/0/27036/coverbig.jpg?v=20250926002836&imageMogr2/format/webp)
Aruna Prameswari dicap sebagai perempuan mandul setelah empat tahun menikah tanpa pernah mengandung. Tekanan keluarga semakin menjadi ketika mertuanya, yang tak pernah menyukainya, merancang berbagai cara agar sang putra menceraikannya. Hari itu, keputusan cerai akhirnya diketok. Namun tak disangka, hanya sehari setelah bebas dari pernikahan yang pahit, sebuah insiden mengubah hidup Aruna selamanya-seorang pria asing yang terpengaruh obat perangsang menerobos masuk ke kamar hotelnya. Lampu yang sengaja dipadamkan membuat Aruna tak pernah tahu siapa dia. Malam itu menjadi malam pertama yang tak pernah ia berikan pada mantan suaminya. Tiga tahun kemudian, Aruna kembali ke Canberra bersama seorang bocah laki-laki yang memiliki tatapan tajam dan senyum yang menggemaskan. Saat tak sengaja bertemu, seorang presdir muda ternama, Dion Alverado, menatap anak itu dan tanpa ragu mengaku sebagai ayahnya. Belum sempat Aruna mencerna kebenaran yang perlahan terungkap, mantan suaminya, Revan Mahadipa, kembali mendekat. Kali ini, Revan menawarkan hidup baru yang penuh kebahagiaan dan penebusan dosa. Kini Aruna dihadapkan pada pilihan paling rumit dalam hidupnya-menerima ayah biologis anaknya yang misterius itu, atau kembali ke pelukan mantan suami yang masih ia cintai.
Hujan sore itu turun deras di Canberra, membasahi kaca jendela apartemen yang menjadi saksi hancurnya hati Aruna Prameswari.
Tangannya gemetar memegang surat keputusan cerai yang baru saja ia terima di pengadilan. Kertas itu terasa seperti pisau tipis yang menusuk lambat ke dadanya, memaksa setiap inci rasa sakit keluar bersama air mata yang selama ini ia tahan.
Empat tahun menikah dengan Revan Mahadipa, ia tak pernah menduga kisah mereka akan berakhir seperti ini. Bukan karena perselingkuhan, bukan pula karena pertengkaran yang tak kunjung usai, tapi karena satu hal-ia tidak bisa memberi keturunan.
"Aruna, kamu harus sadar. Revan butuh penerus," kata ibu mertuanya, Ratna Mahadipa, tiga bulan lalu. Nada suaranya dingin, tapi mata itu penuh kemenangan, seolah menunggu momen ini sejak awal.
Aruna masih ingat betul bagaimana ia duduk di ruang keluarga besar keluarga Mahadipa, memeluk lutut, mencoba meyakinkan mertuanya bahwa ia dan Revan masih bisa mencari solusi lain. Adopsi. Program bayi tabung. Apa saja.
Namun Ratna hanya menggeleng pelan sambil menatap Revan, lalu berkata, "Tak ada yang bisa menggantikan darah daging sendiri. Kalau kamu sayang Revan, lepaskan dia."
Kata-kata itu menancap di kepalanya hingga kini. Dan yang lebih menyakitkan-Revan, yang dulu selalu membelanya, hanya diam.
Sore ini, setelah proses sidang terakhir, Revan menemuinya sebentar di depan gedung pengadilan.
"Kamu yakin ini jalan terbaik?" tanya Aruna, suaranya hampir tak terdengar di tengah riuh hujan.
Revan menunduk, menghindari tatapannya. "Aku... nggak tahu harus bilang apa lagi. Ibu benar. Aku harus punya keluarga lengkap."
"Keluarga lengkap?" Aruna tersenyum pahit. "Jadi empat tahun ini, kita apa, Van? Hanya sepasang manusia yang menunggu waktu dibuang?"
Revan menggenggam tangannya sebentar, lalu melepaskannya. "Maaf, Aruna."
Maaf. Kata yang terlalu singkat untuk mengganti semua luka yang ia tinggalkan.
Malam itu, Aruna memutuskan menginap di sebuah hotel kecil di pusat kota. Ia tidak ingin pulang ke apartemen yang penuh dengan kenangan Revan. Semua sudut ruangan terasa seperti jebakan-meja makan tempat mereka merayakan ulang tahun pertama pernikahan, balkon tempat mereka berbicara hingga larut malam, bahkan sofa yang masih menyimpan selimut tipis pemberian Revan.
Hotel itu sederhana. Kamar 308. Ia hanya ingin tidur, menenangkan pikirannya, lalu memikirkan rencana besok.
Tapi nasib punya rencana lain.
Pukul sebelas malam, suara gaduh terdengar dari koridor. Aruna baru saja memejamkan mata ketika pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Seseorang masuk, langkahnya tak stabil.
"Siapa-" Aruna terkejut, namun sebelum sempat berteriak, lampu padam.
Yang ia tahu, tubuhnya terperangkap di pelukan seseorang. Nafas pria itu berat, panas, dan tidak terkendali. Ada aroma alkohol yang samar bercampur dengan sesuatu yang asing-aroma manis menyengat yang membuat kulitnya merinding.
"Lepas..." suaranya tercekat. Tapi genggaman pria itu terlalu kuat.
Aruna tak tahu apa yang sedang terjadi. Ia mencoba mendorong, namun tubuhnya terasa lemah, pikirannya kacau. Semua berlangsung cepat. Ia hanya mengingat bagaimana lampu tak menyala lagi malam itu, dan wajah pria itu tetap tersembunyi dalam gelap.
Tiga tahun berlalu.
Aruna kini tinggal di pinggiran Canberra, bersama seorang bocah laki-laki berusia dua tahun setengah bernama Aiden. Anak itu memiliki rambut hitam legam dan mata cokelat tajam yang sering membuat orang berhenti sejenak untuk menatapnya.
"Aiden, ayo kita berangkat," panggil Aruna sambil merapikan kerah kemeja putihnya.
"Hari ini Mama kerja di kota?" tanya Aiden polos.
Aruna tersenyum, mengangguk. "Iya, sayang. Mama ada janji dengan klien. Nanti pulangnya kita beli es krim, ya."
Mereka berangkat naik bus menuju pusat kota. Hujan rintik kembali menemani perjalanan-seperti mengulang hari tiga tahun lalu.
Di sebuah kafe modern, Aruna duduk menunggu klien barunya. Ia kini bekerja sebagai desainer interior freelance, dan pekerjaannya mulai stabil. Namun saat pintu kafe terbuka, langkah seorang pria tinggi dengan jas hitam membuatnya menegang.
Pria itu-wajahnya terlalu sempurna, tatapannya terlalu menusuk-berhenti di depannya.
"Aruna Prameswari?" suaranya dalam, penuh wibawa.
"Iya, saya..." Aruna menatapnya bingung. "Anda-"
Tatapan pria itu bergeser pada Aiden, yang duduk sambil memegang mainan mobil kecil.
"Kau..." pria itu menunduk sedikit, memperhatikan wajah bocah itu. "Dia... anakku."
Aruna membeku. "Apa?"
"Aku Dion Alverado." Ia mengulurkan tangan, tapi tatapannya tetap pada Aiden. "Dan aku tidak butuh tes DNA untuk tahu. Dia darah dagingku."
Ucapan itu membuat semua suara di kafe lenyap dari telinga Aruna. Ingatannya langsung melayang ke malam di hotel tiga tahun lalu. Gelap. Nafas berat. Aroma asing. Dan sekarang... wajah pria ini, yang tatapannya seperti pernah menembus batas hidupnya.
Namun sebelum ia bisa berkata apa-apa, suara lain memanggil namanya dari pintu kafe.
"Aruna."
Ia menoleh-dan jantungnya seakan berhenti. Revan Mahadipa berdiri di sana, sedikit basah oleh gerimis, dengan senyum tipis yang entah mengandung penyesalan atau harapan.
"Kita perlu bicara," kata Revan.
Dion menatapnya dingin. "Sepertinya pembicaraan ini akan panjang."
Aruna sadar, hidupnya baru saja kembali masuk ke pusaran yang akan mengubah segalanya.
Bab 1 menjadi saksi hancurnya hati Aruna
13/08/2025
Bab 2 saling kenal
13/08/2025
Bab 3 tak pernah punya masalah
13/08/2025
Bab 4 Dari jendela apartemen
13/08/2025
Bab 5 Pilih salah satu. Atau kehilangan keduanya
13/08/2025
Bab 6 memberi isyarat agar tetap diam
13/08/2025
Bab 7 Aku tahu kamu masih syok
13/08/2025
Bab 8 membuat sarapan untuk Aiden
13/08/2025
Bab 9 mengubah hidup
13/08/2025
Bab 10 hasil tes DNA
13/08/2025
Bab 11 Saya tidak bermaksud mengganggu kehidupan siapa pun
13/08/2025
Bab 12 Gedung Pengadilan Keluarga
13/08/2025
Bab 13 Aruna memegang amplop
13/08/2025
Bab 14 tengah malam
13/08/2025
Bab 15 Pengakuan Raditya
13/08/2025
Bab 16 menjadi satu-satunya
13/08/2025
Bab 17 memperbaiki luka
13/08/2025
Bab 18 Raditya tiba lebih awal
13/08/2025
Bab 19 tekanan dari media
13/08/2025
Bab 20 Satu bulan lagi
13/08/2025
Bab 21 hari terakhir sidang
13/08/2025
Bab 22 mengenalnya
13/08/2025
Bab 23 kelelahan
13/08/2025
Bab 24 menentukan nasib
13/08/2025
Bab 25 ruang tamu
13/08/2025
Bab 26 keributan
13/08/2025
Bab 27 Hari ini bukan hari biasa
13/08/2025
Bab 28 Arah belakang
13/08/2025
Bab 29 pelukan Aruna
13/08/2025
Bab 30 justru semakin pekat
13/08/2025
Bab 31 Mobil yang mereka tumpangi
13/08/2025
Bab 32 setiap kali ia menarik
13/08/2025
Bab 33 berteriak jauh
13/08/2025
Bab 34 pikirannya tak mau tenang
13/08/2025
Bab 35 peristiwa semalam
13/08/2025
Bab 36 menyembunyikan amarahnya
13/08/2025
Bab 37 sekadar urusan pribadi
13/08/2025
Bab 38 mengancam
13/08/2025
Bab 39 Tidak ada suara
13/08/2025
Bab 40 sedikit hangat
13/08/2025
Buku lain oleh Sandi Agutian
Selebihnya