Perjalanan Menjadi Dewa
Zen tidak peduli tentang dirinya yang diasingkan menjadi budak, atau dijadikan karung tinju untuk anak-anak dari Klan Luo, atau bahkan kehilangan Pil Ajaib, yang dirampok oleh Perrin.
Dia tidak peduli akan hal-hal tersebut. Kelemahan terbesarnya adalah adik perempuannya, Yan Luo!
Yan adalah satu-satunya harapan untuk cabang tertua dari keluarga Luo. Yan adalah orang yang sangat berbakat. Dia meninggalkan rumah pada usia tiga belas tahun ketika Sekte Awan memilihnya sebagai murid. Dia selamat dari kudeta yang terjadi di dalam Klan Luo karena alasan ini.
Zen yang menjadi budak selama dua tahun terakhir tidak dapat mengetahui apa pun tentang kabar ataupun keberadaan adik perempuannya itu. Sekarang setelah Perrin memberitahunya informasi tentang situasi Yan saat ini, Zen mendapati dirinya merasa cemas tentang kesejahteraan saudaranya itu.
Tersesat dalam pikirannya yang mengkhawatirkan adik perempuannya, Zen lupa melindungi bagian vital tubuhnya dan menerima beberapa pukulan dahsyat dari anak-anak Luo. Dia akhirnya kembali sadar setelah mendapat beberapa pukulan.
Pada malam hari, Zen kembali ke kamarnya di ruang bawah tanah. Dia berjalan tertatih-tatih saat rasa sakit yang menyiksa membanjiri seluruh tubuhnya.
"Obat ini akan membantumu agar segera pulih!" Pelayan Klan Luo melemparkan obat itu ke Zen sebelum membalikkan badannya untuk berjalan pergi.
Mau bagaimana pun juga karung tinju manusia tidak terbuat dari baja. Dalam beberapa hari saja, mereka pasti akan mati karena luka dalam jika mereka tidak diberi obat penyembuhan luka. Jadi para pelayan membagikan obat-obatan kepada para budak untuk membantu mereka pulih sesegera mungkin.
Namun, obat penyembuhan ini pun tidak terlalu efektif.
Zen membuka kantong kertas yang dia dapat dan tercengang ketika melihat hanya ada satu pil di dalamnya. "Darren Fang! Mengapa aku hanya mendapatkan satu pil hari ini?" Zen bertanya.
"Kamu seharusnya mensyukuri apa yang kamu miliki sekarang. Kenapa? Apa masalahnya? Apakah pil itu tidak cukup untukmu?" Pelayan itu mengejeknya.
"Sudah ditetapkan bahwa setiap budak harus mendapatkan tiga pil penyembuhan setiap hari. Tapi sekarang hanya ada satu di dalam kantongku. Jelas sekali kamu menggelapkan pil-pil ini. Penggelapan di dalam keluarga Luo adalah kejahatan besar. Beraninya kamu melakukan hal ini, Darren? Apakah kamu tidak takut mati?" Zen berteriak sambil menatap Darren dengan berani.
"Hei! Tentu saja aku takut mati, tapi aku tidak takut padamu sedikit pun. Kamu hanyalah seorang budak sekarang. Apa yang bisa kamu lakukan di sini? Kamu ingin memberontak? Aku benci melihat sikapmu. Apakah kamu masih menganggap dirimu sebagai tuan muda di sini? Lihatlah ke cermin dan hadapi kenyataanmu yang sebenarnya, Zen. Ha ha ha!" Darren tidak begitu menyukai Zen dan tidak segan-segan mengambil kesempatan ini untuk menghina mantan tuan muda itu.
Tapi Zen bukannya marah, dia malah menjadi tenang setelah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Darren. Zen menenangkan dirinya sebelum memelototi Darren. Dia bermaksud untuk menyampaikan kebenciannya melalui matanya yang jernih, tatapan tajam, dan wajah tanpa ekspresi.
Dan cara itu berhasil karena Darren merasa tidak nyaman saat melihat reaksi Zen. Dia menjadi takut ketika dia melihat api menari di mata Zen. Alih-alih mundur, Darren malah berjalan mendekat ke arah Zen dan menyodok dada Zen dengan jari telunjuknya sambil berkata, "Apa yang kamu lihat? Kamu berani menantangku? Apakah kamu pikir bahwa kamu bisa melawanku?"
Tiba-tiba Zen memancarkan kekuatan yang kuat dari dalam dadanya. Tubuh Darren gemetar saat kekuatan itu menyebar ke seluruh tubuhnya. Tidak lama kemudian lutut Darren menyerah dan dia terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh ke tanah.
"Kamu... Kamu... Kamu hanyalah seorang budak. Apakah kamu ingin memberontak saat ini?" Darren berdiri dan mencoba untuk terlihat berkuasa. Namun, ekspresi paniknya sudah cukup menyampaikan perasaannya yang sebenarnya.
Zen mengambil dua langkah ke depan sambil meretakkan buku-buku jarinya, dan membentaknya kembali, "Seorang pelayan yang bahkan bukan anggota Klan Luo berani begitu sombong di sini? Apakah kamu pikir aku tidak bisa memukulmu?"
Darren ketakutan dan tidak ingin berada dalam situasi ini lebih lama lagi. Jadi dia bergegas membalikkan badannya dan melarikan diri sesegera mungkin dari sana. Dia baru memelototi Zen segera setelah gerbang besi ruang bawah tanah itu tertutup.
"Perilaku jahat!"
"Perilaku jahat katanya?" Zen mencibir sambil menggelengkan kepalanya melihat sikap Darren. Dia merasa bahwa pelayan itu tidak sepadan dengan waktunya.
Dia duduk dengan tenang di dalam kamarnya, mengeluarkan korek api untuk menyalakan lampu minyak, dan dengan tergesa-gesa membalik halaman buku yang biasa dia baca. Zen merasa frustrasi karena dia tidak bisa fokus. Pikirannya terus melayang kembali kepada apa yang dikatakan Perrin tadi tentang saudara perempuannya, Yan.
"Aku tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi." Zen mengerutkan keningnya sambil memikirkan ada pilihan apa yang bisa dia lakukan. 'Aku baru saja mencapai tingkat pemurnian daging. Akan sulit bagiku untuk meninggalkan ruang bawah tanah ini dengan tingkat itu, apalagi pergi ke Sekte Awan untuk menyelamatkan Yan.'
Zen mondar-mandir di kamarnya yang kecil di ruang bawah tanah. Dadanya semakin sesak dan jantungnya berdetak lebih cepat. Dia tampak seperti binatang buas yang sedang gelisah dan mencoba mencari jalan keluar.
Zen telah menerima nasibnya selama dua tahun terakhir ini. Dia tidak memiliki motivasi apa pun untuk memikirkan alternatif bagi dirinya. Dia merasa kehilangan bakat dan kepercayaan dirinya seiring berjalannya waktu.
Ini akhirnya menyebabkan dia benar-benar tidak percaya pada kekuatannya sendiri. Zen berdiri di tengah-tengah ruangan sambil merasionalisasikan dirinya sendiri. 'Sekarang aku adalah seorang budak. Bertahun-tahun dipaksa menjadi karung pukul untuk anak-anak di Klan Luo telah melemahkan kekuatanku. Yang lebih buruknya lagi adalah cedera harian yang kudapatkan mencegahku untuk berlatih ketika aku kembali ke ruang bawah tanah ini. Tetapi cepat atau lambat aku pasti akan mati terbunuh oleh salah satu anak-anak ini jika aku terus-menerus diam dan tinggal di sini. Aku perlu mengambil sebuah tindakan drastis.'
Zen semakin cemas semakin dia memikirkannya. Dia mengarahkan pandangannya ke arah buku tua, Prinsip Surgawi, yang tergeletak di atas meja.
"Buku sialan ini tidak lain tidak bukan hanyalah sekumpulan teori kehidupan. Dan sejauh ini, apa yang dikatakan buku ini tidak ada yang berhasil untuk ayahku, maupun diriku. Tidak ada gunanya bagiku membaca buku ini. Mengapa aku harus terus membacanya? Buku itu sama sekali tidak berguna." Kemarahan dan ketidakberdayaan melanda pikiran Zen. Dia melangkah mendekat ke arah buku itu, mengambilnya dari meja, dan meletakkannya di atas lampu minyak sampai mulai mendesis dan berderak.
Senyum perlahan tumbuh di bibir Zen saat buku itu mulai terbakar.
Namun, Zen langsung menyesaali perbuatannya sesaat kemudian. Dia berbisik dengan putus asa, "Zen, Zen, kenapa kamu repot-repot marah pada sebuah buku?" Zen menyesal melihat buku yang terbakar itu dan mengeluh, "Buku ini mengajarkan orang untuk menjadi baik. Buku ini memberi tahu orang hal-hal apa yang memalukan dan salah, serta hal-hal apa yang bijaksana dan benar. Buku ini tidak bisa disalahkan atas kesulitan yang terjadi padaku. Aku seharusnya menyalahkan diri sendiri karena akulah yang tidak cukup kuat, karena telah menjadi seperti anak domba kecil yang mudah dikendalikan oleh orang lain."
Sayangnya, saat itu buku itu sudah menjadi tumpukan abu dan tidak bisa diselamatkan.
Tiba-tiba, Zen melihat seberkas cahaya keemasan melintas dari dalam tumpukan abunya. Dia tercengang untuk sesaat.
"Apa itu?"
Zen mendorong tumpukan abu itu ke samping, dan mengambil sepotong kecil emas yang memancarkan sinar cahaya terang. Zen berusaha mempelajari kertas emas tipis itu.
Dia tidak pernah menemukan kertas emas ini ketika dia membaca buku ini berulang kali. Sepertinya kertas itu tersembunyi di lapisan dalam buku.
'Apa gunanya selembar kertas emas itu? Emas sama tidak berharganya dengan tanah liat untuk keluarga besar seperti Klan Luo.'
Namun ketika Zen sedang fokus pada kertas emas itu, sebuah penglihatan yang aneh muncul!
Kertas emas itu diukir dengan kata-kata kecil yang tak terhitung jumlahnya dan berbentuk seperti berudu. Zen tidak mengerti satu pun kata-kata yang tertulis di kertas emas itu.
Kertas emas itu hancur di tangannya saat matanya sedang menganalisa kertas itu. Ribuan keping emas kecil, masing-masing membawa sebuah kata, terbang mendekat ke arahnya.
Wajah, mata, leher, lengan, badan, kaki...
Setiap bagian tubuh Zen dibalut oleh pecahan emas kecil ini.