Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Penyihir Terakhir

Penyihir Terakhir

emurbawa

5.0
Komentar
31
Penayangan
15
Bab

Zephyr adalah satu-satunya penyihir yang selamat dari pembantaian mengerikan seratus tahun lalu, ketika manusia menyerang dan membantai seluruh kaumnya di malam yang penuh kegelapan dan darah. Di detik-detik terakhir hidupnya, sepupunya berhasil menyelamatkannya menggunakan sihir teleportasi, meninggalkan Zephyr sendirian untuk mengarungi dunia yang penuh kebencian dan dendam. Selama seratus tahun, Zephyr hidup menyendiri di hutan yang dahulu merupakan ibu kota Kadipaten Elzir yang kini menjadi reruntuhan. Keheningan dan kesendirian menjadi sahabatnya, hingga suatu hari, pasukan dari Kerajaan Elde menemukannya. Mereka menganggapnya sebagai ancaman dan berusaha melenyapkannya. Apakah dia akan membalas dendam dan menghancurkan manusia yang telah melenyapkan kaumnya? Atau mencoba mencari cara untuk hidup berdampingan dengan mereka? Pilihan ini akan menentukan masa depan tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi hubungan antara manusia dan penyihir di masa depan.

Bab 1 Prolog

Penyihir, ya, penyihir.

Penyihir adalah ras tertinggi di antara manusia, memiliki kekuatan sihir yang berasal langsung dari dalam tubuh mereka, tanpa memerlukan tongkat atau buku sebagai medium.

Berbeda dengan manusia biasa yang memerlukan medium untuk menyalurkan energi sihir, penyihir dapat memanipulasi energi tersebut langsung dari tubuh mereka.

Penyihir tidak terikat oleh batasan usia seperti manusia pada umumnya, yang biasanya hanya hidup hingga 50 atau 60 tahun. Ketika seorang penyihir mencapai usia 20 tahun, mereka terbebas dari penuaan dan bisa hidup selama berabad-abad.

Secara fisik, penyihir hampir tidak bisa dibedakan dari manusia biasa. Mereka memiliki penampilan dan ciri fisik yang sama, dengan satu-satunya perbedaan yang terletak pada energi sihir yang mereka miliki.

Pada titik tertentu dalam kehidupan mereka, banyak penyihir memilih untuk mengembara atau hidup berdampingan dengan manusia biasa. Mereka sering membuka toko obat-obatan, menggunakan ilmu mereka untuk membantu manusia.

Manusia sangat bergantung pada para penyihir, sehingga mereka mengistimewakan para penyihir. Namun, para penyihir menolak perlakuan istimewa ini dan hanya ingin hidup berdampingan secara damai.

Penyihir memiliki aturan ketat dalam kehidupan mereka, salah satu yang paling penting adalah larangan menikah dengan manusia. Aturan ini muncul dari pengalaman pahit di masa lalu.

Pernah ada seorang penyihir yang menikah dengan manusia biasa. Saat manusia itu menua dan meninggal, penyihir tersebut tetap awet muda dan tidak menua sedikitpun. Rasa kehilangan yang mendalam membuat penyihir itu patah hati, hingga akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya, meninggalkan anak mereka yang setengah manusia dan setengah penyihir.

Beberapa tahun kemudian, manusia membentuk sebuah kekaisaran besar dengan menyatukan semua kerajaan di belahan timur yang diberi nama Kekaisaran Elde.

Kekaisaran ini kemudian mengusir para penyihir karena rasa iri terhadap kekuatan mereka. Tragedi ini mempertegas betapa pentingnya aturan yang telah dipegang teguh oleh para penyihir selama berabad-abad.

Para penyihir pun mengikuti langkah manusia dengan mendirikan Kekadipatenan yang diberi nama sebagai Kadipaten Elzir demi mempertahankan diri mereka dari keserakahan manusia yang mulai merusak alam.

Meski tidak sebesar Kekaisaran, Kadipaten ini cukup untuk menampung semua penyihir yang ada di dunia.

Kaisar pertama Elde kemudian memerintahkan para pejabatnya untuk mengambil upeti dari Kadipaten Elzir, awalnya Adipati penyihir memberi upeti pada manusia tapi lambat laun besaran upeti bertambah dan para penyihir merasa tertekan.

Para penyihir meminta pada Adipati mereka untuk bernegosiasi dengan manusia agar menurunkan biaya upeti untuk dibayar. Sang Adipati itu menyetujuinya, dia bergegas ke Kekaisaran Elde untuk bernegosiasi.

Namun ketika sampai di perbatasan antara Kekaisaran dan Kadipaten, Adipati melihat rombongan tentara dari Kekaisaran tengah berbaris rapih masuk ke dalam kota benteng di perbatasan itu.

Dia tidak menaruh curiga dan masuk ke dalam kota untuk bernegosiasi dengan pejabat lokal. Tapi ternyata di dalam kota itu ada Kaisar dari manusia yang sedang beristirahat, lalu dumulailah niatnya untuk bernegosiasi langsung dengan Sang Kaisar.

Kaisar tidak menerima negosiasi, dia mengancam jika para penyihir tak memberikan upeti maka akan dibantai.

Adipati penyihir tak tinggal diam, ia berusaha untuk menenangkan dan meredakan situasi yang menegang. Tapi sayangnya dia tidak berhasil.

Kaisar mengancam akan menusuk dan melenyapkan Adipati jika menolak, tentu saja Adipati tak bergeming. Ia paham betul jika tak ada satupun senjata buatan manusia yang mampu menyakiti para penyihir kecuali kekuatan penyihir itu sendiri.

Tiba-tiba, Kaisar menghunuskan pedangnya dan menusuk Adipati dengan gerakan cepat.

Jleb!

Pedang itu menusuk perut Adipati penyihir dan menembusnya, Adipati yang tak menyangka hal itu tak bisa berbuat apa-apa. Dia baru menyadari kalau manusia baru saja mengembangkan senjata yang dapat melenyapkan para pehihir.

Saat ia berusaha untuk memulihkan lukanya dengan sihir, pedang lainnya menusuk dadanya dan membuat Sang Adipati meninggal di tempat.

"Malam ini kita akan memburu para penyihir!"

Teriak Kaisar dengan keras dan disahut oleh semua prajuritnya yang ada di situ.

Dengan kematian Adipati Kadipaten Elzir, rencana pembantaian para penyihir oleh Kaisar menjadi mulus. Malam harinya, seluruh prajurit Kekaisaran dikerahkan untuk menyerbu wilayah Kadipaten Elzir tanpa sepengetahuan para penyihir.

Ribuan pasukan berkuda, ribuan ksatria, ribuan pemanah, dan puluhan ribu rakyat Kekaisaran ikut ambil bagian dalam serangan itu, berharap bisa menjarah barang-barang milik penyihir untuk diri mereka sendiri.

Tengah malam, ribuan pasukan Kekaisaran dengan baju zirah mengkilap menerjang masuk ke desa-desa penyihir. Para penyihir yang sedang terlelap terbangun dengan teriakan panik.

Bola api dan petir sihir beterbangan menghantam para penyerang. Namun, dengan senjata baru yang mereka miliki, prajurit Kekaisaran mampu menangkis dan menghancurkan serangan sihir tersebut.

Sebuah ledakan besar mengguncang desa saat beberapa prajurit menggunakan bom sihir yang mereka ciptakan khusus untuk menghancurkan rumah-rumah penyihir. Para penyihir muda berusaha melawan, namun satu per satu tumbang oleh senjata campuran antara emas dan perak yang mematikan.

Seorang penyihir tua berusaha melindungi anak-anak dengan perisai sihirnya, namun perisainya hancur oleh serangan bertubi-tubi dan dia pun tewas.

Di kesunyian malam, desa-desa penyihir di Kadipaten dibantai dan dibakar satu per satu. Teriakan dari para penyihir yang disiksa dan dibantai menggema, menambah horor malam itu.

Para penyihir yang terkejut mencoba melawan dengan sihir serangan mereka, tetapi sia-sia saja. Manusia telah diam-diam menciptakan senjata dari campuran emas dan perak yang dapat menghancurkan syaraf dan peredaran darah para penyihir, yang sebelumnya kebal terhadap senjata apapun.

Para penyihir yang melakukan perlawanan sia-sia kini lari tunggang-langgang demi menyelamatkan diri. Hingga akhirnya, pasukan besar manusia tiba di ibu kota Kadipaten Elzir.

Tak butuh waktu lama bagi Kekaisaran untuk meratakan ibu kota kadipaten. Semua penduduk yang tertangkap dibantai tanpa ampun, tak menyisakan satu nyawa pun.

Di tengah kekacauan, seorang bocah lelaki berlari di antara reruntuhan, diikuti oleh gadis yang mencoba melindunginya. Gadis itu melemparkan bola api dan petir ke arah prajurit yang mengejar, tetapi mereka terus mendesak maju.

Saat mereka terpojok, gadis itu dengan nekat melompat ke arah prajurit, menahan serangan tombak yang diarahkan pada bocah tersebut. Dia menjerit kesakitan namun berhasil melantunkan mantra terakhirnya, mengirim bocah itu jauh ke dalam hutan.

Prajurit Kekaisaran berhenti sejenak, terkejut dengan sihir yang dilancarkan gadis itu, namun segera kembali ke tugas mereka, membantai setiap penyihir yang mereka temui.

Seratus tahun kemudian.

Bocah lelaki yang kini telah dewasa kembali ke tempat asalnya. Dengan penuh dendam dan kepedihan, dia berjanji akan membalas dendam atas apa yang telah dilakukan manusia kepada kaumnya.

Hutan tempatnya berlindung menjadi saksi bisu dari tekad dan rencananya untuk mengembalikan kejayaan para penyihir dan menuntut keadilan bagi mereka yang telah dibantai.

"Inikah balasan dari kebaikan kaum kami pada kalian, wahai manusia?"

Dia bergumam, matanya menatap sisa-sisa kehancuran seratus tahun lalu dengan penuh dendam dan kepedihan.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh emurbawa

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku