Cinta Pertama Adinda
olah baru Dinda di Malang. "Masak baru masuk sekolah udah telat aja!" gerutu Dinda tak terima dengan beru
njat pagar samping," kata sang Ayah yang berusaha menenangkan gelisah dan gundah
ahu kalau hal itu dilakukan oleh Bima karena ia merasa gugup bahwa hari ini adalah h
akan pernah bersedia menerima tawaran ini. Ia tak ingin mengingat sama sekali kenangan manis
ini adalah karena ia tak yakin dengan hatinya yang masih d
enggol lengan Ayahnya gemas. Ayahnya ser
" seru
ai. Wajah Ayahnya seketika kaget dan langsung pucat, ia meraih ponsel sang anak dan menge
ya bisa geleng-geleng kepala sembari memukul jidatnya yang tak tera
engah Pertama Pembangunan). Sekolah itu terletak di desa Sumber Waras, beberapa meter dari jalan raya dan jalur kereta api. Bagian depan sekolah itu terdapat kampung yang cukup padat, dan bagian belakan tempat di mana Dinda dan Ayahnya berada terdapat lapangan sepak bola yang cukup lu
an yang dilakukannya dengan sang putri kemarin sore ke sekolah itu. "Ayah!" panggil Dinda kembali kepada sang Ayah yang langsung menoleh salah tingkah, saat sa
at. Cepat!" perintah sang Ayah sekali lagi kepada putrinya yang menatapnya dengan tatapan jengah dan tak percaya sama sekali. "Cepat
terlambat, dan itu bukan salahnya tapi salah sang Ayah yang terlalu lama berada di dalam kamar mandi. Ia bahkan hanya menyambar satu buah roti pa
reka itu. Dinda menggerutu dan memanyunkan bibirnya kembali tapi ia akhirnya menuruti permintaan sang Ayah tersebut. Dengan langkah kaki yang sedikit berlari itu, Dinda menuju arah d
alahnya adalah kini yang ada di hadapannya, tembok tinggi bukan ranting. Dinda mencari-cari sesuatu di sekitarnya untuk membantunya memanjat, tapi ia tak menemukan sesuatu sama sekali. Ia akhirnya melompat-lompat untuk menengok ke arah dalam. Sejauh dari pa
tu itu cukup untuk membantunya melompati pagar tersebut. Dinda sedikit ragu ketika ia melihat tumpukan ba
ga
ga
eh takut sa
ak
an baik-b
hasil tumpukannya tersebut. Tapi baru juga ia menaiki tumpukan batu itu, tubuhnya oleng ke kiri, ia kehilangan keseimbangan mes
u
a matanya kala ia merasa ada tangan yang menopang tubuhnya. Ia menoleh dan mendapati s
itam legam yang lebat. Hidung pemuda itu sedikit mancung, bibirnya tipis tapi sedikit berw
n membuatku jatuh di pelukan pemuda tampan. Jika ini mimpi aku
kk
an pemuda itu serta merta melepaskan tubuh Dinda begitu saja h
al
gak ke atas dan memadang tajam k
aya membersihkan rok seragam sekolahnya dengan tangan kosongnya
u dengan ketus. Pemuda itu berpawakan tinggi, mungkin tingginya sudah seratus tuju
ak punya pilihan lain selain meminta tolong kepada pemuda tinggi ters
aru pake telat segal
ama jug
sen
kalah. Pemuda itu kembali memandang Dinda, kali ini wajahnya berekspresi, tapi bukan
isa panjat?
i tadi gue masuk dan gak
nda memicingkan matanya, ia heran sekali dengan makhluk tampan tak berperasaan seperti p
itu menoleh lagi dan menatap Dinda dengan geram. "Ternyata, ckckckck," ujar Dinda lag
i orang itu adalah perempuan. Dia tak terima sama sekali. Serta merta p
ya! Awas kalo mesum, gue teriak sekarang!" kata
is. Dinda melotot mendengarnya dan menatapnya sebal. "Buruan naik pundak gue sebelum gue berubah
p! Gue sunat lo!" kata Dind
h tak punya waktu lebih lama lagi karena pasti upacara sekolah akan segera usai, menaikkan satu kaki kanannya di pundak kanan pemu
engar sama sekali apa yang
tubuhnya lebih kuat hingga akhirnya ia berhasil melompat pagar beton tersebut. Sebuah senyum cantik terluki
a langkah pemuda itu berhenti dan Dinda menabrak tubuhnya. "Awww! Rem blong ya, bos? Mendadak banget berhenti!" kata Dinda seraya mengelus-
i g