Tawanan Hati Sang Penguasa
ri ruang yang pertama kali Lavi singgahi. Ia sempat beberapa kali menoleh ke arah pintu yang dibiarkan terbuka it
kin membuat gigilnya makin jadi. Namun, kesakitan itu tak ingin ia keluhkan. Kala
ri kegiatan di kampus. Padahal selama bercengkerama akrab dengan dua temannya, ia begitu bahagia
masalah
nya untuk meminta uang pada Lavi lalu pergi begitu saja. Tak pernah Lavi ditanya bagaimana ka
ya oleh sosok yang seha
dapatkan uang untuk membiayai hidupnya. Meski lebih sering ia menahan lapar dan banyak keinginan seperti gadis seusianya. Beruntung kampus tempatnya berkuliah, b
a-siakan kesem
ontrakannya. Mengacak dengan beringas, mencari barang berharga yang Lavi sendiri ragu bisa ditem
datang ke rumahnya. Pernah tengah malam menggedor tanpa tahu diri hanya untuk menagih uta
ingainya yang licik. Ia berhenti mengacak isi lemari yang semula rapi. Lavi
! Begitu maki La
penuh amarah. Ia tak gentar saat orang yang tadi bicara, sudah ada di depannya. Mat
snya masih dengan seringai licik. "Kita lagi tungg
n tunggu saja sampai busuk.
g begitu konyol, dan meremehkan. Bahkan salah seorang di antaranya bertepu
kar diusir ini. Belum juga ia meraih handle pintu kontrakan yang catnya
an sosok pria yang
ah
urkan darah yang tampak agak mengering. Belum lagi pakaiannya yang compang-camping karena
vi jat
kematian ibunya karena sakit sepuluh tahun lalu. Di matanya juga, Warto,
olong Ay
ah satu di antara mereka, sejak awal kedatangannya sudah menatap Lavi penuh minat. Seolah Lavi adala
emilih pergi karena tahu, urusan utang piutang ayahnya selalu dengan preman
a putrinya, harapan satu-satunya terbebas dari preman ini,
ayahnya berulah seperti ini. Mau sampai kapan Lavi dijadikan tumpuan? Kalau hanya sekali lalu sang ayah mene
aya
kuli di depannya pun, mun
ng itu menoleh, mata mereka bertemu di udara. Meski hanya sepersekian detik, Lavi tahu, sorot mata itu tak in
arnya berubah mencekam. Lavi sendiri tak lagi terlalu berani menatapnya, karena ada rasa
Urusan kalian b
Tapi tak ada satu pun yang ikut tertawa, justru menu
k tubuh Warto. "Cukup basa-basinya. Waktu gue
tara Lavi masih menampilkan ekspresi dingin. Memangnya uang itu dirinya pakai barang sek masuk akal. Memang preman berkedok rentenir ini harusnya mu
ng untuk bay