/0/23058/coverorgin.jpg?v=4c0ec1f46fbfddc72bcf6894813f78e9&imageMogr2/format/webp)
"Dek," panggilku kepada wanita yang kini tengah berada di dapur. Tidak bisa aku pungkiri, ada perasaan yang tidak nyaman menyeruak begitu saja. Ketika, mengingat kembali kejadian beberapa waktu lalu.
"Suf! Ibu minta uang!"
Suara teriakan ibuku, membuat perasan ini semakin tidak nyaman. Bagiamana bisa, wanita itu terus meminta uang kepadaku. Bukan ingin menjadi anak yang durhaka, tetapi istriku juga memerlukan uang. untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga kami.
"Aku belum gajihan, Bu," jawabku dengan nada pelan.
Terlihat sekali, raut tidak sukanya. Kini, dia beralih berbicara dengan istriku yang tengah sibuk memasak.
"Febri! Beri Ibu uang! Kamu, pasti punya simpanan 'kan?"
Namun, ada hal yang berbeda yang aku tanggap kali ini. Biasanya, istriku akan mengomel atau membalas dengan ucapan kasar kepada sang ibu.
Kali ini tidak, ada apa dengan wanita yang telah beberapa tahun ini menemaniku. Walaupun, aku pernah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Waktu itu, tetapi dia tidak bisa bersikap sedingin ini.
"Febri! Kamu gak budek, kan? Jangan jadi, menantu durhaka!" pekik ibuku.
Kata-kata yang selalu, dia sematkan kepada istriku adalah menantu durhaka. Bahkan, ibu sering kali mengadu–domba kami.
"Bu, jangan ribu-ribut. Ini masih pagi."
Aku pun tidak bisa menahan diri dan menegur wanita itu. Tentu saja, ibu tidak akan pernah menerimanya begitu saja.
"Yusuf! Ibu juga gak mau cari ribut! Ibu cuma minta uang! Masa, kalian bekerja. Tidak memiliki uang?"
Bukan masalah uang yang menjadi pekara, melainkan sikap ibu yang tidak pernah meminta dengan cara yang baik. Hal itu yang terkadang, membuat aku jengah dengan wanita yang telah melahirkanku di dunia ini.
"Mas, aku akan berangkat," ucap istriku tiba-tiba dan membuat aku berinsiatif untuk membantunya mengemas kota makanan kami.
"kalian gak boleh pergi! Sebelum ... memberi Ibu uang!"
Ibuku menghadang kami berdua, membuat aku hanya bisa membuang nafas panjang. Samapi kapan, wanita ini bisa mengerti. Jika, kami bukan anak kecil yang bisa diperlakukan seperti sekarang.
Biasanya istriku akan mengeluarkan, kata-kata kasar. Namun, saat ini. Aku melihatnya masih saja diam, seribu bahasa dan dia melewati ibu dengan begitu saja.
"Ferbi!" teriak ibuku, namun tidak digubris sama sekali oleh Febri. Istriku malah memeprcepat langakh kainya dan mmebuatku segra menyusul wanita itu. Meninggalkan umpatan kasar dari ibu.
"Dasar! Anak durhaka! Menantu durhaka! Kalian akan masuk neraka!"
Aku sedirkit meringis, mendengar kata-kata terakhir dari ibu. Mau bagaimana lagi, jika kami tidk pergi. Maka, dia akan semakin mendesak.
"Dek, kamu kenapa diam, saja?" tanyaku. Ketika, kami telah berada di atas motor. Aku masih bertanya-tanya, kenapa istriku hanya diam. Tidaka ada lagi keceriaan dan tingkahnya yang mmapu menenangkan hati ini.
"Dek," panggilku lagi. Namun, masih tidak ada jawaban dari wanita yang tengah aku bonceng. Hingga, kami telah memasuki area kantor. Aku meraih tangan Febri dan menatap dalam kearah mata wanita yang aku cintai.
"Kamu kenapa?" tanyaku pelan.
"Mas, kenapa menanyakan sesuatu yang sudah, Mas ketahui? Tidak bosankah?"
Aku agak terkejut dngan jawaban yang baru saja dia sampaikan, perasaanku tidak bisa dipungkiri. Jika, merasa agak terrtekan dengan kaliamt tersebut.
Namun, aku berusaha untuk menenangkan gejolak ini . Tidak mudah bagiku untuk mendapatkan lagi Febri Ayunda, istriku.
"Iya, Mas tahu. Maafkan ibu, ya?" terangku dengan senyuman. Akan tetapi, dia hanya menatap kearahku dengan tatapan dingin.
/0/13113/coverorgin.jpg?v=603d878cfe27a72adc41261c26c4094b&imageMogr2/format/webp)
/0/20067/coverorgin.jpg?v=ce8d2e081f4e44690efd5d5892534e67&imageMogr2/format/webp)
/0/5752/coverorgin.jpg?v=3719f8e9cf0fc50aa652c7fe17740b8d&imageMogr2/format/webp)
/0/13189/coverorgin.jpg?v=59c0e79f61800af594c3c89ea1290db5&imageMogr2/format/webp)
/0/10344/coverorgin.jpg?v=826acfb2dcf815c4d1b29170dd0a1274&imageMogr2/format/webp)
/0/15164/coverorgin.jpg?v=da1c97bebc64f1a6357e51fd511347e3&imageMogr2/format/webp)
/0/13070/coverorgin.jpg?v=956c28f2db34b6587c27c621746bec69&imageMogr2/format/webp)
/0/5278/coverorgin.jpg?v=8c99a0d62ab00316f0e8158283e52f2f&imageMogr2/format/webp)
/0/21861/coverorgin.jpg?v=0f4e65363e281e89be22227c20075f20&imageMogr2/format/webp)
/0/27133/coverorgin.jpg?v=a234caac6ad81c4ec9981831ae69d9b6&imageMogr2/format/webp)
/0/13940/coverorgin.jpg?v=2462ec44eb93b90203506e20b87dd19a&imageMogr2/format/webp)
/0/5554/coverorgin.jpg?v=ad658e7b04e0d7c2caba74d0b30b9683&imageMogr2/format/webp)
/0/16587/coverorgin.jpg?v=d6a1eb443b28ce89fe6806ee21a3d75a&imageMogr2/format/webp)
/0/27977/coverorgin.jpg?v=0968e8b5527c6f6ef206c7938937141a&imageMogr2/format/webp)
/0/14004/coverorgin.jpg?v=8a3915c664acd17c3f4819f3ef533ada&imageMogr2/format/webp)
/0/25077/coverorgin.jpg?v=dc071e5af099969a92897653b5c920ef&imageMogr2/format/webp)
/0/8125/coverorgin.jpg?v=5ad6f5ddf27985fb57a4bf580902103a&imageMogr2/format/webp)