Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
WIBU VS KPOPER

WIBU VS KPOPER

Ponikanan

5.0
Komentar
113
Penayangan
10
Bab

WIBU VS KPOPER Nara Aksana, seorang gadis berusia akhir kepala dua, kpoper sejati, penyuka leader boy group bernama Joon Eun Ho, suka makan tteokboki, mendadak harus satu rumah dengan seseorang yang harus dia sebut suami, dan tentu saja, bukan Joon Eun Ho yang ada dalam angan dan fantasi. Belum habis segala kesialan yang menimpa gadis itu, mendadak dia mengetahui fakta sialan tentang suaminya, yang ternyata seorang wibu akut. Ezra Atmadjaja, seorang laki-laki mapan, komikus tampan, wibu++, menyukai wanita 2D berkuncir dua yang imut dengan rambut warna-warni, mendadak harus satu atap dengan wanita 3D yang dia benci setengah mati. Hal-hal seputar wanita itu saja sudah membuat Ezra jengah sendiri, bagaimana jika harus bernapas dengannya setiap hari? Terjebak tuntutan usia, Ezra dan Nara sudah lelah dengan banyak calon yang fotonya datang setiap seminggu sekali. Maka dari itu, pada pertemuan pertama mereka yang penuh dengan keluhan dan pekerjaan di atas meja bundar, keduanya sepakat untuk menjalani pernikahan main-main ini. Sayangnya, pada pertemuan itu, keduanya tidak membahas lebih banyak mengenai hobi dan malah sibuk sendiri. Sekarang, setelah hidup di bawah naungan atap yang sama dan menyadari ternyata keduanya berada di kubu yang berbeda, apa yang harus mereka lakukan? Manakala, bahtera rumah tangga sudah menyambut di depan mata. Tentu, pernikahan ini tidak akan mudah seperti yang Ezra dan Nara harapkan di awal pertemuan. "Apa sih, suka kok sama 2D? Yang 3D dong, lebih nyata, jelas hidup dan ada!" "Memang itu lebih baik daripada dia hidup tapi tidak tahu kalau kamu ada, Na?" Rumah tangga, pernikahan, tuntutan usia, hobi yang berbeda, masalah di hadapan mata, Ezra dan Nara harus pasrah ataukah berjuang sampai semesta berbaik hati menurunkan berkah?

Bab 1 WIBU VS KPOPER BAB 1

Suara desing mesin print, lembar kertas yang dibolak-balik, bising di sekitar, pembicaraan yang mengambang, semerbak aroma kopi. Nara Aksana boleh jadi sudah menjadi satu dengan rutinitas yang menjadi denyut dalam nadi kehidupannya, semacam embusan napas dan helaan berat di dada, presentasi dan mengisi absensi, datang dan pulang, semuanya masih sama seperti kemarin-kemarin.

Tanpa sadar wanita berusia akhir kepala dua itu menahan napas menatap kekosongan yang menyisakan sepi berkepanjangan setelah ramai mencekam pukul sembilan malam. Rumah tidak pernah tampak terlalu nyaman akhir-akhir ini ketimbang kantor yang penuh pembicaraan; rok kependekan yang jadi gosip anak-anak baru, senior galak, junior berotak udang, pekerjaan, presentasi super menyebalkan bersama dekan, konsultasi, serta berita remeh tentang percintaan di sana-sini.

Nara harusnya dapat apresiasi setelah selama ini mengabaikan keluhan sang mama, sebab saat dia baru sampai di depan dapur untuk mengambil satu gelas air, wanita itu sudah menagih jawaban dengan wajah memelas yang -demi Tuhan- sangat memuakkan. Lagi-lagi, pertanyaan yang sudah mati-matian Nara hindari kembali terdengar, lebih lembut kali ini, dibubuhi kata bujukan sarat rayuan, "Ayolah, Na, demi Mama."

Satu permintaan, dapur remang, pembicaraan pukul sembilan malam. Nara berdiri di ambang pintu dapur, menimang sekilas antara terus masuk dan mengabaikan ocehan sang mama atau berhenti sejenak untuk putar balik dan berpura-pura tidak mendengar sesuatu. Namun, tampaknya kedua opsi tersebut tidak ada yang lebih baik untuk dipilih sebab sang mama sudah menatapnya di sana, tepat di sana, lantas mengambil langkah buat mendekat dengan gerakan lamban yang seperti slow motion di depan wajah.

Alih-alih terdiam atau kabur, Nara malah mengambil napas untuk menelurkan sebuah tanya, "Mama sebegitu inginnya melihatku di altar dan berciuman dengan pria?"

Terlalu frontal, Nara tahu. Diam-diam wanita bersanggul rendah itu menahan napas saat mamanya terdiam, seolah tengah berpikir keras. Geraknya mendadak terhenti dan Nara berusaha keras untuk tidak memaki diri sendiri yang membuat ekspresi keruh tersebut muncul di air muka sang mama saat ini.

Sebelum menerima sangkalan lain, gadis berkemeja biru muda itu segera mengambil air dari dalam lemari es, menenggaknya seperti orang kehausan seminggu penuh. Tapi tentu saja dia butuh siraman air dingin untuk mendinginkan kepalanya sejenak, setidaknya jika ditodong sang mama begini, mau tak mau dia tidak bisa meninggikan suara sama sekali. Kepalanya harus dingin sebelum kembali memulai konversasi yang sialnya tidak akan berakhir secepat keinginannya untuk tidur segera atau malah cepat-cepat menonton drama Korea.

Dia sudah memprediksi saat wanita paruh baya di belakangnya kembali buka suara, "Setidaknya, kali ini saja, Na, Mama mohon padamu, segeralah menikah."

"Ma," Nara merasakan dadanya seperti disumpal sesuatu saat dia hendak mengeluarkan sederet sangkalan, memantapkan hati bukan perkara mudah jika seseorang paling berharga di hidupmu mengajukan hal yang setengah mustahil untuk dijalankan dengan wajah memelas begini. "Aku baik-baik saja seperti ini, Ma, sungguh. Menikah atau tidak, aku tetap bahagia. Sendirian juga tidak apa-apa."

"Tapi kau anak ibu satu-satunya, Nara."

"Lantas kenapa kalau begitu, Ma? Jika bukan anak tunggal, apa Mama tidak akan memaksaku untuk menikah seperti ini?"

Kedua mata coklat susu melirik map yang sebagian isinya sudah dikeluarkan di atas meja, tentu lengkap dengan foto seorang pemuda. Ini yang kesepuluh kalinya dalam minggu yang sama, pembicaraan ini sudah habis tempo, tapi mamanya tetap gencar menagih tanpa lelah. Seakan masih menaruh harapan bahwa anak tunggalnya akan melirik, barangkali betulan tertarik, lalu menjalani rumah tangga seperti orang lain pada umumnya. Tapi Nara sungguh sudah muak dengan konversasi serupa yang terus diulang-ulang macam kaset rusak.

"Lihat teman-temanmu, mereka semua sudah menikah, Na," Ada isak yang menjeda kalimat barusan, Nara berusaha keras untuk tidak memutar bola mata dengan sorot bosan saat sang mama melanjutkan, "setidaknya, temui dulu pemuda ini, semoga kau tertarik dan cocok dengannya."

Ini tidak akan berhasil, Nara membatin, kentara jenuh menanggapi. Maka dari itu, gadis dengan rambut coklat bergelompang yang disanggul rendah tersebut hanya mengangguk, berpura-pura patuh saja demi membuat sang mama berhenti berseru-seru bising, hanya membuat kepala pening.

"Baik, aku akan menemuinya," balas wanita itu, dia menggigit bagian dalam pipi sejenak sebelum kembali menukas, lugas, "semoga ini jadi yang terakhir bulan ini."

Mama Nara menghembuskan napas lega, ada senyum yang terukir indah di bibir wanita berusia paruh baya tersebut saat menyerahkan foto yang dia ambil dari atas meja sebelumnya. Lantas, tangannya memaksa Nara menerima berapa lembar cetak polaroid tersebut dengan maksud membuatnya lebih tertarik membuka hati. Mamanya masih terlalu berharap, ternyata. Nara diam-diam miris sendiri membayangkan jika kencan buta ini tidak berhasil lagi setelah sekian kali mencoba-dia tidak pernah serius melakukannya, tentu saja.

"Bawa fotonya dan amati apakah dia tipemu atau bukan, Nara," tukas sang mama, sorotnya dipenuhi keyakinan saat melanjutkan, "Mama yakin sekali pemuda ini adalah yang kamu cari."

Sebetulnya, Nara Aksa bahkan tak repot-repot mencari pendamping hidup yang akan dia panggil suami. Tidak ada tipe idaman atau orang yang disuka sejauh ini, jadi dia tidak begitu kaget jika foto yang disodorkan tahu-tahu adalah pria tua yang pantasnya sudah punya cucu dua. Tapi, pemuda dalam foto ternyata melenceng jauh dari perkiraan semula. Berbeda dengan pria-pria yang semula dikencaninya hanya karena sang ibunda.

Dibandingkan mereka, yang satu ini sedikit ... menyegarkan? Mungkin karena usia mereka yang tidak terlampau jauh, boleh jadi pula karena tatanan rambutnya yang rapi, barangkali juga karena pakaiannya yang santai.

Sebetulnya, pemuda dalam foto itu biasa saja; seorang manusia biasa, dengan tatanan rambut coklat pendek, berkacamata dan wajahnya oriental khas orang Asia. Pakaiannya pun sama sederhananya; hanya sebuah kemeja gelap bergaris-garis kecil. Posisinya menghadap kamera, tampak seperti foto 3x4 yang digunakan untuk melamar pekerjaan alih-alih foto terbaik buat diperlihatkan untuk membuat orang tertarik menghampiri. Ekspresi di dalam foto itu pun cuma tersenyum kasual, sangat biasa, sungguh biasa.

Entah apa yang membuat mamanya lebih tegas kali ini, berkata bahwa pemuda ini yang dia cari. Padahal, yang Nara mau hanya Joon Eun Ho-seorang pria blasteran Jepang-Korea yang baru-baru ini sedang naik daun dalam karirnya sebagai leader boy grup besutan agensi lama. Nara tidak berekspektasi banyak pada pria lain di sekitarnya setelah ayahnya pergi.

Nara hanya mengenyahkan praduga bahwa dia diam-diam suka, hanya suka pada figur dalam foto kecil di genggaman, tapi tidak boleh sampai jatuh cinta. Dia tidak ingin terluka. Tidak boleh ada kali kedua.

Karena itu, Nara hanya menyimpan foto yang dia lihat sekilas di atas meja belajar sebelum menarik selimut buat tidur menjemput hari esok. Biarkan hari ini berakhir begini saja. Untuk urusan besok, Nara serahkan pada dirinya yang besok. Semoga tidak ada drama baru di kehidupannya, dia sungguh-sungguh meminta.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku