Dear Ex and Mistakes
ry ke enam bulan
epat saji ini menuju salah satu meja. Langkahnya ringan sekali meski membawa banyak burger dan sod
kan lagi perhatianku pada sketsa-sketsa gaun anak-anak yang tengah kukerjakan. Meski ini bukan pekerjaan utama yang memberiku gaj bulana
ntuk mencari suasana baru. Di hari kerja seperti saat ini, restauran cepat saji tak seramai saat akhir minggu.
, kita sudah bersama selama in
ceria. Jika sudah begini, fokusku jadi sedikit goyah dan bola mataku mau tak mau melirik lagi pada se
a. Iyuh, menjijikkan. Kalau uang jajannya kurang, lebih baik makan bakso kaki lima saja alih
n formal yang Bu Rahma tugaskan padaku. Tiga bulan lagi butik tempatku bekerja akan mengikuti acara tahunan dan Bu Rahma sedang ingin mengeluarkan koleksi baju formal yang bisa dipakai un
lirik sekilas pada layar da
u beliau ya. Ada yang mau pesan gaun katanya. Bu
melihat responsku. Aku tak perlu menjawab pesannya, karena setelah ini a
pku tak pernah mudah. Sungguh, urusan lembur setiap hari dan terus menggambar hanyalah satu dari sekian hal kecil yang kunikmati. Masih banyak
you, s
n telingamu lelah sendiri. Aku hanya berharap, kelak kamu tak akan menyesali dan menangisi apa yang te
imaginasiku menjadi nyata. Hidupku tak semudah dan seindah harapan juga bayanganku. Jadi, ketika aku berimajinasi dan menuangkan semua itu di atas kertas, lalu bekerja keras hingga ak
gaun toska berenda yang kurancang untuk anak usia tujuh tahun ini. Soal hidup, baiknya semua k
a lagi. Mungkin orangtuanya menghubungi dan meneriaki mereka untuk lekas berada di rumah. Kasihan, anak ingusan itu belum tahu pentingnya aturan dan norma ketat. Orang tua bersikap keras bukan berarti me
ya pa
ng membuatnya harus ada di kelas setiap malam. Berbeda dengan aku yang tak memiliki keinginan untuk mengenyam bangku kuliah. Memiliki kemampuan menjahit dan menggambar desain baju sudah cukup bagiku. Bu Rahma mengarahk
sana, Bu Rahma tengah bersiap di ruangannya. Beliau memintak
an bahan itu serta cara perawatannya. Nanti, setelah dia memutuskan, baru saya lanjutkan rancangan itu dan membuatkan unt
ana di sini sampai jam sepuluh malam, Bu. Mau potong
menatapku dengan binar sendu. Aku tahu arti tatapan itu kepadaku. Selalu begitu, sejak enam tahun lalu, saat p
han dan hidupmu." Wanita itu berkata lirih sebelum masuk ke dal
am tahun lalu. Bagiku, menjalani hari sendiri dalam sepi seperti ini jauh lebih baik dan menentramkan, daripada harus berteriak marah dan menangis hingga tertekan batin sendiri. Menghabiskan energi dan waktu untuk m
**