Penyembuh Luka
u merendahkan Sarah yang gugup berdiri di hadapannya. Satu tangannya melepaskan kancing kemeja yang ia kenakan saat mengucapka
ng sudah menanggalkan gaun pengantin dan menggantinya dengan dres corak garis tipis warna biru tua. Han
ngan kasar. Ia melucuti pakaiannya hingga tak menutupi tubuhnya lagi. Sarah membuang pandangan, ia mencoba bangun untuk menghindar, nam
ng. Sarah mulai menangis di sela berontaknya. Ia masih bertahan menutupi tubuhnya dengan tangan, hingga, satu ta
tas ranjang, bahkan kini ia seperti mencekik le
ka. Sorot mata Diko memperlihatkan kebencian. Sarah terbatuk, tangan Diko teran
arah tak bisa berbuat banyak. Ia berteriak, meronta, dengan hati yang hancur saat Diko segera melakukan hal itu. Merobos
Diko berhenti. Bahkan Sarah dengan berani menampar wajah p
yang ia perbuat di atas tubuh Sarah yang hanya diam tanpa bereaksi apa pun. Diko menghentak, ia merasa meledak di dalam Sarah. Dengan kasar mencabut miliknya, pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, menin
*
skan sprei, lalu mencuci noda darah, terlalu malu jika petugas kebersihan kamar melihat hal itu. Sarah sudah bangun sejak pukul lima pagi. Du
ihat kertas pesan di atas meja makan kecil kamar suite itu, tertulis jika Sarah tidak perlu
era ia minum. Di sebelahnya, ada rak kaca, dengan jejeran cemilan berbagai merek. Sarah membuka biskuit cokelat. Ia duduk di kursi, menikmati makanannya tanpa peduli den
edang duduk, menikmati biskuit dan minuman teh s
ilnya. Sarah diam
suk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar, tak lama, ia berjalan keluar kamar dengan wajah lebih segar. Ia membuka k
ernada dingin. Bahkan tangan kirinya sudah me
" Diko melotot, Sarah menatap dengan cahaya
cengkramannya. Lalu mendorong
orong kepala Sarah. Ia beranjak, menin
ian-pakaian itu sudah disiapkan sektretarisku untukmu. Aku akan pesan makanan. Aku tidak mau disangk
megang gagang telpon ia melirik Sarah yang berjalan pelan, jelas tampak kesa
ranjang padahal masih berstatus tunangan. Kini, hatinya nyeri, merasa mengkhianati Abel, p
ntuk menenangkan diri ke Canada, merasa malu juga sakit hati dengan keluarga Diko. Keluarganya tak bisa berkutik k
jukkan kekuasaannya. Mulai detik itu juga, kehidupan Diko seperti terenggut. Dan kini,
sedangkan Sarah masih duduk di depan meja rias, mematut dirinya yang juga, sepa
b
o, ya, nak, Ibu akan coba mencari cara terbaiknya. Bersabarlah
a anak tunggal, begitu dibanggakan oleh kedua orang tua, tapi, ia terkejut saat Ayahnya sendiri tega menjadikannya jaminan atas saingan bisnisnya. Bahkan, saat pria itu pergi dari dunia, Sarah bukannya mendapat pesan yang baik untuk menjalani hari-hari, justru surat wasiat bertuliskan jika ia, harusus air mata. Ia beranjak, berjalan dan berhenti dengan jarak y
Sekrestarisku sudah menyiapkan semuanya. Aku harap kamu nggak banyak prot
ar mandi, meninggalkan Sa
m miliknya, juga koper merah yang berisi pakaian baru miliknya.
Abu-abu.' ucapnya dalam hati diakhiri senyum
sam