/0/22562/coverorgin.jpg?v=79ad4da2ee8b4c1948bdf5f78f4c2217&imageMogr2/format/webp)
Lorong apartemen itu terasa panjang dan sepi. Lampunya redup, membuat suara langkah kami terdengar jelas. Aku berjalan sedikit lebih dekat ke Jo. Genggaman tangannya hangat dan stabil, membuatku merasa tenang. Tapi tetap saja, ada bagian dari diriku yang perlahan menegang—bukan karena takut, tapi karena aku baru benar-benar sadar apa yang sedang kupakai.
Kaus putih ini tipis dan ketat, sementara aku tidak memakai apa pun di dalamnya. Spontan, aku menarik rambut panjangku ke depan untuk menutupi bagian dadaku—walau tetap tidak bisa menutupi sepenuhnya. Setiap langkah yang sedikit memantul membuatku sadar bentuk tubuhku terlihat lebih jelas dari biasanya.
“Jo…” bisikku.
Ia langsung menoleh.
“Kenapa, Ra?”
Aku merapikan rambutku lagi, mencoba menutupi bagian yang paling membuatku gugup.
“Putingku kelihatan banget, nggak sih?” tanyaku pelan, lebih seperti gumaman panik.
Jo melihatku sebentar, bukan dengan tatapan aneh, tapi menilai situasi.
“Kelihatan kalau kamu nggak nyaman. Cuma itu. Bukan yang lain,” katanya tenang.
Aku menelan ludah.
“Tapi bajunya…”
Aku melirik kaus yang kupakai—tipis, dingin, dan terasa jujur di kulit. AC lorong menyentuh tubuhku dan mengingatkanku kalau aku tidak memakai apa pun di dalamnya. Rokku yang pendek juga tidak membantu.
Jo mencondongkan kepalanya sedikit.
“Rambutmu itu nutupin bagian dadamu kok. Dan kalau ada yang lihat terlalu lama…”
Ia berhenti sebentar, lalu menatapku mantap.
“Nanti aku tutupi. Kamu aman sama aku, Ra.”
Ucapan itu sederhana, tapi menenangkan.
Saat kami mendekati lift, aku sempat melihat pantulan kami di kaca lorong. Diriku yang tampil lebih berani dari biasanya, dan Jo yang terlihat tenang. Entah bagaimana, keberadaannya membuat semua ini terasa tidak terlalu menakutkan. Lift berbunyi dan pintunya terbuka. Kami masuk. Di dalam, cahaya pucat membuat pantulan kami terlihat jelas, dan melihat diriku sendiri membuat wajahku panas. Jo melihat pantulan itu juga.
“Ra,” katanya pelan, “kamu terlihat kuat.”
Aku mengerjap.
“Kuat?”
Jo bersandar pada dinding lift.
“Bukan karena bajunya.”
Ia menahan tatapanku.
“Tapi karena kamu berani jalan pakai itu dengan kepala tegak.”
Aku menunduk sambil tersenyum kecil. Rasa malu di dada berubah menjadi sesuatu yang lebih hangat—semacam keberanian yang masih baru buatku. Lift berhenti. Pintu terbuka, dan Jo mengulurkan tangan.
“Ayo.”
Satu kata sederhana, tapi terasa cukup membuatku siap. Aku menggenggam tangannya dan keluar bersamanya.
Udara dingin dari AC lobby terasa langsung menyapu kulitku. Sensasinya membuatku semakin sadar dengan pakaian yang kukenakan. Rasanya seperti semua gerakanku terlalu mudah untuk dilihat. Aku menarik napas, tapi langkahku otomatis mengecil karena rasa canggung itu.
Beberapa pria yang lewat melirik tubuhku. Mungkin memang bukan bermaksud buruk, tapi cukup untuk membuatku sadar kalau tampilanku memang mencolok. Aku meremas ujung kausku tanpa sadar.
“Jo…” bisikku, mendekat sedikit.
“Aku merasa… dilihatin.”
Jo langsung fokus padaku.
“Kamu nggak ngapa-ngapain,” katanya tenang.
“Mereka cuma lihat sekilas. Itu normal kok.”
Aku menggeleng kecil.
“Tapi… kayaknya mereka lihat yang…”
Aku tidak menyelesaikannya, tapi Jo mengerti. Ia semakin mendekat, sehingga bahuku menyentuh lengannya.
“Aku di sini, Ra. Mereka cuma lihat sebentar, habis itu selesai.”
Ia menatap wajahku, bukan tubuhku.
“Yang penting kamu aman.”
Aku menghembuskan napas. Rasa malunya masih ada, tapi telah berubah menjadi kesadaran baru—sensasi yang membuat tubuh terasa lebih peka. Dan entah kenapa, berada dekat Jo membuat itu terasa bisa dihadapi.
Kami berjalan menuju pintu kaca. Jo menggenggam tanganku lagi, cukup kuat untuk memberi rasa aman. Setiap kali aku merasa ada tatapan, Jo sedikit mendekat—seperti tahu kapan aku butuh perlindungan.
“Aku kelihatan aneh nggak?” tanyaku pelan.
“Nggak,” jawab Jo spontan.
“Kamu kelihatan cantik. Berani. Dan… kamu nggak sendirian.”
Pintu otomatis terbuka, angin luar menyapa kami. Jo menekan tanganku, memberi isyarat untuk melangkah. Dan akhirnya, untuk pertama kalinya sejak tadi, aku mengangguk tanpa ragu.
Begitu aku dan Jo keluar dari lobi, udara sore yang lembap langsung terasa, meski sedikit lebih menenangkan. Jo masih menggenggam tanganku sambil memeriksa kendaraan online yang sudah ia pesan sejak tadi.
Tidak lama kemudian, sebuah mobil putih berhenti di depan gedung. Jendela depan turun perlahan.
“Pesanan atas nama Jo?” tanya driver dengan nada datar tapi sopan.
“Iya, Pak,” jawab Jo.
“Silakan masuk.”
Jo mengangguk pelan dan melepaskan tanganku untuk membukakan pintu belakang. Saat pintunya terbuka, driver sempat melihatku—tatapannya tetap sopan, tapi aku bisa menangkap ada sedikit keterkejutan darinya. Mungkin karena penampilanku yang terlihat sangat seksi.
Aku langsung merasa canggung. Tanganku refleks merapikan rambutku, seakan itu cukup untuk membuatku lebih tertutup. Jo melihat gerakanku dan memiringkan tubuhnya sedikit ke arahku.
“Tenang.”
Satu kata itu saja cukup membuatku menarik napas lebih stabil.
“Silakan masuk, Mas, Mbak,” kata driver dari balik kemudi.
Begitu aku masuk ke dalam mobil, aku membungkuk sedikit. Dari sudut mataku, aku melihat driver itu sempat terdiam. Saat itu aku tahu dia melihat sesuatu—bukan karena aku mau, tapi karena posisi membungkukku membuat pakaianku terlihat lebih terbuka dari yang kuharapkan. Wajahku langsung panas. Aku cepat duduk dan menarik rambutku ke depan untuk menutupinya, berharap itu cukup.
Jo masuk dari sisi lain dan duduk di ujung kursi. Ia menepuk tempat di sebelahnya, memberi tanda agar aku mendekat. Aku mengikutinya dan bergeser ke tengah. Posisi itu membuat driver bisa melihatku lebih jelas lewat spion, dan rasa canggungku muncul lagi.
Beberapa detik aku hanya diam sambil memegang ujung rok, mencoba menenangkan diri. Driver sesekali melirik spion. Mungkin hanya untuk memastikan jalan, tapi setiap ada gerakan, tubuhku langsung menegang. Jo menyadari itu. Ia duduk sedikit lebih dekat, dan kehadirannya terasa seperti pelindung.
“Aku di sini, Ra,” katanya pelan.
“Kalau kamu nggak nyaman, bilang ya.”
Aku mengangguk, pipiku masih panas. Tapi ada rasa hangat yang muncul—bukan hanya malu atau gugup. Rasanya seperti dihargai dan diperhatikan dengan cara yang baik, berbeda dari tatapan orang asing.
Perasaan itu membuatku cukup berani untuk mengangkat wajah dan melihat keluar jendela. AC dingin masih membuatku agak canggung, tapi aku lebih tenang. Karena Jo ada di sini. Di sampingku. Selama perjalanan ini.
Mobil sudah berjalan beberapa menit. Aku mencoba duduk tenang, tapi rasa canggung dari tadi belum hilang. Kausku terasa di kulit, dan aku beberapa kali merapikan rambut agar tetap menutupi bagian depan tubuhku.
Jo duduk di sampingku—lebih dekat dari sebelumnya. Aku bisa merasakan hangat tubuhnya meski dia belum menyentuhku. Tiba-tiba Jo sedikit mencondongkan tubuh dan berbisik pelan,
“Ra… kamu masih tegang?”
Aku menggigit bibir.
“Sedikit,” jawabku pelan.
Jo tersenyum—senyum yang biasanya muncul saat dia mulai iseng. Tangannya bergeser perlahan ke arahku, terlihat seperti gerakan biasa… sampai akhirnya menyentuh pahaku yang tidak tertutupi sempurna oleh rok. Sentuhannya ringan. Tapi karena titik itu peka, efeknya langsung terasa, membuatku sedikit terkejut.
“Jo…” bisikku, gugup.
Tatapannya nakal tapi tetap lembut.
“Kaget?”
Aku tidak menjawab; wajahku sudah panas. Mobil terus melaju, dan driver tampaknya tidak memperhatikan kami karena fokus menyetir. Namun rasanya seperti dunia mengecil, menyisakan hanya kursi belakang ini.
Jo menggeser jarinya—masih di area yang sama, tapi perlahan naik lebih tinggi hingga menyentuh vaginaku. Gerakannya halus dan tidak mencolok, tapi cukup dekat, cukup intens, sampai membuat napasku sulit teratur.
Aku menahan suara, tanganku refleks meremas rokku.
“Jo… jangan di sini…” suaraku hampir tidak terdengar.
Jo tersenyum tipis, seperti menikmati reaksi kecilku.
“Kalau kamu nggak mau, aku berhenti,” katanya pelan.
Nada suaranya benar-benar menawarkan pilihan, bukan memaksa.
Aku menutup mata sebentar, mencoba berpikir. Tapi tubuhku justru bereaksi lebih dulu. Bukannya menjauh, aku malah sedikit condong ke arahnya—gerakan kecil yang bahkan aku sendiri hampir tidak sadar.
Jo memperhatikan itu.
“Ra…” suaranya berbisik di telingaku, rendah, dan hangat.
“Boleh aku lanjut… pelan-pelan kok?”
Aku menelan ludah, wajahku terasa panas. Aku tahu aku bisa bilang “tidak” kapan saja. Tapi sentuhan tadi—yang halus dan hati-hati—membuat dadaku berdebar sampai sulit menolak. Aku lalu mengangguk kecil.
Jo menyentuh sisi itu lagi—lebih pelan daripada sebelumnya. Rasanya seperti ada kehangatan yang menjalar, bukan sesuatu yang berlebihan, hanya cukup untuk membuat tubuhku menegang karena terlalu sensitif.
Aku menutup mulut dengan tangan supaya tidak mengeluarkan suara desahan yang bisa terdengar oleh driver. Jo sedikit mendekat, membuat bahuku bersentuhan dengan tubuhnya.
“Kamu gemeteran,” bisiknya.
“Aku… nggak bisa ngontrol,” bisikku.
Jo menahan tawa kecil, jelas menikmati reaksi yang bahkan aku sendiri tidak bisa sembunyikan.
“Tapi kamu suka?”
Aku mengangguk pelan.
Ia menggerakkan jarinya lagi—sedikit saja—tapi cukup membuatku menggigit bibir dan bernapas pendek.
“Aku suka lihat kamu bereaksi kayak gini,” katanya pelan di dekat telingaku.
Aku menggenggam rokkku lebih kuat. Tubuhku terasa panas meski AC mobil dingin.
“Jo… jangan ngomong gitu…” suaraku bergetar.
“Kenapa? Kamu makin manis kalau malu,” katanya sambil tersenyun nakal, jelas untuk menggodaku.
Jo berhenti sebentar supaya aku bisa menarik napas. Tangannya diam di vaginaku—dan meski tidak bergerak, sentuhan itu saja sudah cukup membuatku sulit duduk tenang. Mobil terus melaju, driver tetap tidak menyadari apa pun. Dan aku… duduk di samping Jo, yang sekarang menatapku dengan tatapan yang intens.
“Kalau kamu enggak mau, aku bakal berhenti,” ulangnya pelan.
Aku menatapnya lama. Malu, panas, tapi juga… nyaman.
“Jo… jangan dulu berhenti,” bisikku akhirnya.
Dan senyum Jo langsung melebar. Senyum itu membuat dadaku berdebar. Bukan karena dia ingin mendorong situasi, tapi karena cara dia menatapku—yakin, tenang, dan seolah memahami apa yang sedang kurasakan.
Mobil terus melaju. AC tetap dingin, tapi tubuhku justru terasa lebih hangat. Bukan hangat yang berlebihan… lebih seperti gugup yang sulit kusimpan sendiri. Sentuhan Jo tadi masih menempel di kulitku, meski sekarang dia tidak melakukan apa-apa. Tangannya hanya diam di bibir bawahku—tidak menekan, tidak bergerak—tapi keberadaannya saja sudah cukup membuatku sulit duduk tenang.
“Kalau terlalu nggak nyaman, bilang aku,” katanya pelan, suaranya rendah tapi lembut.
Aku mengangguk kecil.
/0/30327/coverorgin.jpg?v=2f53aa4a3e073da83e340eaa2b736e35&imageMogr2/format/webp)
/0/4852/coverorgin.jpg?v=20250121182808&imageMogr2/format/webp)
/0/29932/coverorgin.jpg?v=20251203185417&imageMogr2/format/webp)
/0/10800/coverorgin.jpg?v=46102e57a65da64192570e5e5b5a8f1b&imageMogr2/format/webp)
/0/10735/coverorgin.jpg?v=daff08e7c5224ed31b5ec8a358cb4f49&imageMogr2/format/webp)
/0/13767/coverorgin.jpg?v=e28ddbc0c6335d6ecec8daef7912f06c&imageMogr2/format/webp)
/0/12868/coverorgin.jpg?v=2c8e7ed0da8d45a26b29119e4de6d01a&imageMogr2/format/webp)
/0/15126/coverorgin.jpg?v=3a995cbe5ea1f22ba4cc08577ec6dd32&imageMogr2/format/webp)
/0/12760/coverorgin.jpg?v=5fbda0a58e6c4dbafe7cc37130c26aea&imageMogr2/format/webp)
/0/13079/coverorgin.jpg?v=a6c06b631419545580a4e017d8a460e5&imageMogr2/format/webp)
/0/20513/coverorgin.jpg?v=4e99c7b3cee02d796cd9844c1bcb0cb8&imageMogr2/format/webp)
/0/7540/coverorgin.jpg?v=64ba578be9dfd13513fb31866dbcd0fd&imageMogr2/format/webp)