Suamiku yang Lumpuh Adalah Taipan Misterius
Penulis:ASHLEY AMARI
GenreRomantis
Suamiku yang Lumpuh Adalah Taipan Misterius
Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat Lana merinding. Matanya melebar saat dia menatap Jehan. Tahu-tahu terlintas di benaknya bahwa dia bukanlah Lana bagi Jehan. Identitasnya saat ini tidak ada hubungannya dengan neneknya yang terbaring di rumah sakit.
Mulut Lana menjadi kering. Dia tidak tahu bagaimana dia harus menjelaskan pada Jehan kenapa dia ingin membantu wanita tua itu.
Jehan mengamati wajahnya sejenak dan bertanya, "Ada apa? Jawab pertanyaanku."
Lana tersipu dan mengalihkan pandangannya, "Aku akan mengambil sebotol air untukmu." Jantungnya seakan hampir melompat keluar dari dadanya.
Dia tergagap dan menunjuk mesin penjual otomatis dengan canggung.
Saat itu, ponsel Jehan berbunyi. Dia membuka ponselnya dan melihat pesan yang berbunyi, "Mereka sudah bertindak!"
Jehan meletakkan ponselnya dan memperhatikan punggung Lana. Perlahan dia tersenyum.
Permainan ini akan segera dimulai. Dia bertanya-tanya bagaimana wanita ini akan memilih.
Lana segera berlari ke toilet wanita dan memercikkan air ke wajahnya berkali-kali, seolah berusaha menenangkan hatinya yang gelisah.
Dia tidak bisa memahami pikiran serta perasaannya. Jantungnya berdegup kencang di balik dadanya. Dia mulai gelisah sejak Jehan muncul di rumah sakit. Sepertinya dunia telah menjadi sunyi. Satu-satunya yang bisa dia dengar adalah suara Jehan yang bergaung.
Akan tetapi, dia tidak menyukai pria itu.
Ini semua karena wajahnya yang tampan. Setiap kali tatapan Jehan yang dalam bertemu dengannya, dia akan salah paham bahwa pria itu menunjukkan rasa kasih sayang.
Lana memercikkan segenggam air lagi ke wajahnya dan menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Kemudian, dia keluar dari toilet wanita dan kembali ke tempat Jehan berada sambil membawa sebotol air.
"Yah, aku mengenal wanita tua itu ketika aku bekerja sebagai sukarelawan ...." Dia berbohong.
Namun, Jehan melambaikan tangannya untuk menghentikannya. "Kita ini bukan pasangan sungguhan. Kamu tidak perlu memberitahuku semua ini."
Lana mengerucutkan bibirnya dengan kesal. Pria inilah yang bertanya sebelumnya.
Lana begitu marah sehingga tidak ingin berbicara dengannya. Dia langsung berjalan mengitari kursi roda, mencengkeram pegangannya, dan mendorongnya ke depan.
Dia tidak tahu bahwa ketika dia berbalik, Jehan tersenyum.
Keduanya tetap diam dalam perjalanan kembali menuju vila. Akan tetapi, saat mereka tiba di vila, terdengar suara kencang yang menarik perhatian Lana.
"Cepat buang ini semua."
Lana berlari ke dalam dan melihat seorang pria memerintahkan para pelayan untuk membuang barang-barang itu. Pria itu agak mirip dengan Jehan dan seorang wanita berdiri di sampingnya. Mereka adalah ibu tiri Jehan, Susi Cendana, dan adik tirinya, Kiran Sahid.
"Apa yang sedang kalian lakukan?" bentak Jehan.
"Hei, Kakak!" Kiran berbalik, berpura-pura tersenyum seolah baru saja menyadari kedatangan mereka. "Apa itu Kakak Ipar?" tanyanya sambil memandang Lana dari atas ke bawah. "Astaga, dia sungguh cantik!"
Lana merasa jijik dengan tatapan mesum pria itu. Dia memandang wanita yang mengenakan banyak perhiasan dan pria jelek yang berdiri di sampingnya. Keningnya berkerut dengan bingung.
"Keluar!" teriak Jehan.
"Jehan, ini bukan lagi rumahmu." Susi hanya tersenyum. "Perusahaan sangat membutuhkan uang tunai. Ayahmu sudah setuju untuk menjual rumah ini. Kamu tidak akan mempersulit kami, bukan?"
Jehan mencengkeram sandaran tangan kursi rodanya dan memelototi wanita jahat itu. Meskipun marah, dia tak dapat menghentikannya.
Lana merasa kasihan padanya. Dia mengerti bahwa selama ini Jehan pasti mengalami masa-masa sulit.
Lana tidak tahan dengan Susi yang masih terus mengoceh. Kehadiran wanita itu membuatnya geram.
"Kalau untuk perusahaan, kenapa kalian tidak menjual rumah kalian sendiri?" ucapnya sambil menatap jijik pada perhiasan-perhiasan berat yang menempel di tubuh Susi. "Kamu terlihat seperti pohon Natal dengan sekian banyak perhiasan yang berkilau. Kamu bisa menjualnya untuk menyelamatkan perusahaan. Apa kamu pernah memikirkannya?"
Mendengar itu, para pelayan yang memindahkan perabotan keluar dari rumah menggigit bibir mereka untuk menahan tawa.
"Usir mereka berdua!" teriak Susi sambil memerintah.
"Tidak perlu, kami bisa pergi sendiri."
Lana mengepak beberapa pakaian dan mendorong Jehan keluar dari vila besar milik Keluarga Sahid. Dia memutuskan untuk mencari apartemen dengan harga sewa murah.
Senyum tersungging di sudut bibir Jehan saat melihat Lana membelanya. "Bukannya kita berjanji untuk tidak mencampuri urusan masing-masing? Kamu bisa meninggalkanku sendiri dan kembali ke rumah orang tuamu. Kenapa kamu tetap bersamaku?"
"Tidak mencampuri urusan masing-masing juga tergantung pada situasi. Kamu adalah suamiku dan kita berhubungan erat satu sama lain. Apa menurutmu aku akan membiarkan orang lain menindas suamiku?"
Lana tersenyum licik. Meskipun Jehan tahu bahwa wanita ini hanya meniru ucapannya, dia tetap terkesan.
Jantungnya berdetak dengan kencang. "Bukankah dia sudah sepakat bahwa dia tidak akan merayuku?" gumamnya pelan.