Arumi hanya orang ketiga di antara Alva dan perempuan yang mengaku sepupu suaminya itu. Arumi ingin terlepas dari pernikahan dengan Alva, tetapi seorang anak laki-laki membuatnya tidak bisa pergi. Mampukah Arumi meluluhkan hati Alva-sang suami-atau memilih pergi karena hati tidak sanggup menanggung lara?
Ternyata memang benar adanya, penyesalan akan selalu datang di akhir keputusan yang telah dijalani. Namun, bukankah seharusnya kita berbenah diri daripada menyalahi sesuatu yang telah terjadi?
Mas Alva setidaknya sudah seminggu ini menjadi berubah sikap kepadaku, tidak ada lagi sapaan lembut ketika bangun tidur, kecupan di dahi saat dia akan pergi, atau sekadar memberi senyum walau kutahu lelah menderanya.
Semua terjadi satu Minggu lalu, mana pernah terpikir olehku jika keputusan yang kuambil matang-matang dan dengan persetujuannya membuat kami harus cepat kehilangan calon anak yang baru berusia 8 Minggu dalam kandungan.
"Mas, aku ...."
"Aku pergi dulu!" Dengan cepat Mas Alva memotong ucapanku. Dia mengambil paksa tas yang kupegang dan tanpa menatapku, keluar dari kamar.
Ah, Mas Alva ... aku rindu semuanya darimu dulu. Mungkinkah semua akan kembali seperti dulu?
"Mas, nanti aku mau buat semur ayam. Kamu mau aku buatkan capcay juga?"
"Aku akan pulang telat. Kamu enggak perlu masak buatku juga!" Pria jangkung berkacamata itu lekas masuk ke mobilnya, kembali mengabaikan diriku yang berdiri menatapnya sendu.
Bukan hanya dia yang sedih dan sakit karena kehilangan, aku bahkan lebih sakit. Anak yang kuharap hadir sebagai hadiah paling manis dalam pernikahan ini nyatanya memilih pergi tanpa sempat kutatap.
Dengan cepat kuhapus air mata yang turun membasahi pipi bersamaan dengan deru mobil Mas Alva yang makin menjauh.
"Sabar, Arumi. Mas Alva butuh waktu!" Hanya kata-kata penguat itu yang bisa kubisikkan untuk diri sendiri.
"Mbak Arumi!" Baru saja kaki ini hendak memasuki rumah, seorang tetanggaku memanggil.
Dengan senyum begitu lebar, perempuan yang usianya dua tahun di bawahku itu berjalan dengan cepat menghampiri.
"Maaf, ya, Mbak. Aku baru sempat jenguk."
"Makasih loh, Tik. Repot-repot banget kamu!" Atik mengangsurkan plastik hitam yang ternyata berisi buah jeruk.
"Enggak kok, Mbak!"
"Masuk, yuk! Kita ngobrol di dalam."
Atik segera duduk di sofa, sedangkan aku akan pergi ke dapur untuk menaruh buah jeruk dan juga membuatkan minuman dan membawa camilan untuk Atik.
"Mbak Arumi harusnya enggak perlu repot-repot loh, tapi makasih, ya!" Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Atik. Kutaruh gelas berisi teh dan camilan di meja.
"Mbak Arumi pasti merasa kehilangan banget, aku bisa ngerasain itu, Mbak. Kebetulan aku juga pernah keguguran waktu kehamilan yang pertama!"
Sungguh, mendengar ucapannya membuatku terkejut, aku tidak mengira kalau Atik juga pernah merasakannya. Sesaat binar matanya meredup, sebelum kembali tersenyum untuk menghibur diri.
"Aku baru tahu kalau kamu pernah keguguran dan Rangga bukan anak pertama!"
Atik hanya nyengir sambil membuka tutup toples berisi kacang bawang. Dia pasti mengira aku kesal karena merasa dibohongi, bagaimana tidak, saat pertama kenal dengannya, dia mengatakan kalau Rangga yang baru berusia tiga tahun itu anak pertamanya.
"Maaf, ya, Mbak. Enggak ada maksud bohong soal Rangga!"
"Iya, enggak masalah kok. Oh, ya, Rangga mana? Kenapa enggak dibawa?" Melihat Atik yang sedang menikmati kacang bawang buatan Mama membuatku ingin mencicipinya juga.
"Ada, sama utinya, Mbak. Kebetulan Mamak ikut ke sini, katanya mau dekat sama Rangga!"
Walau Atik bicara dengan santai, entah kenapa aku bisa menangkap kegetiran dari nada bicara dan tatapannya itu.
"Oh, ya, Mbak. Aku sampai lupa!"
"Heh, kamu ngagetin aja!" Hampir saja jantungan, beberapa detik kami sama-sama diam dan Atik tiba-tiba saja mengagetkan. "Ada apa?"
"Anu, itu loh ...." Dia terlihat tidak nyaman, tangan kanannya malah beralih menggaruk tengkuk. Seakan begitu gatal tanpa peduli tangan tersebut tadi memegang apa.
"Ada apa?" tanyaku mencoba tenang, meski dari tatapannya yang terlihat takut membalas tatapan mataku, membuat aku menduga-duga.
Sesuatu yang buruk akan Atik sampaikan dan dugaan itu mengarah ke Mas Alva.
"Mbak tolong jangan marah, ya. Aku bicara jujur dan yang lihat bukan cuma aku!"
Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Atik yang tidak kumengerti. "Ya sudah, kasih tahu saja ada apa!"
Dengan cepat Atik mengambil gelas dan meminum teh yang sudah mulai dingin itu dengan cepat.
Aku hanya memperhatikan tingkah Atik yang gugup, padahal cuaca tidak panas, bahkan ada AC yang menyala, tapi dahinya sudah berkeringat.
"Mbak!"
"Heem!"
"Sebenarnya kemarin aku ...." Atik kembali berhenti bicara, dia malah mengigit bibir bawahnya. Membuatku memicingkan mata.
"Tik, kalau enggak mau bilang, ya sudah. Kita bahas yang lain saja!" Dengan cepat Atik menggeleng, tetapi dia belum juga mulai bicara.
"Aku tuh takut kalau Mbak Arumi sedih apalagi sampai kepikiran, cuma aku kasihan kalau enggak kasih tahu!" Aku sudah mulai kesal dengan perempuan di sampingku ini.
Saat baru saja mengangkat pantat menjauh dari sofa, Atik mengatakan sesuatu yang membuatku terdiam beberapa detik dengan posisi tidak mengenakkan ini.
"Mbak, kemarin aku dan Mamak lihat Mas Alva jalan sama perempuan lain. Bawa anak juga!" Atik bicara tanpa berani menatapku, dia menundukkan kepalanya.
Hah, Atik sedang melucu. Pasti dia salah lihat, tetapi tunggu dulu ... tadi pagi aku mencium aroma parfum lain di kemeja kotor Mas Alva.
Enggak mungkin banget kalau Mas Alva punya istri lain. Ah, kejauhan aku mikirnya.
"Mbak, duduk!"
"Eh ...." Aku tersadar jika posisiku tidak sedang duduk atau juga berdiri, dengan cepat aku memilih duduk kembali.
"Kamu lihat wajahnya?" Atik mengangguk antusias dan dia memperlihatkan foto di ponselnya kepadaku.
Benar, Mas Alva bersama dengan perempuan lain. Mereka tersenyum bahagia dan terlihat mesra.
***
Walau Mas Alva melarangku memasak banyak dan menunggunya pulang, tetapi aku tetap saja melakukannya.
Sudah tiga jam aku menunggu Mas Alva yang enggak kunjung pulang, pesanku enggak dibalasnya, bahkan panggilanku ditolak.
Aku tahu Mas Alva akan pulang telat, meski begitu dulu dia selalu memberi kabar. Namun, kini enggak pernah lagi.
Aku terbangun saat mendengar deru mobil Mas Alva berhenti di depan rumah.
Ah, memalukan, ketiduran di meja makan dan ileran. Beruntung tidak sampai mengenai makanan yang belum tersentuh sama sekali.
Aku segera membenahi kerudung yang sedikit berantakan dan lekas membukakan pintu.
"Mas!"
"Kenapa belum tidur?" tanya Mas Alva dengan suara yang begitu dingin. Dia hanya melirikku dan membiarkan saja saat aku mengambil alih tasnya.
"Aku nungguin kamu, sibuk banget, ya, sampai pulang telat?"
"Heem!"
Aku lekas menutup pintu dan tidak lupa menguncinya, kuperhatikan langkah Mas Alva berhenti dan melirik ke arah meja makan.
"Aku tungguin kamu pulang, mau makan bareng!" Mas Alva menepis halus tanganku yang akan menyentuhnya.
"Aku sudah bilang, kamu enggak perlu lakukan itu!"
"Tapi aku mau, Mas."
"Keras kepala!" Dia marah, tanpa peduli dengan diriku yang menahan lapar sejak tadi, Mas Alva menarik paksa tasnya dan pergi begitu saja.
"Apa sebegitu marahnya kamu sama aku, Mas?" Aku hanya mampu menatap punggungnya yang menjauh. Kakiku begitu berat untuk berlari mengejarnya yang telah menghilang di balik pintu kamar.
"Aku juga terluka."
Buku lain oleh Afia Nara
Selebihnya