Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Perihnya Jalan Taubatku

Perihnya Jalan Taubatku

Sisi Ryri

5.0
Komentar
49
Penayangan
31
Bab

Setelah berkutat dengan narkoba, Bramasta yang gitaris handal sebuah grup band ternama akhirnya harus ditahan sehingga karir bermusiknya tuntuh seketika. Dengan berat hati dia menerima takdir ini meski dia juga harus bersusah payah mengembalikan kepercayaannya pada Widi, istrinya dan Hartono, ayah mertuanya yang telah melaporkannya ke polisi. Mampukan Bramasta mengembalikan karirnya yang sudah redup?

Bab 1 Bram Lelah

“Bram!” panggil Widi, istri dari Bramasta Araya yang merupakan gitaris handal dengan terburu. “Kau harus dengarkan aku, Bram!”

“Apa?” tanya Bram dengan nada tak bersemangat.

“Kau harus lihat ini,”

“Apa?” ulang Bram yang sudah siap naik pentas untuk konser terakhirnya di tur 7 kotanya kali ini. “Aku tak punya banyak waktu, katakan cepat!”

“Kita harus mempersiapkan acara 3 bulanan anak kita,”

Wajah Bram langsung berkerut mendengar permintaan istrinya itu. “Kenapa harus ada acara seperti itu?”

“Ayahku yang minta! Kita harus merayakan kehamilanku ini. Kau tak boleh tak datang,”

Hah!

Bram menghela nafasnya berat lalu menggelengkan kepalanya. “Kenapa urusan begini kau tanyakan sekarang,”

“Ayahku yang minta, kita tak boleh tak menjalankan tradisi ini,”

“Hah! Kau pasti bercanda,”

“Tidak! Aku tak bercanda. Acara ini sakral untuk ayahku, jadi kamu harus pulang mempersiapkan semua ini!”

“Ih!”

“Aku tak mau tau, kita harus menuruti permintaan ayahku. Aku sudah hamil 3 bulan, ini saatnya fansmu tahu soal pernikahan kita!”

Bukannya berbahagia atas kabar yang baru dia dengar, Bram justru membekap mulut Widi dengan tangannya yang kasar kemudian mendekatkan bibirnya ke daun telinga kekasihnya yang seketika jadi ketakutan.

“Kau harus diam. Jangan apa yang tau soal ini!”

“Eh!”

“Kalau ada yang tau aku akan merusak masa depanku dan kau taukan apa jadinya,” ancam Bram dengan wajah yang seketika jadi serius.

“Ih! Ini permintaan ayahku!” kesal Widi dengan mulut yang masih disumpal tangan Bram yang kekar.

“Iya, kau tak mau aku sampai kita tak punya masa depan untuk anak itu kan?”

Widi mengangguk lalu meraih tangan kekasihnya yang semakin erat menyumbat mulutnya dan saat Bram melonggarkan tangannya, Widi melanjutkan kata-katanya, “aku bisa dinego.

Pokoknya kamu bertanggung jawab atas anak ini. Aku cuma tak mau anakku lahir tanpa ayah,”

“Bagus!” Bram tersenyum tipis membuat Widi percaya kata-kata gitaris tampan ini.

“Tapi kalau kau sampai lari, kau juga tau apa yang akan aku lakukan, kan?!”

“Apa?” Bram melebarkan kembali matanya.

“Aku akan katakan ayahku kalau kau pengguna narkoba dan kau tau apa yang bisa dilakukan ayahku selaku pemilik perusahaan rekaman tempatmu bernaung!”

Deg!

Jantung Bram seperti ditikam sembilu. Dia sungguh tak menyangka jika wanita yang dinikahi secara siri ini ternyata bisa juga membuat dadanya sesak.

“Bagaimana? Kau mau main-main denganku?” tanya Widi membuat Bram hanya bisa menghela nafasnya.

“Iya, aku pasti akan datang dan memenuhi permintaan ayahmu untuk menjelaskan statusmu di hadapan fansku,” bisik Bram lagi. “Pokoknya ijinkan dulu aku menghabiskan kontrak kerja dengan promotor dulu. Setelah kontrak tur kali ini selesai, aku pasti akan katakan soal pernikahan kita!”

“Bagus! Sekarang kembalilah ke konser dan aku tunggu semua janjimu atau ancamanku akan rasakan akibatnya,”

Bram mengangguk tanda setuju lalu membiarkan Widi pergi dari hadapannya dan sesaat kemudian pria tampan ini pun mencoba menenangkan dirinya sebelum kembali menuju backstage.

Memang setahun terakhir, gitaris kenamaan ini sedang mereguh kejayaanya dan tentunya Widi, putri yang merupakan putri tunggal pemilik perusahaan rekaman yang memiliki peran besar dibalik semua ini.

Dia bersama Band kampusnya, D’Klok mendapatkan kontrak eksklusif dari sebuah label yang membuatnya mendapatkan kesempatan konser di banyak kota di Indonesia dengan perjanjian selama tour berlangsung Bram tak boleh terikat pernikahan dengan siapapun.

Tentu dia tak mau merusak kesempatan ini sehingga meminta dengan sangat pada Widi untuk merahasiakan pernikahannya.

Resiko dari pekerjaan ini tak sedikit, untuk mempertahankan staminanya dia butuh suplemen yang bisa menjaga performanya dan satu-satunya suplemen yang paling pas untuk menopang semua ini adalah sabu, barang haram yang selalu disuplai managernya setiap hari.

“Bram kau harus siap,” bisik Kholil, manager band yang sudah siap di tangga menuju panggung.

“Iya, siap!” seru Bram seperti biasa.

Konser dimulai dan riuh penonton mulai terdengar.

Pria yang memang senang jadi center of attention itu mulai memainkan gitarnya dengan ciamik hingga teriakan para groupies mulai menggelegar membuat semangat Bram semakin menggila.

Tubuhnya memang lelah tapi semua teriakan itu membuat semangatnya kembali menggebu.

Satu jam pertama telah Bram jalani dan ini waktunya dia beristirahat di backstage. Dengan langkah gontai Bram melangkah turun dari panggung lalu mendekati kursi tunggu.

“Bram!” panggil kru yang memberi kode pada gitaris ini. “Sekarang waktumu,”

“Siap?!” tanya Bram lalu mendekati pintu toilet yang berjarak beberapa langkah dari tempat duduknya.

Dia tak menyangka jika gerak-geriknya sedang diawasi sepasang mata elang yang sudah siap mencari bukti akan ketergantungannya pada benda haram yang selama beberapa bulan ini sudah menjadi teman baiknya.

Krek!

Bram kemudian menguncinya lalu melirik ke sebuah kantong plastik kecil berisi sabu sudah siap di wastafel kamar mandi dan tanpa butuh berpikir panjang Bram segera diendusnya.

“MMM!” Hanya butuh sedetik saja untuk Bram menikmati efek dari benda jahat itu. Tubuhnya yang tadi lelah perlahan terasa sangat ringan. “Fly!” bisiknya sambil menatap langit-langit toilet dengan tatapan kosong.

“Bram!” panggil kru backstage sambil menggedor pintu karena gitaris ini tak juga keluar dari kamar mandi. “Jangan lama-lama, kita harus kembali konser!”

Bram terperanjat, dia segera mengumpulkan kesadarannya dan bangkit. “Ah, aku terlalu terlama di sini,” bisiknya sembar melangkah keluar dari toilet.

“Kenapa, Bro?” tanya kru yang menggedor pintu.

“Aku pusing, barang yang kau bawa terlalu bagus,” kekeh Bram lalu meraih gitar yang diletakkan di atas kursinya kemudian menghadap ke cermin ruang tunggu berukuran besar. “Tapi aku sudah siap,” tambahnya.

“Yakin kau sudah siap?” tanya kru backstage sambil menepuk-nepuk bahu Bram dengan kuat.

“Siap! Kau tak usah khawatir!”

“Bagus kalau kau sudah siap!” Kru menepuk bahu Bram sekali lagi kemudian menuntun langkah Bram yang masih belum sepenuhnya sadar menuju panggungnya malam ini.

Malam itu, Bram menutup konser dengan sangat indah. Semua penonton mengelu-elukan namanya membuat tak ada lagi orang yang meragukan kepiawaiannya dalam memainkan senar gitar.

Setelah malam itu, Bram segera bergegas pulang, dia terlalu lelah dengan hingar bingar pekerjaannya hingga butuh tempat untuk pulang.

“Kau pulang kemana?” tanya supir yang membawa mobil band dini hari itu.

“Aku pulang ke rumah nenekku saja,”

“Tak ke rumah Widi?”

“Tidak! Aku lelah, aku butuh tempat yang tenang untuk tubuhku,”

“Baik, terserah kau saja kalau begitu!” Supir kemudian mengarahkan mobil ke sudut Kota Bandung tempat rumah nenek Bram berada. “Tar kalau Neng Widi tanya aku bilang kalau kau tidur di rumah nenekmu ya,”

“Iya, aman! Dia mana mungkin cemburu pada neneku,” kekeh Bram sambil bersandar ke jok mobil yang sudah kosong karena teman-temannya sudah turun duluan.

Mobil tiba di rumah reot di pinggiran Kota Bandung, langit masih gelap saat Bram turun dari mobil dan mengetuk pintu rumah wanita tua yang begitu dia sayangi.

“Enin!” panggil Bram di subuh hari saat wanita paruh baya yang merawatnya pasca perceraian kedua orang tua gitaris berbakat itu baru saja selesai sholat subuh.

“Ujang, ya?!” (Panggilan anak laki-laki dalam bahasa Sunda)

“Iya, Ening. Ini Bram. Buka pintu,” pinta Bram dan Enin segera membukakan pintu rumah sederhananya di pinggiran Kota Bandung dengan lembut.

Dia memang lebih senang tinggal di rumah sederhana ini bersama neneknya ketimbang tinggal di rumah mewah yang disewa perusahaan rekaman untuknya karena di rumah ini dia menemukan cinta sejati dari wanita tua yang selalu mendidiknya sejak kedua orang tuanya berpisah.

“Kok pulang ke sini?”

“Iya, nanti siang Bram baru pulang ke rumah Widi,” jelas Bram sambil melangkah masuk ke dalam rumah setelah pamit pada supir yang mengantarkannya.

“Sudah sholat, Jang?” tanya Enin dengan lembut.

“Mmm!” jawab Bram yang sudah tak tahan lagi dengan rasa kantuk di matanya.

“Alhamdulillah. Enin gak minta apa-apa. Ujang mau sholat aja Enin udah senang,”

“Mmm!” Bram melangkah dengan gontai menuju kamarnya lalu membaringkan tubuhnya yang lelah di atas tempat tidurnya sebelum kemudian suara dengkurannya terdengar nyaring.

Melihat cucunya kembali tidur dengan wajah yang kelelahan, Enin segera kembali ke atas sajadahnya lalu menengadahkan tangannya tinggi kemudian berdoa. “Bismillah hirohman nirohim. Ya Allah jaga selalu cucuku. Aku yang salah mendidik putriku ini tak ingin semua kesalahan putriku terulang pada Bram yang masih muda belia. Ya Allah kabulkanlah,”

Tilulit!

Ponsel Bram berdering dan matanya segera membaca pesan singkat dari Widi.

‘Tidur nyenyak, Sayang. Ingat kau punya tanggung jawab dirahimku. Ok kau tak pulang sekarang, tapi besok hadapi ayahku untuk rencananya,”

“Cuih! Dasar betina. Tak bisa apa dia tak usah mengingatkanku untuk hal yang menyebalkan itu!” kesal Bram lalu mematikan ponselnya dan kembali mencoba tidur, hal yang sangat mahal baginya saat ini.

“Menyesal aku menikahi wanita bawel itu. Mentang-mentang ayahnya pemilik perusahaan rekaman di tekannya aku terus,” tambah Bram sambil mencoba menutup matanya yang memang sudah sangat mengantuk.

Enin yang baru selesai sholat dan mendengar perkataan Bram lalu melangkah mendekati pintu kamar cucunya yang terbuka. Sesaat matanya melirik ke arah Bram yang wajahnya pucat.

Sudah seminggu ini wajah pucat itu jadi perhatian, tapi sungguh Enin tak berani bertanya banyak pada pria yang sangat dia sayangi ini.

“Apa dia sedang sakit, ya? Belakangan ini dia tidur terus,” gerutu Enin sambil terus memperhatikan cucu satu-satunya itu. “Apa aku tanyakan pada perawat kelurahan saja, ya?”

Kecurigaan ini memang pantas diucapkan, maklum cucunya jadi sering mengeluh sakit kepala, mood swing dan yang paling parah dia selalu tidur dalam waktu yang lama. Dia bisa tidur 13 jam sehari dengan keluhan yang selalu sama, yaitu lelah.

Enin yang khawatir akhirnya pergi ke puskesmas tanpa sepengetahuan Bram untuk menanyakan pada perawat tentang keadaan cucunya tanpa membawa Bram.

Perawat yang sudah kenal Enin kemudian memberikan multivitamin pada wanita paruh baya itu untuk diberikan kepada Bram sebagai pengobatan awal.

Setelah konsultasinya, Enin kemudian kembali ke rumahnya untuk bertemu dengan cucu kesayangannya itu.

“Jang,” panggil Enin sambil mengguncang bahu Bram yang sudah tidur hingga jam 12 siang. “Ujang udah tidur kelamaan. Bangun, Jang. Sholat Dhuhur dulu!”

“Mmm!” Bram mulai bergerak lalu membuka matanya perlahan. “Badan Bram sakit semua,”

“Ujang, Sayang. Ini Enin bawakan multivitamin dari puskesmas. Kata perawat, Ujang pasti kelelahan,”

“Hah!” Mata Bram melebar. “Kenapa Enin pergi ke puskesmas? “ Bram langsung memasang wajah tak senang.

“Eh! Memangnya kenapa kalau Enin ke puskesmas?”

“Jangan, Nin! Jangan!”

“Iya, tapi kenapa?” Enin merasa sangat heran.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Sisi Ryri

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku