Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Serumah dengan Mayat Hidup

Serumah dengan Mayat Hidup

Zulvia Syah

5.0
Komentar
77
Penayangan
5
Bab

"Di antara mereka sudah ada yang mati. Tapi dia tetap tinggal bersama di dalam rumah. Makan, minum, berjalan selayaknya orang hidup." Siapakah dia? Pakde Rais belum menjelaskan siapa orangnya. Tapi, Rossa dan Kakaknya harus tinggal serumah dengan mereka, termasuk mayat hidup itu. Pandemi melanda dunia, di kota atau pun di desa kehidupan mencekam. Apalagi Rossa baru ditinggal mati kedua orang tuanya. Tianggal ia dan Kakaknya, Ojan, juga hutang-hutang kedua orang tuanya semasa hidup. Mereka menjadi korban. Hingga akhirnya, mereka hanya punya pilihan tinggal di desa, di rumah Pakdenya. Padahal di sana desanya hampir mati, tak ada kehidupan. Tubuh manusia yang dikerubuti lalat, petani yang meninggal di tengah lumpur sawah, juga mayat-mayat yang dibiarkan tak dikubur. Lebih aneh lagi, ada mayat yang dijadikan seperti orang hidup melalui sebuah ritual dukun. Rossa dan Ojan hidup di antara mereka, di rumah Pakdenya, Pakde Rais yang ternyata seorang dukun mandraguna.

Bab 1 Selamat Datang di Desa

"Di antara mereka sudah ada yang mati. Tapi dia tetap tinggal bersama di dalam rumah. Makan, minum, berjalan selayaknya orang hidup."

Siapakah dia? Pakde Rais belum menjelaskan siapa orangnya. Tapi, Rossa dan Kakaknya harus tinggal serumah dengan mereka, termasuk mayat hidup itu.

Pandemi melanda dunia, di kota atau pun di desa kehidupan mencekam. Apalagi Rossa baru ditinggal mati kedua orang tuanya. Tianggal ia dan Kakaknya, Ojan, juga hutang-hutang kedua orang tuanya semasa hidup. Mereka menjadi korban. Hingga akhirnya, mereka hanya punya pilihan tinggal di desa, di rumah Pakdenya. Padahal di sana desanya hampir mati, tak ada kehidupan. Tubuh manusia yang dikerubuti lalat, petani yang meninggal di tengah lumpur sawah, juga mayat-mayat yang dibiarkan tak dikubur. Lebih aneh lagi, ada mayat yang dijadikan seperti orang hidup melalui sebuah ritual dukun. Rossa dan Ojan hidup di antara mereka, di rumah Pakdenya, Pakde Rais yang ternyata seorang dukun mandraguna.

Rasanya tak bisa dipercaya, mana mungkin aku akan serumah dengan orang mati. Bukan mayat biasa, melainkan mayat hidup. Dia makan, minum dan berjalan sebagaimana orang hidup, tapi katanya sudah mati.

"Sudahlah, sekarang lagi musim orang meninggal, makanya banyak cerita yang dibuat-buat," ujar Mas Ojan, kakak sulungku.

"Jadi gimana, Mas? Kita tetap berangkat ke sana?" Tanyaku ragu.

Mas Ojan mengangguk. Tak ada pilihan. Rumah yang kami tempati telah disita bank. Kami baru mengetahuinya setelah kematian Papa satu bulan lalu. Ternyata, mendiang Mama banyak berhutang ke sana-sini untuk memenuhi gaya hidup hedonnya. Setelah Mama meninggal, Papa menggadaikan ini-itu ke bank untuk menutupi hutang Mama. Setelah mereka berdua meninggal, tinggal aku dan Mas Ojan yang kelimpungan. Kami tak punya apa pun. Parahnya, kami dikejar-kejar rentenir setiap hari. Bahkan akhir-akhir ini disertai ancaman dan kekerasan.

"Apakah mayat hidup itu semacam zombie?" Tanyaku dalam kekalutan.

"Kalau dia bergerak, apalagi makan dan minum, berarti dia hidup, sama seperti kita. Kalau dia mati, dia akan diam, kaku. Itu logikanya, jelas, jangan bertanya lagi," putus Mas Ojan. Sepertinya mulai jengah dengan kekhawatiranku.

"Kita akan tinggal di sana?"

Mas Ojan lalu mencebik dan menjawab, "terserah kamu. Kalau mau selamat, ikut aku . Kalau mau diancam rentenir, tinggallah di jalanan. Karena kita sudah nggak punya rumah."

Melihat Mas Ojan mulai berkemas, aku ikut berkemas meski setengah hati. Terngiang-ngiang percakapan terakhir dengan Pakde Rais via telepon.

"Kalian boleh tinggal di sini, di rumah Pakde. Di sini aman. Rentenir ndak akan menjangkau. Tapi segeralah berangkat. Kabarnya, akses ke desa akan ditutup total. Pandemi membunuh warga satu persatu."

"Apakah aku dan Mas Ojan juga akan mati kalau tinggal di sana, Pakde?" Tanyaku polos.

Tak disangka, Pakde Rais menjawab, "ndak ada yang tahu, itu rahasia Tuhan. Salah satu keluarga Pakde juga ada yang meninggal kemarin lusa. Tapi, dia masih di sini, di rumah ini bersama kami."

"Hahh?" Aku terperangah.

"Iya, Pakde biarkan dia seperti orang hidup," Pakde menjawab berat namun misterius.

"Maksudnya?" Aku dan Mas Ojan bertanya hampir bersamaan.

"Sudah, cepat berangkat. Sebelum desa ditutup. Sampai di desa, nanti kalian jangan banyak bicara, jangan banyak bertanya. Jalan saja. Diam lebih baik. Apa pun yang kalian lihat, biarkan saja."

Dari penjelasan Pakde, tergambar jelas ketakutan di desanya saat ini. Pandemi yang melanda dunia saat ini benar-benar mencekam. Jangankan di desa, di kota tempat kami tinggal pun tak henti mendengar berita kematian. Yang sakit, yang sehat, tiba-tiba saja meninggal. Termasuk Papa.

Kata Pakde Rais, setiap rumah di desanya pasti ada yang meninggal, minimal ada yang sakit. Dan bisa dipastikan, tak lama setelah itu akan ikut meninggal. Pasar masih beroperasi, tapi hanya sebentar, lalu bubar. Masjid dan sekolah ditutup. Yang ramai hanya pemakaman. Baru saja menggali kubur, sudah harus menggali lagi. Lama kelamaan banyak mayat yang dibiarkan tergeletak di jalanan dan baru dikuburkan setelah ada rombongan pemikul jenazah yang sukarela memikulnya sekalian.

"Pakde, siapa keluarga di sana yang meninggal?" Tanyaku takut sekaligus penasaran.

Dari seberang hanya terdengar Pakde Rais terbatuk-batuk. Sama seperti tadi, tapi sekarang lebih rapat, semakin tak berjeda. Saat batuknya berjeda sebentar pun aku mendengar teriakan pilu dari sana. Kadang erangan, tangisan, juga suara kaki-kaki menapak lantai dengan terburu-buru.

"Pakde? Pakde masih di sana?" Mas Ojan bertanya panik.

Tiba-tiba terdengar jawaban dari jauh, "matiii ...! Semua mati!"

"Halo, halo?" Aku dan Mas Ojan masih berusaha memanggil. Namun, yang ada hanya suara pilu yang menyayat.

Sambungan terputus. Aku bersandar frustasi di tembok.

"Kita harus segera berangkat ke sana," putus Mas Ojan.

"Ke rumah Pakde?" Aku berharap masih ada jalan lain selain ke sana.

"Di sini atau di sana keadaannya sama-sama mencekam. Bedanya, di sini yang mengancam manusia nyata. Sedangkan di sana yang mengancam hanya cerita-cerita."

"Terus, siapa keluarga Pakde yang sudah meninggal dan katanya masih dibiarkan seperti orang hidup?"

Aku benar-benar penasaran. Pakde sudah ditinggal Bude cukup lama. Ia hidup bersama kedua anaknya, Mbak Lasmi dan Ratih, juga suami Mbak Lasmi, Mas Jasin. Mbak Lasmi sepantaran Mas Ojan, Ratih sepantaran denganku. Kami sepupu yang tidak terlalu dekat. Hanya menyapa ketika bertemu dalam acara keluarga, itu pun jarang.

"Kita akan tahu setelah sampai di sana," jawab Mas Ojan.

Tanpa menunggu persetujuanku, Mas Ojan mengangkat koper kecilku dan memasukkannya ke dalam mobil bersama dengan tas ranselnya. Aku masih mematung di belakang mobil. Sedangkan mesin mobil telah dinyalakan.

"Cepat!" Perintah Mas Ojan sambil menunjuk ke luar pagar.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku