Aku berdandan secantik mungkin. Kutanggalkan dasterku yang lusuh dan kurias wajahku dengan sangat indah, semata untuk membalaskan dendam. Mata dibalas mata. Kau rebut suamiku, maka akan kurebut juga suamimu.
"Aku melihat suami kamu di bar sama perempuan."
Suara serupa desisan itu membuat Nayna terpaku, tangannya yang sedang melipat pakaian membeku. Jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Telepon dari Vina, sahabatnya membuat aliran darah Nayna berdesir hebat.
"Wah gila! Mereka sampai cipok-cipokan! Pangku-pangkuan dan mesra-mesraan di depan meja bartender. KURANG AJAR SI BAGUS! CEPETAN KE SINI, NAY!!"
Suara kemarahan Vina dilaterbelakangi dengan dentum musik dan suara hilir mudik orang-orang yang sedang meneriakkan betapa serunya suasana bar itu.
Kaki Nayna gemetar tak tertahankan. Dadanya seolah tertusuk sesuatu sampai terasa sesak dan begitu perih. Kabar itu begitu mengejutkan seperti disambar petir di siang bolong.
Kepala Nayna pusing. Perutnya tergulung-gulung dan ia ingin muntah sekarang juga. Ia berharap Vina cuma salah lihat atau sedang iseng mengerjainya.
Sebab baru satu jam yang lalu Mas Bagus, suaminya meminta izin untuk menghadiri acara perjamuan teman kantornya yang katanya baru pindah rumah. Acara makan kecil-kecilan yang cuma dihadiri oleh rekan-rekan sekantor.
Lalu bagaimana bisa dia berada di bar dengan perempuan lain?
Vina pasti salah lihat! Mungkin Vina sedang mabuk dan seenaknya melihat pria lain sebagai Mas Bagus.
Nayna mati-matian menyangkal, tapi air matanya malah luruh menuruni pipinya tanpa ia sangka-sangka. Ia tak perlu datang ke bar yang disebutkan Vina, ia tak ingin ke sana.
Namun, kakinya bergerak begitu saja. Dengan daster lusuh dan sandal jepit kotor yang sudah hampir putus, perempuan berumur 25 tahun itu keluar rumah dan meninggalkan tumpukan pakaiannya yang mesti diseterika dan dilipat.
Ia segera berhambur ke pangkalan ojek dan memanggil dengan terburu-buru. Wajahnya masih dipenuhi air mata dan sepanjang perjalanan dadanya begitu sakit sampai ia kesulitan bernapas.
'Kumohon ... semoga itu bukan kamu, Mas.'
Meski begitu, firasatnya mengatakan hal yang sebaliknya. Meski ia tak pernah menemukan tanda-tanda perselingkuhan Mas Bagus, tapi setitik keraguan melekat erat di hatinya.
Sang pengendara ojek melirik sesekali lewat kaca spion, ingin bertanya namun sungkan. Suasana hati Nayna, istri Bagus ini tampaknya sedang tidak baik.
"Di sini tempatnya?" tanya Bang Jali ketika alamat yang diberikan Nayna ternyata adalah sebuah bar modern yang biasanya hanya dikunjungi oleh kalangan kelas elit.
Nayna tak menjawab. Ia turun tanpa suara dan mengulurkan selembar uang sepuluh ribu dan lima ribu. Bang Jali menerima dengan canggung. Mau apa si kembang desa ini ke bar sambil menangis pilu begitu?
Bang Jali tentulah sangat penasaran. Dengan daster yang warnanya sudah luntur dan muka kusut yang masih terlihat cantik itu, tentu Nayna tidak datang untuk berjoget-joget dan mabok.
Sebelum menikah dengan Bagus lima tahun yang lalu, Nayna adalah kembang desa yang diincar oleh para pemuda maupun tua-tua keladi. Kulitnya putih bening, mulus dan badannya ramping tapi tidak kurus-kurus amat.
Namun, setelah menikah dengan Bagus, dia menjadi sangat kusam dan lusuh. Pakaian sehari-harinya cuma daster pudar yang diberikan oleh mertuanya. Tak pernah lagi ia memakai baju-baju cantik dan senada yang dulu sering dipakainya.
Katanya, semua bajunya sudah dijual untuk mencukupi kebutuhan sehari-sehari bersama suaminya, padahal dia punya warisan dari ayahnya yang meninggal tiga tahun yang lalu, tapi penampilannya masih begitu-begitu saja.
Wajahnya yang dulu cerah dan dipolesi riasan kini terlihat kusam dengan bintik-bintik hitam bekas jerawat. Berminyak dan seperti tidak dicuci selama berhari-hari.
Kuliahnya pun yang sudah sampai semester empat harus ia hentikan karena Bagus tidak mampu membiayai pendidikannya dan ia mesti fokus mengurus rumah tangga.
Aduh, sayang sekali.
Bang Jali, pengendara ojek berumur empat puluhan itu merasa kasihan sekaligus sayang. Padahal Nayna punya potensi besar untuk hidup lebih baik dari hidupnya sekarang.
Nayna meninggalkan Bang Jali dengan tatapan kasihannya dan menghampiri penjaga bar yang berdiri tegak di depan pintu masuk bar dengan postur yang tegap dan gestur yang kaku.
Saat melihat Nayna hendak masuk, tangan salah satu penjaga terbentang ke depan dadanya, menahan Nayna untuk masuk. Dia memandang Nayna tajam dan berkata lewat sorot matanya, 'Kamu tidak pantas ada di sini'
Nayna tentu tahu tak ada orang berdaster lusuh dan bersendal jepit di dalam sana seperti dirinya, tapi ia tetap ingin masuk dan memastikan jika orang yang dilihat Vina bukanlah Mas Bagus.
"Maaf, Bu. Ini bukan pasar." Terang-terangan penjaga itu menilai penampilan Nayna dari ujung kaki sampai kepala.
Nayna menghapus air mata yang menghalangi pandangannya. Dengan panik ia menelepon Vina, untunglah pada bunyi ketiga, telepon itu akhirnya tersambung.
"Halo, Vin ... kamu di mana?" Suara Nayna terasa tercekat ditenggorokan, serak dan parau.
"Eh, Nay! Aku ada di hotel ngikutin mereka."
Kali ini jantung Nayna sekejap berhenti berdetak. Aliran darahnya berdesir hebat dan pandangannya kembali memburam karena genangan air mata yang siap jatuh.
Suara Vina tidak lagi dilatarbelakangi dengan dentuman musik yang menghentak-hentak dan suara jeritan gila orang-orang.
"Di-di hotel mana?"
"Sebentar, aku kirim WA aja ya, mereka lagi check in." Vina berbisik-bisik. "Aku kirimin foto mereka juga."
Vina memutuskan telepon dan dalam sekejap pesannya sudah masuk. Dia menuliskan alamat hotel bintang lima dan menyertakan foto seorang laki-laki yang sedang mengamit pinggang perempuan tinggi bergaun seksi.
Nayna terperanjat. Foto itu diambil dari belakang sehingga wajah dua orang itu tidak terlihat. Tapi Nayna ingat betul kemeja berwarna nude yang dipakai Mas Bagus saat meninggalkan rumah.
Bukan main panasnya hati Nayna. Ia menutup mulut dengan telapak tangan, menahan isak tangisnya yang mendesak keluar. Air matan kembali luruh dan napasnya menjadi tidak beraturan.
Lagi-lagi Nayna menaruh harapan bahwa kemeja nude milik Mas Bagas tidak hanya satu di dunia ini. Punggung dan potongan rambut belakangnya memang mirip, tapi mungkin saja itu adalah orang lain.
Nayna keluar dari area bar dan menunggu ojek, karena uangnya tak cukup untuk menaiki taksi yang berjejeran di depan sana.
Butuh waktu tiga puluh menit sampai ojek ia dapatkan. Segera Nayna menyebutkan alamat hotel dan menyuruh sang pengendara ojek berjaket merah itu untuk ngebut.
Hotel yang disebutkan Vina tidak terlalu jauh dari bar. Hanya butuh lima belas menit untuk Nayna sampai dan buru-buru menghambur masuk ke hotel saat dilihatnya Vina berdiri di lobi sambil melambai panik padanya.
"Aduh, lama banget kamu! Mereka udah masuk kamar setengah jam yang lalu. Aku tahu nomor kamarnya. Ayo!"