Simon, seorang pria biasa yang hidupnya sederhana, mengalami keputusasaan setelah diputuskan secara sepihak oleh pacarnya, Shania, karena menemukan pria kaya sebagai pengganti Simon. Namun, dia bertemu dengan Sandra, wanita ceplas ceplos yang memiliki kisah cinta yang mirip dengan dirinya. Sandra, yang ternyata adalah seorang penerus perusahaan, menawarkan Simon posisi sebagai asistennya. Dalam perjalanan mereka, Simon diberitahu, bahwa nenek Sandra berencana menjadikannya anak angkat dan jodoh Sandra, sampai akhirnya mereka menikah. Namun, kehidupan Simon menjadi rumit ketika Shania kembali meminta balikan, memicu konflik tanpa konsekuensi yang tak terduga.
"Maaf Simon, untuk selanjutnya kita nggak perlu ketemuan lagi, lebih baik kita putus saja!"
"Apa?" Laki-laki yang di sebut Simon terperangah, kata-kata sang kekasih membuatnya kaget.
"Shania, bisa jelaskan alasannya kenapa? Nggak mungkin kamu bikin keputusan sepihak ini tanpa alasan yang jelas."
Dahinya mengernyit, mencoba memikirkan alasan yang masuk akal dari sosok yang di sebut Shania.
"Selama ini kita baik-baik saja kan? Tolong katakan Shania, apa yang membuatmu menyerah akan hubungan kita?"
Shania berjalan pelan mendekati Simon, lalu mendekatkan wajahnya dan berbisik ke telinga Simon.
"Itu karena sejak dulu aku nggak punya perasaan apa-apa sama kamu." Seketika wajah Simon memerah, dia tak percaya mendengar pernyataan Shania.
"Nggak mungkin! Kamu pasti bohong, Shania..."
"Kenapa? Sebenarnya aku ingin memberitahu hal penting ini sejak lama, tapi sayangnya kita jarang bertemu, jadi sulit sekali mencari waktu untuk itu." Shania menarik nafas panjang, "Aku lebih butuh uang, Simon. Coba lihat dirimu di cermin, kamu hanya pria miskin. Kamu nggak bisa kasih apa-apa buat aku."
Simon menyipitkan matanya, melihat keadaan sekitar, mulutnya berkedut. Setelah beberapa detik, bibirnya kembali bergerak.
"Jadi hanya karena itu?" Simon menatap ke langit. "Apa semua itu berasal dari hatimu yang paling dalam, Shania? Seberani itukah kamu memutuskannya?"
Simon berusaha meyakinkan saat sang kekasih hendak pergi.
Mendengar pertanyaan itu, Shania sempat berhenti, suara dengusan dan helaan nafasnya terdengar jelas sebelum menjawab pertanyaan Simon. "Benar..."
Shania benar-benar serius, Simon tertawa miring menanggapinya. "Kamu jangan bercanda, Shania. Siapa yang percaya dengan aktingmu pagi ini, kata-katamu begitu serius dan bikin perasaanku terluka."
Shania diam seribu bahasa, pikirannya sedikit bermasalah. Pada detik itu juga dia langsung pergi dari sana.
Simon sendirian, merenung di tempatnya berdiri dengan wajah tertunduk lesu. Sampai akhirnya dia mencoba berjalan dengan gontai meninggalkan tempat itu.
Di tepi kolam ikan koi, Simon berhenti, menatap pantulan dirinya ke dalam air kolam. Raut wajahnya sayu, ada sesuatu yang bergelayut dalam pikirannya.
Simon menarik nafas sambil mendecakkan lidahnya. "Kenapa aku di takdirkan seperti ini? Aku memang pemuda miskin, tapi haruskah Shania bersikap egois begitu padaku?" Sebenarnya, ada banyak pertanyaan yang menyerang otaknya.
Hubungan mereka baru berjalan satu tahun, semua orang mengira hubungan mereka akan bertahan lama. Namun, ternyata ramalan mereka salah, sejak beberapa detik yang lalu, Simon sudah berstatus lajang.
Meskipun latar belakang keluarga Simon termasuk tidak mampu, tapi ia sangat terpelajar dan juga tampan. Pernah suatu kali, ia di tawari kuliah di luar negeri karena potensinya yang luar biasa, namun, Simon menolak karena suatu alasan yang tak bisa ia jelaskan.
Banyak yang bertanya kenapa, namun Simon malah memilih jadi nelayan demi meringankan beban orang tuanya.
**
Ditengah jalan pulang, Simon tak sengaja melihat Shania, masuk ke sebuah mobil. Seketika Simon bersembunyi dan mengamati gerak-geriknya dari jauh. "Kenapa Shania masuk ke mobil itu?" Matanya terus fokus menatap sosok sang mantan.
Seorang pria berpakaian keluar dari mobil. "Tunggu! sepertinya pria itu familiar..." Simon mencoba mengingat-ingat namanya. "Gerald, benar. Dia Gerald si playboy itu. Nggak mungkin, Shania pasti telah dipengaruhi oleh pria itu. Dia pasti belum tahu sifat asli Gerald. Aku harus mendatangi mereka, semoga masih ada harapan untukku..." Simon menghampiri mereka dengan modal tekad.
"Shania, bisa jelaskan padaku tentang hal ini?" Pemilik nama itu terkejut dan langsung menoleh, melihat tatapan mata Simon yang tajam. "Jawab aku Shania, apa itu karena Gerald? Kamu mencintainya?"
Gadis itu tersenyum sinis, "Bagaimana jika itu benar. Kenapa, kamu keberatan?"
"Shania, kamu jangan bodoh. Dia terkenal playboy, kamu pasti tahu kan? Dia bahkan telah meniduri banyak gadis di luar sana. Kamu juga berencana seperti mereka?" kata-kata Simon begitu sengit, membuat Shania berpikir untuk menyahut.
"Tentu saja aku tahu. Gerald sudah menjelaskannya padaku. Itu semua bohong. Ada banyak gadis yang mau memanfaatkannya demi uang. Jadi kamu nggak perlu ikut campur dengan urusan orang lain."
Simon terkesiap mendengar ucapan Shania, "Kamu bilang orang lain?" Simon melihatnya dengan alis yang sedikit terangkat. "Shania, kamu semudah itu percaya dengannya? Jika kubilang dia berbohong padamu, apa Kamu percaya?"
Shania menutup telinganya sambil berteriak. "Cukup! Kamu jangan berharap apapun padaku, sekarang untuk terakhir kalinya, aku akan beritahu kamu satu hal..."
Simon dengan setia menunggu kata-kata sang mantan selanjutnya, berharap sebuah ada hal yang membuatnya sedikit terhibur. Namun...
"Berhenti menggangguku, dan silakan pergi!"
Shania berbalik setelah berkata kasar dan pergi begitu saja tanpa peduli pada lawan bicaranya, namun sebagai pria yang baru patah hati, ia harus bertindak bodoh mengejar cintanya, dan menggapai tangannya, lalu berkata,
"Shania, dengarkan aku. Pria Sepertinya mungkin akan menipumu, atau jangan-jangan dia telah memaksamu melakukan ini? Jika benar, aku harus berhadapan dengannya."
Shania melepas paksa pergelangan tangannya dari cengkeraman Simon, "Berhenti bohongi diri sendiri, Simon. Gerald sama sekali nggak seperti yang kamu bayangin. Kamu ingin tahu kenapa aku melakukannya? Itu karena aku sudah nggak sanggup bersamamu. Seseorang akan bekerja keras demi menghasilkan banyak uang, begitu juga denganku."
"Tapi..."
"Apa? kamu masih belum paham? Kamu lihat tas milikku sekarang, ini bisa di dapat dengan uang. Kamu tahu harganya berapa? Ratusan dollar! Apa aku bisa punya barang seperti ini jika terus bersamamu? maaf, sepertinya kamu nggak pernah bisa memberiku semua itu."
Simon tertegun, baru hari ini dia melihat sisi lain Shania, ternyata mengenalnya selama tiga tahun terakhir itu belum cukup. "Shania, dengar. Gerald nggak akan pernah menikahimu. Sudah banyak gadis yang disia-siakannya."
"Tuan, Simon Cowell, bukannya selama ini kamu pria yang alim? Sekarang kamu malah berani bicara buruk tentang seseorang di belakangnya, Itu sama saja dengan kamu bergunjing. Dimana semua ilmu agama yang kamu pelajari?"
Keduanya menoleh, mendengar Gerald yang berkata barusan, ucapannya begitu menusuk. Simon jelas tahu alasannya berkata demikian.
Gerald berjalan pelan, mengelilingi mereka yang masih berdiri menatap sosoknya yang memakai semua pakaian branded dan berkelas. Di bandingkan dengan Simon, dia masih jauh tertinggal di bawah.
Gerald dengan tanpa malu meraih tangan Shania, bahkan ia memeluk tubuh rampingnya di depan mata Simon.
"Ge-Gerald?" Shania gugup, tangannya bergetar, terlebih ketika ia meletakkan kepala Shania agar bersandar di bahunya. Membuat wajah polos itu menjadi sangat teduh.
Telapak tangan Simon memanas, wajahnya memerah terbakar cemburu, hatinya merasa sakit seperti ditusuk jarum, sangat pedih. "Kenapa rasanya percuma jika bicara dengannya, haruskah aku bertindak sekarang?"
Simon mengeleng cepat, "Tidak, mereka akan mengira, bahwa aku pria yang lemah. Aku akan buktikan kalau wanita bukan hanya dia." gumamnya dalam hati.
"Shania, keputusanmu sudah bulat kan? Baik, terserah kamu mau apa. Tapi ingat, suatu saat kamu akan menyesali keputusan itu." Setelah berbicara, Simon berbalik, dan pergi.
"Tunggu dulu...!" Suara Gerald terdengar, Simon berhenti, namun ia tak menoleh sedikitpun.
Gerald melirik Shania sekilas, "Sayang, kamu tunggu di mobil, nanti aku akan menyusul setelah ngobrol sedikit dengan mantanmu."
"Gerald, kamu mau apa? Kamu nggak usah peduli sama dia, lagian kami sudah nggak ada ikatan apa-apa lagi. Lebih baik kita segera pergi dari sini. Kamu nggak perlu ngomong apa-apa lagi sama dia." Gerald menaikkan alisnya, alu tersenyum.
"Kamu jangan khawatir, kami hanya akan mengobrol sedikit, itu nggak akan mempengaruhi hubungan kita."
Walau Gerald berkata begitu, Shania ragu-ragu membiark mereka mengobrol, namun ketika memikirkannya lagi, ia tak mau mengurusi hal itu."
"Kalau gitu, aku akan tunggu di mobil,"
Shania berbalik dan masuk ke mobil, sesekali ia melirik ke belakang memastikan kalau mereka berdua tak melakukan kekerasan.
"Kamu masih berharap dia kembali padamu? Tapi, aku sudah terlanjur memilikinya, maaf jika aku telah merebutnya darimu. Jika ingin marah, silakan. Buat aku babak belur sesukamu."
Simon mendengus, "Tapi sepertinya kamu salah. Aku hanya kasihan padanya, kenapa dia bisa mengenal orang baji-ngan sepertimu? Gadis malang. Tapi kamu nggak perlu khawatir dengan nasibku, diluar sana masih banyak gadis yang bisa menggantikannya. Kenapa aku harus mengejar gadis yang sama?"
Kata-kata itu terlontar begitu saja dari bibirnya, Simon tak mau dirinya direndahkan oleh Gerald. Walau sebenarnya hatinya sakit, tapi dia masih besar kepala mengatakan hal demikian. Dia tak mungkin menunjukkan dirinya yang patah hati di hadapan pria baji-ngan itu.
"Tapi Simon, aku beritahu satu hal yang belum kamu ketahui." Gerald mendekat perlahan lalu berbisik ke telinganya,
"Kamu sudah melihatnya kan? Shania punya tubuh yang indah dan s3ksi, sadar dirilah sebagai mantan, aku cemburu melihat kalian berdua masih berdekatan."
Kata-kata itu membuat Simon termangu, ia tahu maksud apa yang dimaksud oleh Gerald. Merasa ingin marah, namun Simon tak tahu harus mulai darimana,
"Baik..., aku harus segera pergi. Shania pasti sudah lama menungguku. Dan, aku sudah memesan kamar terbaik kami di hotel bintang lima, kamu pasti tahu itu tempat apa. Ah, sudahlah. Percuma aku bilang ini, kamu juga nggak mampu membeli makanan di sana."
Ini penghinaan, namun Simon takkan bertindak gegabah sekarang. Dia harus bersikap seperti pria jantan.
"Shania, aku nggak percaya dia malah memilih Gerald untuk menggantikanku. Selama ini, aku sama sekali nggak berani menyentuh Shania, kecuali hanya berpegangan tangan dan berciuman, selebihnya nggak pernah sama sekali. Tapi si pria brengsek itu... dia akan merusak masa depan Shania, apa aku hanya diam saja?"
Hufft...
"Semoga saja mereka nggak berbuat sejauh itu, bagaimana nasibnya jika dia menjadi korban selanjutnya?"
Simon melirik arlojinya, "Pukul 16.00 sore, sepertinya aku sudah terlalu lama di sini. Lebih baik aku keluar mencari kesibukan lain daripada memikirkan hal yang tak penting."