Rumah tangga bahagia belum tentu bertahan lama. Apalagi sebelah pihak tidak setia. Buktinya, sudah beberapa tahun menikah, Velin belum juga hamil. Mertua Velin yang memiliki sifat judes, dan tak sabaran akhirnya meminta suami Velin untuk menikah lagi. Anehnya sang suami menurut apa kata ibunya. Hal itu jelas saja membuat Velin sakit hati. Akhirna terkuaklah sifat asli suami yang dikira Velin setia rupanya mendua itu. Mendapati suaminya sering bersama wanita lain, Velin mulai merasa tersisihkan. Bahkan ia berpikir apakah dirinya juga harus mendua? Demi menyingkirkan rasa sakit hati lalu mencari kebahagian sendiri? Rasanya tidak mungkin ia diam begitu saja bukan?
"Doy, gimana? Istri kamu dah ada tanda-tanda hamil atau tetap gak ada perubahan sama sekali?"
Suara nyaring itu jelas terdengar meski jarak dapur dengan ruang tamu cukup jauh. Lagi dan lagi Velin merasa gugup, alias sedikit tersinggung mendengar penuturan ibu mertunya. Velin berusaha mengatur napasnya agar tetap stabil sembari menuangkan air panas ke dalam gelas yang sudah berisi teh serta gula.
Ya, selama berumah tangga dengan Doy, Velin belum juga diberi kepercayaan oleh tuhan untuk memiliki buah hati, dirinya terkadang sempat ngeluh ketika disuruh cek ke dokter. Velin mempercepat geraknya, sebab, ia ingin mendengar jawaban dari sang suami, Velin bergegas membawa nampan berisi beberapa gelas teh hangat juga dua mangkuk cemilan untuk menghindangkan makanan dihadapan mertuanya.
"Hufft, bisa gak sih, Ma? Gak usah bahas itu? Pusing nih kepala dengar itu terus!" sahut Doy yang merasa jengkel dengan pertannyaan mamanya.
"Ya Allah, semoga baik-baik saja," batin Velin sambil menaruh nampan diatas meja sofa, lalu duduk di samping suaminya sambil melemparkan senyum paksa di depan sang mertua.
"Ooh, jadi sampai saat ini belum juga hamil? Kerjaan kamu apasih? Kok hamil aja gak bisa? Kalian tentu rutin melakukannya, 'kan? Kenapa belum berhasil?" cetus ibu mertua Velin dengan mimik wajah tak suka. Lalu mengibaskan kipas handalannya seolah-olah udara di sana cukup membuatnya kepanasan.
"Mungkin belum waktunya dikasih kepercayaan sama Allah, Ma. Kami juga sudah berusaha semaksimal mungkin, setiap ada berita promil aku tak pernah absen seharipun, kok." Kali ini Velin menjawab meski dengan suara agak gugup dengan helaan napas yang tak teratur.
Melihat raut muka tak suka yang dipancarkan oleh ibu mertuanya, membuat dirinya tertunduk tak berani menatap.
"Alasan! Duit habis, berhasil aja enggak! Apa jangan-jangan kamu ini yang penyakitan?! Begitu?" tebak sang mertua dengan nada yang amat sinis.
Mendengar ucapan tersebut, Velin sontak terkejut, ia terus terang menjawab dengan jujur apa adanya guna membela diri.
"Enggak kok, Ma. Kata dokter rahimku sehat, gak ada keluhan apapun," sahut Velin membela diri.
"Bohong! Pasti kamu itu penyakitan, atau ... jangan-jangan mandul! Makanya gak hamil-hamil!" tukas sang mertua tetap tak percaya apa yang dikatakan oleh Velin, tetap ngotot dengan ucapan yang tak mau terbantahkan.
"Cukup, Ma! Lebih baik bahas yang lain aja. Gak usah bahas tentang hamil!" potong Doy karena sudah pusing mendengar lontaran demi lontaran yang keluar dari mulut ibu dan istri dihadapannya.
"Terus mau bahas apa? Tujuan Mama ke sini cuma nanya itu. Putus sudah harapan, padahal dari rumah sudah berharap berita bahagia terdengar, eh gembel ini belum juga hamil rupanya!" kilah sang Mama dengan mata yang sengaja dipelototkan. Ia berkata demikian entah apa sebabnya. Yang jelas membuat Velin kembali sakit hati, apalagi saat mendengar sebutan nama yang tak rnak di dengar itu.
"Doy, dengar, ya! Kalau gini-gini terus kapan bahagianya coba? Keluarga kurang lengkap kalau ditengahnya gak ada anak! Bisa menyesal kamu kalau gak ada anak! Mendingan nikah lagi aja! Gembel yang kamu nikahin itu gak guna!" seru Mama Doy tanpa peduli dengan perasaan menantunya.
"APA?!" Velin refleks terkejut hingga mengeluarkan kata-kata itu. Sungguh ia belum siap untuk dimadu jika kalau suaminya menuruti ucapan mertuanya tadi.
"Kenapa? Kalo gak suka ya udah mending cerai aja dari Doy! Kamu juga bukan menantu idamanku!" tantang sang mertua tanpa memikirkan betapa remuknya hati Velin kala mendengar hinaan yang terus keluar dari mulutnya.
"Gembel? Gak guna? Apa semurah itu aku dimata Mama?" batin Velin menjerit. Tak terasa matanya mulai berkaca-kaca atas hinaan ibu mertuanya. Benar-benar wanita tua yang tak berperasaan!
"Emang mama setuju kalau aku nikah lagi?" sahut Doy dengan raut wajah berbinar. Ya, sebenarnya Doy menginginkan hal ini, namun ia tak ada keberanian sama sekali. Namun, mendengar ibu berkata demikian tentu saja ia menyahut dengan perasaan yang berbeda.
Sekilas Doy melirik Velin, namun ia tetap berlaku cuek, seolah mengabaikan wanita itu juga berpikir jika Velin lebay. Ucapan sang Mama tentu saja membuat moodnya naik, nikah lagi memang termasuk salah satu keinginan yang sudah ia pendam dari tahun kemarin.
"Kenapa tidak? Punya istri berapapun yang kamu mau, Mama tidak masalah. Asalakan tidak mendapat wanita gembel kaya dia ini! Bisanya menyusahkan saja!" kata sang Mama dengan raut muka yang sangat judes. Bahkan enak sekali sepertinya muka itu dilempar pakai sendal yang membalut kaki Velin.
"Secepatnya akan Doy cari, tapi ... Velin tetap jadi istri pertama. Tidak mungkin Doy akan melepaskannya begitu saja," sambung Doy dengan senyuman yang merekah lebar pertanda ia sangat semangat juga tak sabar ingin mencapai keinginan tersebut.
"Gak usah lebay, kamu gak akan aku ceraikan kok. Tenang saja, aku akan berlaku adil sesuai peratuan negara." Doy mengusap pundak Velin dengan senyum tipis, meski ia tak tega melihat Velin menangis, namun kebahagiaan yang ia peroleh sukses menyingkirkan ketidak tegaan tersebut.
Velin tetap merilekskan diri agar tetap tenang. Berusaha semaksimal mungkin agar tangis dalam diam yang sedang terjadi tak berkelanjutan.
Byur!
"Apa-apaan ini! Berapa sendok garam yang kamu masukin? Sampai seasin ini teh yang kamu buat? Apa kamu tidak bisa membedakan garam dengan gula?!" semprot ibu mertua sambil menyerka sisa air teh yang melekat dibibirnya setelah satu semprotan dari mulutnya berhasil keluar.
Jipratan yang keluar dari mulut beliau menghambur ke arah muka Velin. Lagi dan lagi Velin terkejut. Bagaiamana bisa ia melakukan hal itu? Padahal yang ia ingat, gulalah yang dimasukkan, bukan garam seperti yang dikatakan ibu mertuanya.
Doy segera menyambar segelas teh miliknya, lalu menyeruput sedikit untuk memastikan rasa yang ada pada teh itu guna membuktikan ucapan ibunya. Benarkah teh itu terasa asin?
"Vel, kok kamu buat teh rasanya asin? Kamu buta atau bagaimana sih?! Memalukan! Untung ini dihadapan ibu, kalau dihadapan tamu yang lain? Mau ditaruh dimana mukaku?!" seru Doy menimpali. Lalu menaruh gelas yang sempat ia angkatkan tadi dengan kasar sehingga menimbulkan suara di atas meja sofa.
"Maaf, mungkin aku tidak fokus, sebab dari tadi belum sempat istirahat. Pekerjaan rumah benar-benar melelahkan sehingga membuatku gagal fokus," sahut Velin dengan pundak yang bergetar. Kesalahan selalu saja menghampiri dirinya jika dihadapan sang mertua. Entah setan mana yang merasuki tangannya sehingga salah ambil toples. Apalagi tadi telinganya sibuk menguping pembicaraan ibu mertua dan suaminya saat berada di dapur, kemungkinan besar ia memasukkan isi yang ada dalam toples itu tanpa melihat gula atau bukan.
"Dasar jadi istri gak becus! Aku mau pulang aja kalau seperti ini. Benar-benar menjengkelkan sekali bertamu di sini!" simpul ibu mertua Velin sambil beranjak dengan mulut yang berdecih pelan, lalu menghentakkan kakinya dengan keras.
"Mau aku antar, Ma?" timpal Doy sebelum mamanya melangkah lebih jauh dari tempat duduk. Sengaja ia menawarkan hal itu agar sang Mama tidak marah juga padanya
"Ya sudah sana cepat ambil mobil! Kenapa mesti ditanya!" sahut beliau dengan garang. Tak peduli siapa yang ia marahi saat ini.
Tak lama kemudian suara deru mesin mobil mulai terdengar, beberapa asap mulai mengepul di depan rumah pertanda mobil sudah melaju meninggalkan perkarangan tatkala dua orang anak dan ibu itu sudah masuk ke dalam kendaraan beroda empat tersebut.d
Sedangkan Velin, ia tetap berada diposisinya. Sedari tadi ia mendadak beku seperti patung, hanya bahunya saja yang bergetar karena tangisan yang pilu mengingat percakapan ibu mertua dan suaminya tadi.
"Aku pasrahkan semuanya pada, ya Allah!" jerit Velin sambil mengusap mukanya dengan kasar. Muka yang sudah basah oleh air mata ia angkatkan menatap langit-langit lalu menyerkanya secara perlahan.
"Jangan putus asa, Vel. Kamu pasti bisa! Jadilah wanita yang tangguh, maka kamu akan jadi wanita yang berguna," lirih Velin pada dirinya sendiri. Satu-satunya penyemangat diri adalah diri sendiri. Velin juga bertekad untuk bangkit setelah diinjak abis-abisan oleh mertuanya.