Dear Ex and Mistakes
dua puluh empat tahun, perkiraanku, tersenyum dan mengangguk sopan. Pukul tujuh lew
sapaku dengan
senyum hangat. Sepertinya, perempuan ini cukup menyenangkan diajak kerja sama. Bukan tipikal peremp
sopan dengan tangan yang terulur menunjuk
ke sini untuk pesan baju, bukan minum." Dia ter
li menuju sofa tamu dan meletakkan botol air mineral itu di atas meja. "Sebelumnya, saya mewakili Bu Rahma memohon maaf karena beliau tidak bisa menyambut Mbak mala
saya terlihat cantik. Acaranya malam dan hanya makan malam dan bincang saja." Perempuan ini mengambil botol air mineral yang kusuguhkan, lalu meneguk pelan seakan ia butuh hal yang bisa membuatnya memiliki tenaga untuk membica
empuan ini sedikit tidak nyaman dengan apa yang ia bicarakan. Entah mengapa. Perempuan ini memandang ke arah pintu utama buti
ya mencatat dan menggambar sketsa kasar konsep busana yang ingin ia pesan. Mencari tahu apa isi hati dan pikiran perempuan ini bukanlah tugasku
ti apa agar keengganan saya menjalani perjodohan ini bisa tertutupi dengan rapi. Mereka bilang saya harus tampil lebih cantik. Padahal, saya
, aku memang tak bisa merasakan apa yang perempuan ini pendam. Aku belum pernah mengalami
?" tawarku seraya membuka buku sketsaku. "Mbak Sita
ikut memperhatikan buku yang mul
gus mengenakan warna apapun sekalipun warna-warna pucat. Rambutnya lurus dan panjang.
n sekarang, aku bisa menyimpulkan jika ia tipikal perempuan bebas dan ceria. Saat ini saja, ia hanya mengenakan jins dan kaus
ide lain?" tanyaku seraya menyodorkan skets
perempuan itu sambil menunjuk s
akan terlihat timbul. Saya merekomendasikan warna put
gguk. "Bagus. Bisa terlihat formal tapi juga santai," nilain
u pilih, lalu mengukur postur tubuhnya. Tak terasa waktu sudah me
i sebelum acara per
tik, aku mempersilakan perempuan ini pamit pergi. "Kami pa
lagi, lalu berjalan menuju mobi
ke butik pada jam delapan pagi dan kembali ke kontrakan pada saat waktu hampir mendekati tengah malam. Dengan begitu, aku tak memiliki
a kosong. Bahkan ada yang berkata bahwa bangunan itu berhantu saking lamanya tak berpen
hwa meski barisan rumah kami berada di lokasi paling pojok komplek ini, hanya berdempetan dua rumah dan si
a di rumah. Aku bahkan tak tahu kapan keluarga baru yang suka tertaw
san rancangan gaun anak yang ingin kubuat saat libur nanti. Aku tak pernah libur di akhir minggu. Hari liburku adalah dua hari di hari kerja dan bergantian dengan jadwal Mona. Satu hal yang membuatku bersyukur bekerja di butik yang sela
dengan sepi dan hening saat bekerja atau istirahat. Hanya suara mesin jahit dan radio dari ponsel saja yang biasa menema
nangan untuk istirahat. Mereka boleh saja berteman dengan makhluk astral yang memang kebanyakan hidup pada waktu-wakt
dengan tawa yang menggelegar. Tak berselang lama, seorang wanita berambut panjang datang menghampiriku dengan langkah ragu. M
agar jangan berisik pada tengah malam seperti ini. Saya tergangg
a, minta maaf pun tidak. Dasar setan kurang ajar! Sebelum emosiku makin menjadi, aku mengembuskan napas dan berbali
untuk kembali menuju rumah, aku mendengar sua
rumah? Saya baru datang pagi tadi
aat ini. Namun, semua materi tentang tata krama bertetangga seketika membeku di kepalaku karena mataku seperti
kaget. Apalagi aku yang berharap
. Aku butuh ketenangan untuk beristirahat." Hanya itu kalimat yang mampu kuutarakan, sebelum berlari menuju
i menghindari semua dan dia tiba-tiba ada
ku yang hanya setinggi dada orang dewasa. "Aku
n dari rumah kalian." Tanpa menunggu, aku membanting pintu dan menguncinya hingga dua kali putaran. Sebaiknya aku membuka ponsel dan me
**