Memiliki suami yang tidak berguna dan kerasnya kehidupan, memaksa Adilla melakoni profesi penjaja cinta demi menghidupi keluarganya. Adilla tahu bahwa dia harus segera melepaskan profesi haramnya itu. Namun, dia tidak tahu caranya ... sampai suatu peristiwa terjadi dalam hidupnya. Bagaimana kisah perjuangan Adilla untuk lepas dari dunia gelap? Apakah dia akan bertemu orang yang mencintai dirinya dengan segala masa lalunya?
Happy Reading
*****
Suara gesekan rel kelambu pada jendela yang dibuka membuat seorang perempuan muda mengerjapkan mata. Silau sinar mentari menusuk indera penglihatannya. Suara lenguhan manja keluar dari bibir tipisnya.
Saat kelopak mata terbuka sempurna, dia melotot. Di sampingnya, sudah ada segepok uang. Senyum kepuasan pun tampak. Tak salah, servis spesial diberikan pada sang tamu tadi malam.
Jika seperti ini terus, tabunganku nambahnya cepet.
Kesakitannya setimpal dengan bayaran yang diterima. Entah siapa yang membuka tirai pada kamar hotel, dia sudah tak peduli. Lekas perempuan itu mencari ponsel untuk melihat waktu. Tepat pukul tujuh dia harus cek out dari hotel mewah ini.
Kakinya mulai turun dari ranjang, kedua pergelangan tangan memerah akibat ikatan tali yang cukup keras. Sedikit lecet-lecet dan terasa perih. Belum lagi luka yang diberikan pria itu pada bagian paha serta kedua bahu. Sekali lagi perempuan itu tersenyum, kali ini senyum getir mengingat hidup yang dijalaninya.
Bukan sekali dua kali, dia mendapat perlakuan menyimpang dari para tamu. Namun, perempuan itu tetap menjalani profesinya dengan baik. Sama sekali tak mengeluh asal ada uang yang bisa dibawa pulang.
Berjalan dengan tertatih-tatih, dia menyalakan air hangat untuk berendam. Masih ada waktu satu jam sebelum meninggalkan hotel. Setidaknya dengan berendam air hangat bisa mengurangi sedikit rasa sakit pada setiap luka di bagian tubuhnya.
Sambil menunggu, dia mulai melamun. Setelah ini aku akan minta cuti pada Bos Eric, kangen pengen pulang.
Air hangat pada bak mandi sudah siap. Dia mulai masuk ke dalam, tetapi terhenti saat dering ponsel berbunyi. Satu nama yang sempat terlintas pada pikirannya tadi menelepon. Baru saja perempuan itu menggeser tombol hijau untuk menyapa, suara si penelepon sudah lebih dulu bertanya.
"Are you okey, Baby? Daddy bener-bener nggak tahu kalau cowok semalam punya penyimpangan dalam urusan satu itu." Nada suara seseorang yang menyebut dirinya Daddy itu terdengar khawatir.
"Fine, Dad. Aku bisa ngatasi. Cuma mulai besok, aku ijin pulang bentar. Sekitar empat sampai lima hari aja. Boleh, ya?" pintanya manja.
"Apa kamu terluka?"
"No, cuma luka kecil. Nggak akan terasa buatku." Dia tertawa lebar.
"Oke, temuin Daddy di depan hotel kamu nginap." Selesai berkata, lelaki yang dipanggil Daddy itu menutup panggilannya.
Adilla Erum Halimah, sebuah nama yang disematkan oleh almarhum bapaknya pada perempuan berusia 23 tahun itu. Jangan tanyakan apa pekerjaannya, tentu sudah bisa tertebak dari narasi-narasi yang tersaji di atas. Tak ada perempuan di dunia ini yang mau melakoni pekerjaan sepertinya jika bukan karena terpaksa.
Adilla mulai berendam, luka-luka kecil akibat ikatan serta cambukan tamunya semalam terasa begitu perih. Namun, itu masih belum seberapa jika dibandingkan kehidupan yang terus mengoyak dan menyakiti hatinya.
Satu tetes air jatuh mengaliri pipi. Terbayang keluarganya di desa yang tak pernah tahu apa pekerjaan sesungguhnya. Setiap kali pulang, dia akan memberikan alasan serta kemewahan dunia pada mereka. Topeng keluguan juga dimainkan saat itu.
*****
"Hai, Dad. Dah lama nunggu?" tanya Adilla ketika sudah menemukan lelaki yang dipanggilnya Daddy. Ciuman pipi kanan kiri juga diberikan pada lelaki itu.
Si Daddy membuka kaca mata hitamnya, meneliti setiap inci bagian tubuh si perempuan. Adilla menelan ludah, dalam hati dia berdoa semoga lelaki bernama Eric itu tak melihat luka-lukanya. Beruntung, dia selalu membawa peralatan make up sehingga bisa membantu menyamarkan goresan-goresan yang terukir di tubuh mulusnya.
Sebelum menemui Eric, Adilla sudah menutupi sebagian lukanya dengan foundation dan bedak. Baju yang memang terbuka, sengaja tidak dia tutupi dengan jaket. Hal itu dilakukan agar Eric bisa melihat tak ada luka apa pun pada dirinya.
"Yakin, dia tidak menyakitimu?" tanya Eric.
"Yakin." Adilla memutar tubuh moleknya di hadapan Eric, dia sengaja menonjolkan seluruh lekukan indah itu untuk ditatap dan diteliti.
"Oke. Daddy percaya." Eric menuntun tangan Adilla untuk duduk.
"Daddy dah pesen?" tanya Adilla kemudian.
"Udah," jawabnya, "ceritakan apa yang laki-laki itu lakukan. Daddy nyesel tahu perilaku menyimpangnya pas tengah malam. Awas aja kalau sampai dia datang lagi!"
"Santai, Dad. Dah resiko kami, asal bayarannya sebanding aja. Kalau nggak tinggal tendang dari jendela hotel." Adilla tertawa.
Eric, hanya diam saja. Lelaki paruh baya itu boleh saja seorang bajingan, tetapi dia paling tidak suka jika anak-anak di bawah pengawasannya disakiti oleh tamu yang menyewa jasa mereka. Semalam, dia merasa tertipu dengan lelaki tampan itu.
"Oke. Kapan kamu mau pulang?" Eric mulai meminum minuman dingin yang dia pesan.
"Kalau nanti sore gimana, Dad?" Satu kerlingan mata kiri Adilla berikan agar Eric meloloskan keinginannya.
"Daddy transfer uang bayaran semalam setelah ini. Ponselku lagi low sekarang."
"Up to you, Dad." Tiba-tiba tangan kanan Eric meraba paha mulus Adilla. "Sabar, Dad. Jangan di sini!"
"Oke."
*****
Di tengah perjalanan pulang, Adilla mengganti baju yang terlalu terbuka dengan pakaian yang lebih sederhana. Setiap kali kembali ke rumah, dia menampakkan sisi lain dirinya. Seorang perempuan desa yang masih terlihat sederhana, walaupun sudah bekerja di kota besar. Dia tak mau para tetangga mengulik-ulik pekerjaan dan kehidupannya saat di kota dengan dandanan yang terlalu mencolok.
Sopir suruhan Eric untuk menemaninya pulang, hanya diperbolehkan mengantar sampai pelabuhan saja. Setelah menyeberang selat Bali nanti, perempuan itu akan menggunakan angkutan umum untuk sampai ke rumah. Adilla membayangkan wajah-wajah bahagia Ibu dan adik-adiknya ketika datang. Tak sabar rasa hati untuk segera bertemu mereka.
Lewat tengah malam, Adilla baru sampai di rumah. Hal itu terjadi karena dia mampir terlebih dahulu di pusat perbelanjaan untuk membelikan oleh-oleh Ibu dan ketiga adiknya. Berbagai macam mainan si bungsu, pakaian serta sepatu untuk adik laki-laki.
Ibunya yang membukakan pintu pertama kali langsung memeluk erat, saat itulah Adilla menjerit kesakitan. Luka di bahunya terasa sekali. Perempuan sepuh yang telah melahirkan dan merawatnya sejak kecil terkejut mendengar rintihan sang putri.
"Kenapa, Rum? Apa ada yang sakit, Nak?" tanya ibunya, Sumaiyah. Cepat dia memeriksa tangan si sulung. Ada bekas luka memanjang di sana. Pergelangan juga tampak memar. "Ini kenapa, Rum?"
"Pas bersih-bersih kebentur lemari, Bu. Rum istirahat dulu, nggeh?" kata Adilla menghindari pertanyaan ibunya.
"Iya ... iya. Kamarmu di depan itu. Udah selesai dari sebulan lalu." Sumaiyah membantu membawa kantong-kantong plastik yang di bawa putri sulungnya ke kamar.
Sebagai seorang Ibu yang tak lagi bisa menafkahi anak-anaknya, dia sangat bangga pada si sulung. Waktu memang telah menghempaskan seluruh kebahagiaan Adilla, tetapi sekarang Sumaiyah bisa melihatnya berubah. Wajah muram dan putus asa telah hilang, meskipun putrinya itu belum mau untuk membina rumah tangga lagi.
*****
Buku lain oleh Pramudining
Selebihnya