Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Istriku Berasal Dari Kerajaan Medang

Istriku Berasal Dari Kerajaan Medang

emurbawa

5.0
Komentar
1.1K
Penayangan
25
Bab

Kirana Ayu Wening, seorang gadis dari kerajaan Medang tak sengaja melakukan perjalanan waktu ke masa depan yang berjarak sekitar 1024 tahun kemudian dan datang tepat di tengah-tengah kota yang ia tak ketahui bentuk bangunan dan warganya. Di sana ia tanpa sengaja bertemu dengan Yodha, seorang pekerja yang baru saja putus cinta. Tanpa pamrih, ia memungut gadis itu untuk memulai hidup baru di dunia yang asing ini baginya. Rasa sedih, sakit, kebingungan, senang dan haru kini akan mereka lalui bersama.

Bab 1 Prolog

"Ibu, aku akan mencari kayu bakar di hutan untuk nanti malam," ucap seorang gadis berambut panjang hitam yang diikat rapi dengan tali pita biru. Wajahnya ceria, dan ia mengangkat sebuah keranjang rotan yang sudah sedikit usang namun masih kokoh untuk menyimpan kayu bakar.

"Sudah waktunya, ya? Baiklah, sekalian tolong bawakan bekal untuk ayahmu di sawah juga, Kirana," jawab ibunya sambil tersenyum lembut, tangannya lincah mengemas nasi dan lauk pauk sederhana ke dalam bungkusan daun pisang.

"Baik, Bu!" jawab gadis yang bernama Kirana itu. Ia mengambil bekal makanan yang telah disiapkan oleh ibunya, lalu memasukkannya ke dalam keranjang. Setelah berpamitan dengan ibunya, Kirana melangkah keluar dari rumah, melewati pintu kayu yang berderit halus.

Perjalanan menuju sawah milik mereka sedikit agak jauh dari rumah, tetapi Kirana menikmati setiap langkahnya. Jalan setapak yang ia lalui diapit oleh pepohonan hijau dan semak-semak yang penuh dengan bunga liar berwarna-warni. Suara burung-burung berkicau riang di atas dahan, sementara angin lembut berhembus menerpa wajahnya, mengibarkan beberapa helai rambut yang lolos dari ikatan. Ia merasa senang dan bebas, dan sesekali ia menendang batu-batu kecil di jalan sambil bersenandung pelan.

"Inilah yang namanya kehidupan damai!" gumamnya, matanya berbinar melihat pemandangan alam yang asri dan tenang. Hatinya dipenuhi rasa syukur atas kebahagiaan sederhana yang ia miliki.

Setelah beberapa lama berjalan, Kirana tiba di sawah milik keluarganya. Sawah itu tidak terlalu besar, tapi cukup untuk mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Padi yang mulai menguning bergoyang lembut diterpa angin, menciptakan gelombang kecil di atas lautan hijau dan emas.

Ia berjalan menuju tempat ayahnya berada. Dari kejauhan, ia bisa melihat seorang lelaki yang sedang duduk di saung kecil di tengah sawah itu, sosok yang sangat ia kenal. Ayahnya tampak sedang beristirahat, topi capingnya dilepas dan diletakkan di sampingnya. Wajahnya yang berpeluh menunjukkan kelelahan setelah bekerja seharian.

"Ayah!" panggil Kirana sambil melambaikan tangan. Ayahnya menoleh dan tersenyum lebar saat melihat putrinya mendekat.

Laki-laki itu menoleh ke arah asal suara tersebut. "Ini, aku membawakan bekal untuk Ayah."

Laki-laki itu tersenyum. "Akhirnya... ini yang sudah Ayah tunggu-tunggu, perut Ayah sudah mulai keroncongan," jawabnya sambil memegang perutnya.

"Maaf, hari ini sedikit terlambat karena aku harus membantu Ibu terlebih dahulu memotong kayu bakar untuk memasak."

"Tak apa, Ayah sudah tahu itu dan tak perlu meminta maaf, Kirana."

"Baiklah Ayah, aku harus pergi untuk mengumpulkan kayu bakar untuk malam nanti. Silakan nikmati makananmu dan ingat untuk pulang tepat waktu."

Setelah berkata demikian, ia pun mulai berjalan menjauh dari sawah menuju hutan yang tidak jauh dari sawah milik keluarganya.

Saat di dalam hutan, Kirana sengaja tidak memasukinya terlalu dalam karena ia tahu di dalam hutan tersebut hidup beberapa harimau yang kadang keluar untuk memangsa ternak milik warga desa. Sembari bersenandung kecil, ia mulai memungut batang maupun ranting pohon yang sudah jatuh dan kering di tanah.

"Ini... belum cukup sama sekali untuk kami pakai nanti malam," ucapnya, melihat keranjang kayu bakarnya baru terisi sangat sedikit.

"Aku tahu kalau masuk lebih dalam lagi akan berbahaya bagiku, tapi kayu bakar ini masih belum cukup."

Ia merasa bimbang dan merasa tak enak kepada orang tuanya jika membawa sedikit kayu bakar, pasalnya saat ini sudah masuk musim hujan dan malam hari akan terasa sangat dingin jika hujan turun. Belum lagi jika kayu bakar yang ia bawa dalam keadaan basah akibat seringnya hujan, akan sangat sulit untuk menggunakannya.

"Baiklah, untuk hari ini saja aku akan masuk sedikit lebih dalam ke hutan ini!" katanya dengan tekad yang bulat.

Dengan tekad yang sudah bulat, ia berjalan menuju hutan untuk memasukinya lebih dalam lagi. Memang jaraknya agak jauh, tapi sepertinya keputusan yang ia buat itu membuahkan hasil. Di pedalaman hutan itu, ia menemukan banyak sekali ranting dan batang pohon yang bisa ia jadikan kayu bakar.

Layaknya menemukan harta karun, matanya berbinar-binar sembari mulai memunguti satu persatu kayu-kayu itu dengan bersenandung senang. Wajahnya sumringah kegirangan karena dalam waktu yang tidak terlalu lama, keranjang yang ia bawa sudah sangat penuh berisikan kayu bakar.

"Sudah kuduga! Keputusanku untuk masuk lebih dalam itu memang benar!" Ia mengepalkan tangannya sembari tersenyum gembira.

Setelah itu, ia memutuskan untuk mencari tempat guna istirahat sejenak di tempat itu karena merasa sedikit kelelahan. Tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang, ia menemukan sebuah pohon besar yang rindang lalu ia memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon rindang itu.

Di tempat itu, ia duduk dengan mensejajarkan posisi kakinya dengan lurus sembari memijat-mijatnya karena merasa sedikit keletihan. Tanpa terasa waktu berlalu dan ia tertidur di bawah pohon itu.

***

Tiba-tiba saja, Kirana terbangun dari tidur singkatnya itu. "Gawat! Sudah berapa lama aku tertidur?!"

Dengan tergesa-gesa, ia segera merapikan kayu bakarnya dan segera pergi dari tempat itu. Namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti saat pandangannya menangkap sesuatu yang sangat tak asing baginya.

Kini di hadapannya, seekor harimau yang sangat besar tengah melihatinya.

"Apakah ini akhir dari hidupku?" gumamnya dengan rasa ketakutan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Gemetar, takut, dan rasa tidak berdaya seketika menyelimuti gadis itu.

Selama beberapa detik, ia hanya berdiri diam saja sembari menunggu harimau besar itu pergi. Namun dari pandangan harimau itu, terlihat jelas bahwa ia telah menemukan mangsa di hadapannya.

Harimau itu pun tidak beranjak dari tempatnya dan terus menatap Kirana yang ada di hadapannya. Dengan sisa-sisa keberanian, Kirana melemparkan kayu bakar yang ia kumpulkan dengan keras ke arah harimau besar itu dan lari sekencang mungkin ke arah luar dari hutan.

Seakan tidak terpengaruh oleh lemparan kayu bakar, harimau besar tersebut dengan cepat berlari mengejarnya. Tak ingin kehilangan mangsanya, harimau besar itu berusaha mengejar dan menerkamnya. Entah keberuntungan apa yang dimiliki Kirana, ia berkali-kali lolos dari terkaman harimau besar tersebut.

Tubuhnya terluka dan pakaiannya terlihat agak compang-camping karena Kirana selalu menerjang ranting dan dedaunan pohon-pohon besar di dalam hutan itu. Saat tenaganya hampir habis dan ia sudah tak kuat lagi berlari, ia dihadapkan dengan sebuah tebing yang curam.

Ia tertawa kecil sambil melihat harimau besar itu yang sekarang sudah berada tak jauh dari hadapannya. "Ini adalah benar-benar akhir dari hidupku... Ayah, Ibu, mohon maafkan putri kalian ini!"

Kirana pun memutuskan untuk melompat dari atas tebing yang tinggi itu. Tubuhnya terguling-guling dari atas tebing menuju ke arah sungai yang ada di bawahnya. Sesekali tangannya mencoba meraih batang pohon kecil atau tanaman rambat yang ada di sekitarnya demi mencoba selamat dari kejatuhan itu.

Namun, malang, cengkeramannya tidak ada yang berhasil mengenai benda apapun hingga akhirnya ia terguling sampai tercebur ke dalam sungai itu. Anehnya, ia masih selamat dari kejadian itu dan sempat mencoba berenang menuju pinggir sungai.

"Rupanya Tuhan masih memberikanku kesempatan untu-"

Kirana pun tak sadarkan diri saat sudah menepi di pinggir sungai.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh emurbawa

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku