Jess tak terlalu menggubris sekitarnya. Bahkan jikalau ada gempa bumi berkekuatan 10 skala richer sekalipun, Jess tak peduli. Dunianya hanya; kafe, apartemen, rumah Xena, dan An Flower. Hidup damai tanpa ada gangguan, itu harapnya. Akan tetapi, hidupnya memang sudah tak lagi damai. Di mana seorang Dirdja mengekorinya mirip kutil. Menempelinya mirip lintah. Mengajaknya berdebat hingga habis segala sabar yang Jess miliki. Segala cara sudah Jess lakukan untuk menyingkirkan bahkan kalau perlu, ia pinjam tongkat sihir Voldemort untuk mendaraskan mantera; Avada Kedavra. Untuk melenyapkan eksistensi Arslan dari hidupnya, tentu saja. Di mana ujung perselisihan mereka berakhir di ranjang. Menjungkir balikkan kedamaian yang Jess punya juga ... menambah deret perih yang ia alami. Sampai ia berkata dengan suara paling menyedihkan yang ia punya, "Tolong, menjauh dari gue. Tolong." Setelah benar-benar ia sendirian, apa memang ini yang Jess inginkan?
Arslan tampak termangu di tepi ranjang. Apa yang telah ia lakukan?! Menjambaki rambutnya juga rasa percuma lantaran apa yang telah ia lewati, astaga ... Arslan berulang kali menghela napas frustrasi. Bahkan untuk sekadar melirik ke arah ranjang saja, ia tak berani.
Satu lenguh pelan menyapa indera pendengarannya. Suara yang begitu ia kenali. Bagaimana bisa ia lupa? Sejak kali pertama mengenal gadis itu, dirinya sudah mengibarkan bendera perang paling tinggi padanya. Padahal Arslan tak tau berbuat salah di bagian mana. Malah, ia pernah menolong sang gadis dari kejadian yang membuat jantungnya rasa mau lepas dari cangkang.
Tenggelam.
Dan itu disebabkan karena kecerobohan gadis itu sendiri tentu saja. Yang menyebabkan dirinya harus memberi napas buatan? Astaga! Mungkin tingkat refleks Arslan ini tinggi sekali karena ketika gadis itu sudah ia angkat ke tepi kolam, hal yang terlintas di kepalanya adalah gadis itu harus bernapas. Bagaimana pun caranya.
Yang mana, membuat efek domino macam dopamin baginya. Bibir itu kenyal juga manis biarpun tercampur rasa kaporit karena air kolam renang. Belum lagi Arslan merasa ... segalanya pas. Ditambah, semalam! Ya Tuhan! Semalam. Benar. Apa yang telah ia lakukan?!
Ia merasa seperti bajingan kelas kakap tapi ... tapi mana bisa ia menolak konfrontrasi yang gadis itu lakukan? Hingga mereka berakhir di sini. Di ranjang salah satu kamar hotel tempat diadakannya pesta pernikahan sepupunya yang megah juga mewah ini.
"Lo udah bangun?"
Arslan menoleh dengan penuh kejut. Di belakangnya, gadis itu memang belum sepenuhnya bangun. Matanya masih setengah memejam, rambut pink-nya berantakan, dan ... beberapa tanda merah hasta karyanya nyata sekali menghias leher jenjang sang gadis. Arslan lagi-lagi menelan ludah gugup.
Ia tak tau akan seperti apa nasibnya kini.
Hubungan mereka tak pernah dalam skala baik-baik saja. Ditambah kali ini?
"Kenapa lo bengong?"
"Untuk apa saya melamun?"
"Yah ... siapa tau lo nyesel ada di sini."
Arslan tersedak udara yang tiba-tiba masuk ke mulutnya. Apa katanya?
"Eh, harusnya itu pertanyaan lo buat gue, ya? Gue serasa habis ngambil perjaka lo aja."
Pria itu terperangah.
"Oh? Melihat ekspresi lo kayak gitu, gue jadi tambah yakin kalau gue yang ngambil keperjakaan lo. Iya, kan?"
"Saya berhubungan dengan perempuan tapi enggak seperti ini?"
Gadis itu, Jesslyn Rasopati, terkekeh. Menggeleng pelan sembari mengacak rambutnya yang mana gerak itu justeru membuat sebagian tubuh bagian depannya, terlihat jelas. Terutama dadanya yang menyembul indah di sana. Bergoyang pelan seolah mengejek Arslan.
"Pantas aja, sih." Jess menyibak pelan selimutnya. Mempertontonkan tubuhnya yang polos. Tidak. Tidak. Ia tak berniat sengaja hanya saja, ia kebingungan mencari potongan demi potongan pakaiannya yang tercecer. Pasti entah dirinya atau si pria yang seenaknya melempar entah ke sudut mana.
"Pantas apa?"
Jess menghentikan gerak saat dirinya akan turun dari sisi ranjang yang lain. Menghela napas sejenak sembari pura-pura mengingat, padahal sebenarnya ia tengah mencari kata yang pas bagi seorang Arslan Tuan Bar-bar ini. "Pantas kaku. Enggak luwes saat di atas gue."
Lagi-lagi Arslan dibuat melongo. "Kamu ...," Dirinya kehilangan kata-kata lagi. Benar. Segala ucapannya menghilang kala Arslan harus berhadapan dengan gadis ini. Memejam sejenak. Menghukum gadis ini adalah hal yang paling cepat melintasi isi kepalanya. Tanpa ragu, Arslan berbalik dan segera merengkuh pinggang gadis itu. Membuat pekikan Jess membahana di kamar hotel mewah ini.
Tak menyangka kalau dirinya sudah kembali berada di bawah kukungan Arslan kembali. Sorot mata pria itu tajam menghunus, siap menerkamnya kapan saja. Jess takut? Tidak. Justeru ia selalu tertantang untuk membuat sang arogans itu bertekuk lutut padanya. Lewat sorot mata yang tak pernah ada main-mainnya, Jess menumpahkan bara api. Menyulutnya. Hingga ia sendiri terbakar.
Tanpa sisa.
Tanpa kendali.
Juga ... sarat permohonan serupa candu yang kembali menghias kamar ini. Bersatu padu dalam desah yag seirama menambah pagi kali ini, terlalu berbeda dilewatkan oleh dua insan yang seringnya tarik menarik ego. Mengabaikan permainan mereka sudah dalam batas bahaya. Yang mana ... hati mereka taruhannya.
Akan tetapi, seolah mereka sepakat jikalau hari ini adalah milik mereka. Saling membalas satu sama lain tak kalah menggebu. Tak kalah saling ingin unjuk lihai.
"Kalau saya memang kurang luwes, Jess," Arslan menyempatkan diri berkata sebelum benar-benar memasuki gadis yang tampak berang saat ia mempermainkannya. Seringai licik Arslan beri sebagai tanda, kalau dirinya lah yang berkuasa.
"Lo mau bilang apa, sih? Cepat!"
Arslan terkekeh. "Sabar, Sayang. Bilang dulu kalau saya yang kamu ambil perjakanya, sudah luwes memenuhi keinginan kamu." Tadinya ujung milik Arslan tepat berada di bibir bawah Jess namun, ia tarik. Membuat gadis itu sontak makin menggeram kesal. Hingga dengan seenaknya jemari Arslan menggantikannya.
"ARSLAN!"
"What?"
"FUCK YOU!"
"I wanna fuck you, Babe."
"Just do it!"
"Bilang dulu mau saya tadi." Arslan begitu menikmati bagaimana perubahan ekspresi gadis itu. Terutama caranya mendesah. Indah sekali. "Atau ... sudah cukup puas seperti ini?"
Jess memejam kala Arslan mendesaknya dalam satu hentak. Merasakan dengan amat bagaimana pria itu memenuhinya. Ia menunggu untuk Arslan bergerak karena iramanya untuk bergerak belum jua dimulai.
"Ar?" Jess mengerjap bingung.
"Menunggu sesuatu, Jess?"
"Lo ngerjain gue?" Jess sedikit mendorong Arslan yang benar-benar dekat di atasnya tapi pria itu terkekeh.
"Call my name, Jess." Arslan menekan kembali. "Rasakan saya yang menurut kamu enggak luwes ini."
Jess menggeleng, bukan untuk menolak tapi sungguh apa yang terjadi di dalam tubuhnya serupa candu yang kian mencekik. Kepalanya pening mendadak. Napasnya makin terengah. Matanya mulai buram menatap Arslan yang masih menyeringai di atasnya.
"Ar ...," desahnya.
Buku lain oleh Miss_Cha_Riyadi
Selebihnya