deskripsi. "Keahlian dalam kasus perselingkuhan dan pengawasan."
Ketika ia menatap layar, perasaannya campur aduk antara rasa bersalah dan keberanian. "Apakah aku harus melakukannya?" tanyanya pada diri sendiri. Meskipun hatinya berteriak menolak, rasa ingin tahunya jauh lebih kuat.
Arman mengambil napas dalam-dalam dan mulai mengetik pesan untuk Sinta. Setelah beberapa kali mengedit, ia akhirnya menekan tombol kirim.
Keesokan harinya, Arman merasa cemas ketika menunggu balasan dari Sinta. Setiap detik terasa seperti bertahun-tahun. Saat jam menunjukkan pukul 10 pagi, ponselnya bergetar. Dia melihat nama Sinta muncul di layar.
"Selamat pagi, Arman. Saya menerima pesan Anda. Apakah kita bisa bertemu untuk membahas detail lebih lanjut?"
Arman merasakan campuran rasa lega dan ketegangan. "Ya, tentu. Kapan Anda tersedia?" balasnya cepat.
Mereka akhirnya sepakat untuk bertemu di sebuah kafe pada sore hari. Arman berusaha untuk tetap tenang saat berangkat. Di dalam mobil, pikirannya kembali melayang pada Rina. Ia teringat saat-saat indah ketika mereka masih baru menikah, saat Rina tampak sangat bahagia dan penuh cinta.
Di kafe, Sinta sudah menunggu dengan segelas kopi di depannya. Wanita itu terlihat profesional, dengan penampilan rapi dan ekspresi serius yang mengisyaratkan bahwa ia menganggap pekerjaannya dengan serius.
"Arman?" Sinta menyapa dengan senyum tipis.
"Iya, saya Arman," jawabnya, menarik kursi dan duduk.
"Jadi, apa yang membuat Anda ingin menyewa detektif?" Sinta mulai bertanya.
Arman mengeluarkan napas dalam-dalam. "Saya merasa istri saya, Rina, menyimpan sesuatu dari saya. Dia sering pulang terlambat dan terlihat sangat berbeda. Saya khawatir ada yang tidak beres."
Sinta mengangguk. "Tentu, bisa Anda ceritakan lebih banyak tentang perubahan yang Anda amati?"
Arman mulai menjelaskan tentang kebiasaan Rina yang baru, tentang pesan-pesan di ponsel yang tidak pernah dia tunjukkan, dan tentang bagaimana sikap Rina terasa semakin jauh darinya.
"Berapa lama Anda sudah merasakan ini?" tanya Sinta.
"Sekitar satu bulan terakhir. Tapi sejujurnya, saya tidak ingin terlalu mencurigai dia. Namun, semuanya terasa tidak biasa," jawab Arman, suaranya bergetar.
"Baiklah, Arman. Saya akan melakukan yang terbaik untuk membantu Anda menemukan jawaban," Sinta menjelaskan, mengeluarkan catatan untuk mencatat semua informasi yang diberikan Arman.
Sesi tersebut berlangsung selama hampir satu jam, di mana Arman memberikan semua detail yang ia miliki tentang Rina. Ketika mereka selesai, Arman merasa sedikit lebih tenang, meskipun rasa takut akan hasil penyelidikan tetap membayangi.
"Apakah Anda yakin Anda siap untuk apa pun yang mungkin kami temukan?" Sinta bertanya dengan serius.
Arman menunduk sejenak, berpikir keras. "Saya tidak tahu. Tapi saya harus tahu. Saya tidak bisa hidup dalam kebohongan ini."
Sinta mengangguk. "Baiklah, saya akan memulai penyelidikan. Namun, harap diingat bahwa kadang kebenaran bisa lebih menyakitkan daripada kebohongan."
Arman merasa pernyataan itu seperti tamparan. Dia tahu bahwa apa pun yang ditemukan bisa menghancurkan hidupnya. Namun, dia juga tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam keraguan. "Saya akan siap menghadapi apa pun yang terjadi," ucapnya tegas.
Mereka pun berpisah, dan saat Arman meninggalkan kafe, hatinya berdebar-debar. Setiap langkahnya terasa berat, seperti berjalan di atas jejak yang belum jelas arahnya. Dia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai, dan kebenaran yang ia cari mungkin akan mengubah segalanya.
Arman berjalan pulang dengan pikiran yang penuh keraguan. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah-olah ada beban yang tidak bisa ia lepaskan. Hujan di luar semakin deras, menciptakan suasana yang sejalan dengan perasaannya. Ia merasa seperti berjalan di dalam kabut yang tebal, dengan ketidakpastian yang membayanginya.
Setibanya di rumah, suasana kembali terasa sepi. Rina belum pulang dari pekerjaannya. Arman duduk di sofa, memandangi foto-foto mereka berdua yang tersimpan di meja. Foto-foto itu menggambarkan kebahagiaan, tawa, dan cinta yang tampaknya tak terputuskan. Namun, semua itu terasa seperti kenangan yang jauh.
Beberapa jam berlalu, dan Arman mulai merasa gelisah. Ponselnya bergetar, dan ia melihat pesan dari Sinta.
"Arman, saya akan memulai penyelidikan besok pagi. Saya akan memberi tahu Anda tentang kemajuan saya. Sementara itu, jangan ragu untuk menghubungi saya jika Anda memiliki pertanyaan."
Ia membalas pesan tersebut, berusaha menenangkan diri. "Terima kasih, Sinta. Saya berharap bisa mendapatkan jawaban secepatnya."
Ketika Rina akhirnya pulang, Arman berusaha untuk tetap tenang. Wanita itu tampak lelah, dan senyumnya kali ini terasa tulus, meskipun Arman masih merasakan jarak yang menyakitkan.
"Maaf aku pulang terlambat, Arman. Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan," ujar Rina, meletakkan tasnya di sofa.
Arman mengangguk, berusaha menghindari pertanyaan-pertanyaan yang muncul di pikirannya. "Tidak apa-apa. Kamu pasti capek. Mau aku buatkan teh hangat?"
"Bisa. Terima kasih," Rina menjawab sambil menghapus riasan wajahnya di depan cermin.
Saat Arman membuat teh, ia mendengar suara Rina dari kamar. "Kamu tahu, akhir-akhir ini aku merasa kamu agak berbeda. Apa ada yang ingin kamu bicarakan?"
Arman berhenti sejenak, hatinya berdegup kencang. Ia ingin menceritakan segalanya, tetapi ketakutan akan reaksi Rina membuatnya ragu. "Tidak, tidak ada yang penting. Aku hanya sedikit lelah," jawabnya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.
Ketika ia membawa dua cangkir teh ke ruang tamu, Arman berusaha menciptakan suasana yang lebih ringan. "Kita bisa nonton film atau main game setelah ini. Bagaimana?" tawarnya.
Rina tersenyum, meskipun tampak ragu. "Mungkin kita bisa nonton film favorit kita? Sudah lama kita tidak melakukannya."
Arman mengangguk, berusaha mengalihkan perhatian dari kecurigaannya. Namun, saat mereka duduk bersama di sofa, matanya tidak bisa lepas dari Rina. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatnya bertanya-tanya.
"Rina, aku tahu kita sudah melewati banyak hal bersama. Tapi... kadang-kadang, aku merasa kamu menyimpan sesuatu dariku," Arman akhirnya mengungkapkan keraguannya.
Rina menatapnya dengan serius. "Maksudmu apa? Kenapa kamu berpikir seperti itu?"
"Aku hanya merasakan ada yang berbeda. Seperti ada sesuatu yang kamu sembunyikan," ujarnya, berusaha untuk terdengar lembut meskipun jantungnya berdebar.
"Arman, aku tidak menyembunyikan apa-apa. Kamu tahu aku mencintaimu," Rina menjawab, tetapi ada ketegangan dalam suaranya.
"Jika begitu, kenapa kamu sering pulang terlambat? Kenapa kamu tidak pernah mau berbagi ceritamu lagi? Kita selalu berbagi segalanya," Arman mengeluh, suaranya penuh keputusasaan.
Rina terlihat terkejut, tetapi kemudian menundukkan kepala. "Maafkan aku jika aku membuatmu merasa tidak nyaman. Mungkin aku hanya butuh waktu untuk diri sendiri," jawabnya pelan.
Arman merasa hatinya remuk. Ia ingin percaya, tetapi rasa curiga itu terlalu mendalam. "Rina, aku tidak ingin kehilanganmu. Tapi aku juga tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian."
Rina terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. "Arman, aku-"
Sebelum Rina melanjutkan, ponsel Arman bergetar. Ia melihat pesan dari Sinta lagi. "Arman, saya mendapatkan informasi awal mengenai Rina. Kita perlu berbicara segera."
Sosok Rina di sampingnya seolah menghilang seketika saat Arman membaca pesan itu. Kebingungan dan ketegangan mengisi udara di antara mereka. Arman merasa terjebak di antara dua dunia-cinta yang ia rasakan untuk Rina dan kebenaran yang mungkin menghancurkan semuanya.
"Maaf, Rin. Aku harus pergi sebentar," ujarnya, berusaha berdiri meskipun jantungnya berdebar kencang.
"Ke mana?" tanya Rina, wajahnya tampak khawatir.
"Teman lama," jawab Arman singkat, lalu pergi ke ruang kerja, meninggalkan Rina yang terdiam di sofa.
Di ruang kerjanya, Arman meraih ponsel dan menjawab Sinta, "Baik, saya siap untuk mendengar." Ketika pesan itu terkirim, hatinya bergetar. Dia tahu bahwa setiap langkah ke depan bisa menjadi langkah terakhir dalam perjalanan cintanya.
Dan saat itu, Arman sadar bahwa ia akan segera menghadapi kebenaran yang tak terelakkan-kebenaran yang mungkin meruntuhkan semua yang telah dibangunnya bersama Rina.
Bersambung...
Buku lain oleh Tetesan Fajar
Selebihnya