/0/13690/coverorgin.jpg?v=34d407bff7def1b62c3b6d9da1a2d824&imageMogr2/format/webp)
PROLOG.
Gemi tak pernah menyakitiku, hanya saja aku yang terlalu berperasaan pada perempuanku. Aku mencintainya setulus jiwa, bahkan saat terakhir kali kita bertemu di tanah yang memisahkan kami. Aku sungguh mencintainya, meskipun Gemi berusaha menyingkirkannya. Hari-hariku bersama Gemi, akan selalu menjadi kenangan dan cerita untuk aku simpan seumur hidupku.
Untuk Gemi yang aku rindukan, dan untuk kenangan yang selalu teringat.
Kalimat mengharukan itu baru saja di bacakan oleh seorang pria yang tengah berpidato di sebuah makam. Makam yang di kelilingi pohon cemara. Juga makam yang di hadiri banyaknya pelayat.
Kemudian adegan beralih saat empat puluh tahun lalu. Saat Byan untuk pertama kalinya bertemu dengan Gemi. Saat cinta pada pandangan pertama mengubah jalan hidup keduanya.
***
Suatu hari di desa nelayan, seorang pria muda baru saja turun dari mobilnya. Ia menggotong koper besarnya menuju rumah kayu yang tak jauh dari pantai. Pria itu memandangi suasana senja di desa nelayan itu, dan mendengarkan nyanyian ombak yang menyambut kedatangannya. Pria itu tersenyum lebar seraya menarik nafas dalam-dalam, nampaknya pria itu akan tinggal di desa tersebut.
Sedangkan di tempat lain, terlihat seorang gadis yang sedang membuat kue cokelat. Gadis berambut lurus itu nampak fokus membentuk karakter kartun di atas cokelat yang sudah masak itu. Gadis dengan mata indah itu sepertinya begitu asyik melakukan hobinya. Ia mendengarkan musik karya Mozart di temani kucing kesayangannya.
Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil, dan gadis itu langsung mengintip dari jendela dapur. Ia melihat seorang pria berpakaian kasual baru saja pindah ke rumah di sampingnya.
Tetangga baru.
Kurang lebih seperti itulah arti tatapan Gemintang. Ia menyandarkan sikunya, sembari memperhatikan tetangga barunya itu.
Penampilan lelaki itu terlihat nakal, dengan rambut gondrong dan pakaian yang nampak memberontak. Juga lelaki itu membawa sebuah gitar, dan peralatan berkemah. Gemintang menilai kalau pria ini akan selalu membuat kebisingan di lingkungannya.
Malam harinya, Gemi keluar rumah seraya membawa beberapa bungkusan. Ia menuruni rumah kayunya itu, dan melihat tetangga barunya itu tengah merokok di dekat speed boat. Gemi menoleh ke sekelilingnya, memperhatikan bahwa tak ada siapapun selain pria itu di lingkungan itu.
Gemintang mencoba mengabaikannya, tapi pria itu berbalik menatapnya. Ia menurunkan batang rokoknya, dan menunduk menyapa Gemi. Pria itu tersenyum ramah, dan dengan praktis Gemi ikut tersenyum.
Gemi melenggang pergi setelah membalas sapaan tetangga barunya yang bergaya kekotaan itu. Dan berjalan mengunjungi sebuah rumah.
“Selamat malam!” serunya.
Dua orang anak kecil langsung berlari menghampiri Gemi. Di tengah redupnya desa pesisir pantai, dan suara ombak yang bernyanyi setiap saat, Gemi dan kedua bocah itu duduk di atas pasir beralaskan tikar.
“Tante! Minggu depan kami akan pindah,” ucap salah satu bocah.
“Pindah? Ke mana?” tanya Gemi terkejut.
“Ke kota, ayah bilang kita akan pindah.”
Gemi menoleh ke arah kedua orang tua anak itu, dan Ibu muda itu hanya tersenyum tipis. Gemi beranjak dari duduknya, lalu berjalan menghampiri.
“Apa benar, Kakak akan pindah? Kenapa aku tidak diberi tahu?” protes Gemi.
Rupanya Ibu muda itu adalah kakak Gemi, dan sudah lama Gemi mengikuti kakaknya yang tinggal di desa nelayan. Karena kedua orang tua Gemi telah tiada, jadi gadis itu selalu ingin mengikuti kakaknya kemana pun.
“Gem ... Ayahnya anak-anak tidak mendapat pekerjaan yang begitu bagus. Namun, dia adalah laki-laki yang bertanggung jawab. Jadi, dia akan berusaha menafkahi kami. Sayangnya, kami tidak bisa membawamu.”
Gemi mendengarkan dengan sakit hati. Kakaknya itu enggan membawanya pindah, apa Kakaknya itu menganggap Gemi adalah beban hidup?
“Bukan seperti yang kamu pikirkan, Gem. Kamu sudah mendapat pekerjaan bagus di sini. Toh, kamu juga bisa sering mengunjungi si kembar kalau kamu mau. Jika ikut dengan kami, kakak takut tidak bisa membiayai kebutuhan keluarga,” lanjutnya.
“Baiklah, aku mengerti. Umurku sudah dua puluh lima tahun, Kak. Aku bisa hidup mandiri, tapi aku mohon pada kakak. Kabari aku apapun yang terjadi,” kata Gemi.
Kakak Gemi pun mengangguk, dan lekas memeluk adiknya itu.
Tiga hari sudah berlalu, Gemi yang sedih akan di tinggal keponakan dan kakaknya itu hanya bisa melamun di teras rumahnya. Sepanjang hari yang ia lakukan hanya bekerja, memasak, bermain dengan kucingnya, lalu melamun. Tak ada sesuatu yang spesial yang benar-benar membuatnya sibuk. Ia merasa bosan, dan rasa menyebalkan itu kian bertambah saat mendengar kebisingan dari rumah di sampingnya. Tetangga barunya itu tengah membuat sesuatu dengan kayu-kayu dan perkakas, dan bisingnya musik rock, menambah parah keributan di kepalanya. Gemi menyipitkan tatapan matanya, dan menggigit kuku-kuku jarinya. Rasanya ia ingin menegur pria urakan itu.
“Hallo!” sapa pria itu saat melihat Gemi tengah memperhatikannya.
Gemi tersadar mendengar suara serak lelaki itu, ia menegakkan punggungnya, dan tersenyum ramah. “Hallo,” balasnya
Dengan senyum bodoh, Gemi beranjak dari kursinya dan berjalan masuk ke dalam rumah. Ia tidak tahu kalau rasanya begitu memalukan jika tidak berani mengungkapkan kemarahannya.
Hari berikutnya, masih seperti sebelumnya. Saat sore hari Gemi duduk di teras, dan memperhatikan keributan yang tengah di perbuat tetangga barunya. Pria itu nampaknya sedang membuat kursi, dan dengan penampilannya yang maskulin. Gemi merasa kalau pria ini ‘cukup tampan’.
Rambutnya yang gondrong, rahangnya yang terukir tegas, kulit sawo matang, otot yang terlatih, dan tinggi badan yang ideal. Gemi seketika merasa kalau pria itu benar-benar tipe laki-laki Ibu Kota. Keren, cenderung nakal.
/0/8616/coverorgin.jpg?v=1a6b3ce52aae0edc024e107b1e035e00&imageMogr2/format/webp)
/0/12408/coverorgin.jpg?v=1a6b984de99a57304818f0aef0c33d10&imageMogr2/format/webp)
/0/16480/coverorgin.jpg?v=c2a4789ab3ebf80e82d8cc0c7f799a53&imageMogr2/format/webp)
/0/29602/coverorgin.jpg?v=71621e3b74f1d78a00b625f787ef191e&imageMogr2/format/webp)
/0/16816/coverorgin.jpg?v=ca17449bdd183df58328c8a1b4cf6182&imageMogr2/format/webp)
/0/6245/coverorgin.jpg?v=d535072e2917cb94d84c979ae309cb58&imageMogr2/format/webp)
/0/2620/coverorgin.jpg?v=811f9380fe506339a94017ee43b9d326&imageMogr2/format/webp)
/0/10056/coverorgin.jpg?v=cb813d8920d599ee124d3e5a3aef71fa&imageMogr2/format/webp)
/0/18576/coverorgin.jpg?v=f39a89fbf7849eeef25333734d70477a&imageMogr2/format/webp)
/0/6474/coverorgin.jpg?v=8cca45b3e2dce31607a4371447c8d1c9&imageMogr2/format/webp)
/0/17785/coverorgin.jpg?v=86dde25f3ab3d9f218ff50cc775f2d06&imageMogr2/format/webp)
/0/2763/coverorgin.jpg?v=c13d98027b5c9cb99c3bf8ee58e4bfd6&imageMogr2/format/webp)
/0/6457/coverorgin.jpg?v=5dd8743fe501710526e667bea827bd10&imageMogr2/format/webp)
/0/8865/coverorgin.jpg?v=b0f251fb5677da3a58746637023c4f5e&imageMogr2/format/webp)
/0/8008/coverorgin.jpg?v=79ba6ad4827ba7e37efa1231190f6ccd&imageMogr2/format/webp)
/0/14092/coverorgin.jpg?v=20250123145806&imageMogr2/format/webp)
/0/28729/coverorgin.jpg?v=c633ef4c6b3b70c6acc2ffdbdfbb1bfa&imageMogr2/format/webp)
/0/16699/coverorgin.jpg?v=ef38da27c5b45f8a4b46710eefac8e7c&imageMogr2/format/webp)