Rara Series - Jerat Tanpa Tali

Rara Series - Jerat Tanpa Tali

Karya Tulis Jo

5.0
Komentar
1
Penayangan
13
Bab

(Lanjutan dari Rara Series - Kali Pertama.) Dalam hidup, ada kalanya seseorang tersesat bukan karena kehilangan arah, melainkan karena terlalu dalam mencari makna dari rasa yang tak pernah ia mengerti. Jerat Tanpa Tali adalah kisah tentang pencarian diri di tengah batas antara cinta, kendali, dan kepasrahan. Rara, seorang perempuan muda yang terjebak dalam hubungan rumit dengan dua orang terdekatnya-Jo dan Centia-harus menghadapi kenyataan bahwa tidak semua bentuk kasih datang dalam wujud yang lembut. Dalam kebingungan antara keinginan, penyesalan, dan rasa ingin dimiliki, ia perlahan belajar memahami dirinya sendiri: apa arti kebebasan, dan sejauh mana seseorang rela menyerahkan kendali atas hidupnya. Melalui kisah yang intens dan penuh emosi ini, pembaca diajak menyelami sisi kelam dari relasi manusia-bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memahami betapa rapuhnya garis antara cinta dan kuasa, antara pilihan dan penyerahan.

Bab 1 Sabtu, 12 Oktober 2024

Aku terbangun ketika cahaya matahari pagi menembus celah tirai yang tidak tertutup rapat. Sekilas aku terkejut-tubuhku terasa dingin, dan aku baru sadar kalau aku masih telanjang, hanya tertutupi selimut tipis.

Ruangan itu berbau samar, campuran antara pengharum dan keringat. Untuk beberapa detik, aku tidak yakin apakah masih bermimpi atau sudah bangun. Sprei terasa dingin, dan udara di kamar apartemen begitu pengap, seolah menyimpan sesuatu yang ingin kulupakan.

Aku tetap berbaring di ranjang, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Ingatan itu muncul perlahan- kabur, tapi cukup menyakitkan. Aku ingat bagaimana Jo, temanku, mengambil keperawananku, sementara Centia, sahabatku, merekam semuanya dengan ponselnya.

"Ahh... ahhhh... ahh... ahhh..."

Aku menoleh. Di ujung ranjang, dua sosok bergerak pelan. Suara napas dan desahan terdengar jelas di telingaku. Aku ingin memejamkan mata, tapi tubuhku tak mau bergerak. Aku hanya bisa diam, kaku, tak tahu harus merasa apa-takut, marah, atau kosong.

Jo tidak menoleh sedikitpun. Centia pun tidak sadar aku sudah bangun. Aku merasa seperti benda di ruangan ini-ada, tapi tidak dianggap. Aku ingin marah, tapi tidak tahu kepada siapa. Kepada mereka? Diriku sendiri? Atau malam kemarin yang sudah terlanjur terjadi?

Tanganku menggenggam seprai erat, seolah bisa menahan dunia agar tidak terus berputar. Tapi udara tetap terus bergerak, membawa aroma yang ingin kulupakan. Aku sadar-hari itu adalah hari setelah kali pertamaku. Dan entah kenapa, rasanya seperti hidup di tubuh yang bukan milikku.

Tubuhku kaku, napasku berat. Mereka berdua masih sibuk dengan dunia mereka sendiri. Suara pelan itu membuat dadaku berdebar, bukan karena ingin tahu, tapi karena ingin lari. Aku ingin bangkit, tapi tubuhku seperti tertahan oleh sesuatu yang tak terlihat. Rasa sesak itu menekan dadaku, membuatku sulit bernapas.

Jo perlahan menoleh. Tatapannya bertemu dengan mataku. Tidak ada rasa bersalah di sana-hanya senyum kecil dan dingin, seperti semua ini memang sudah direncanakan dari awal.

"Eh, udah bangun ya?" tanyanya pelan, tanpa menghentikan gerakannya menggenjot vagina Centia.

Aku tidak menjawab. Mataku terpaku pada mereka-pemandangan yang seharusnya tidak ingin kulihat. Centia sempat menoleh, rambutnya berantakan, wajahnya sulit dibaca. Ia tersenyum tipis-bukan menyesal, bukan minta maaf, lebih seperti senyum yang akrab tapi membuat dadaku terasa sesak.

Ruangan terasa sempit. Aku ingin berpaling, tapi tubuhku rasanya kaku. Jo dan Centia tampak tetap tidak peduli dengan kehadiranku. Suara napas dan gerakan mereka memenuhi ruangan, membuatku sulit bernapas.

Mereka terus larut dalam dunia mereka sendiri, seolah aku tidak ada. Rasanya seperti menonton adegan film, tapi aku ada di dalamnya. Aku ingin menutup telinga saat desahan Centia makin keras, tapi tetap tidak bisa. Aku hanya diam, terjebak dalam situasi yang tak bisa kuubah.

Aku masih menatap mereka tanpa benar-benar ingin. Tubuhku terasa asing-dingin dan kaku. Dadaku sesak, bukan karena cemburu, tapi karena perasaan aneh yang sulit dijelaskan: campuran antara sakit, kehilangan kendali, dan entah kenapa ada sedikit rasa tertarik yang membuatku takut.

Jo kembali menatapku. Senyumnya melebar-seolah tahu isi kepalaku.

"Kenapa cuma diam aja?" bisiknya pelan, suaranya serak.

"Kamu juga bagian dari semua ini."

Centia ikut menatapku, pandangannya tak bisa kutebak-antara ajakan dan tantangan.

"Iya," katanya dengan napas berat.

"Kenapa kamu nggak gabung aja?"

Waktu terasa berhenti. Kata-kata mereka terus terngiang di kepalaku, membuat pikiranku jadi kacau balau. Ada sesuatu di balik tatapan mereka-sesuatu yang membuatku ingin kabur, tapi juga tertahan di tempat.

Mereka benar-benar menginginkan aku ikut. Bukan sebagai korban, tapi sebagai bagian dari sesuatu yang belum kumengerti sepenuhnya. Tatapan mereka terasa seperti ajakan dari sisi gelap: menggoda, menakutkan, dan sulit ditolak. Aku bisa merasakannya, seperti tarikan halus yang samar tapi kuat.

Tubuhku masih terasa asing, pikiranku berantakan. Tapi saat Centia menatapku dan Jo tersenyum seolah semuanya sudah ditakdirkan, ada sesuatu di dalam diriku yang ikut bergetar. Bukan takut, bukan marah- melainkan panas yang aneh.

"Ahh... Enakk... Jo."

Suara desah mereka memenuhi ruangan, seperti bunyi yang tidak bisa kuhentikan. Setiap gerakan, setiap napas terasa mengundang. Aku menelan ludah, jemariku masih mencengkeram erat seprai yang basah oleh keringat. Tapi perlahan... aku mulai merasakan hal yang sama.

"Kamu tahu..." ujar Jo pelan. Tangannya bergerak ke leher Centia, lembut tapi jelas menunjukkan kendali.

"...nggak usah pura-pura cuek. Semalam aja udah kelihatan-kamu suka waktu aku nyentuh kamu."

Dadaku terasa sesak, bukan hanya karena udara yang pengap, tapi juga karena kenangan itu-hangat tubuhnya yang menyentuhku untuk pertama kalinya, bisikan lembut di telingaku yang mengguncang seluruh tubuh, dan setiap perlakuannya pada vaginaku yang membawaku pada puncak kenikmatan.

Tanpa sadar aku mulai bergeser. Tubuhku seperti bergerak sendiri, sementara pikiranku tertinggal. Jantungku berdebar keras-bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang sulit dijelaskan, dan tidak bisa kukendalikan. Tatapan mereka membuatku terpaku, seolah menarikku dan tak membiarkan pergi. Dalam sekejap aku sadar... aku sudah terlalu jauh untuk mundur.

Aku merayap ke arah mereka berdua. Seprai terasa lembap dan dingin di lututku. Tidak ada kata yang terucap. Hanya Jo dengan aura tegasnya, dan Centia dengan senyum menantang yang membuat darahku berdesir.

Centia mengulurkan tangan, seolah memberi isyarat. Aku tak menolak saat jemariku menyentuh tangannya. Dunia mungkin akan berubah besok, tapi hari itu aku memilih untuk larut bersama mereka-dan bersama hasrat yang tak bisa lagi kutahan. Napas­ku terengah saat jemariku bersentuhan dengan jarinya.

Centia menarikku mendekat dengan senyum penuh arti, sementara Jo menatap kami dalam diam-tatapan yang membuatku tahu aku takkan pergi ke mana pun lagi.

"Welcome back," bisiknya serak.

Tangan Jo melingkar erat di pinggang Centia, mengingatkanku bahwa dialah yang masih memegang kendali. Aku tak menjawab, tapi tubuhku sudah bicara lebih keras daripada kata-kata.

Perlahan aku menunduk dan mencium bibir Centia. Dunia terasa berhenti sejenak. Rasanya aneh, tapi juga terasa benar-seperti menemukan sesuatu yang selama ini tak kusadari telah aku cari. Jo tertawa pelan.

"Wah, aku nggak nyangka kamu seberani itu."

Aku hanya tersenyum di tengah ciuman itu. Untuk pertama kalinya hari itu, aku merasa benar-benar hidup.

Aku tak tahu berapa lama kami berciuman. Waktu terasa melambat, napas kami menyatu, dan setiap sentuhan terasa semakin dalam. Centia sempat menatapku sebelum kembali memejamkan mata, seperti menikmati setiap detiknya. Tangannya melingkar di leherku, menarikku lebih dekat.

Jo memperhatikan kami dalam diam, matanya penuh kendali. Ia tidak bicara lagi, tapi gerakannya semakin cepat dan kuat. Tubuh Centia bergoyang di antara kami: dikuasai oleh gerakan Jo, tapi juga memegangku erat. Desahannya memenuhi ruangan, menyebut nama kami berdua dengan suara serak yang membuatku bergetar.

"Jo... Raa... aku... aku udah nggak kuat lagi..." bisik Centia dengan suara bergetar tapi tulus.

Centia menarik napas panjang, hampir seperti menahan rintihan.

"Udah, lepas aja, Cent," kataku pelan sambil tetap memegang tangannya.

Dia membuka mata sebentar, menatapku dengan pandangan basah yang sulit dijelaskan.

"Ahh... aku udah nggak kuat lagi... aku mau keluar," ujarnya pelan, suaranya hampir pecah.

Tubuh Centia menegang di antara kami. Napasnya berat, matanya terpejam, seolah waktu berhenti menunggu detik itu lewat. Tatapannya mengarah ke langit-langit, pupilnya bergetar dalam cahaya redup. Suara napasnya pecah-bukan karena lelah, tapi karena sesuatu yang tak bisa lagi ia tahan.

Jo menatapku sejenak sebelum kembali melihat ke arah Centia. Ada semacam pengertian di antara kami- bahwa momen ini bukan tentang siapa yang berkuasa, tapi tentang bagaimana kami saling membuka diri.

Sekarang hanya ada kami bertiga, terengah setelah momen itu berlalu. Aku menatap Centia; wajahnya tampak tenang diterpa cahaya lembut, tubuhnya terbaring pasrah dalam sisa hangat yang masih terasa.

Jo menarik napas dalam, lalu perlahan menarik penisnya dari Centia. Begitu Jo bergerak menjauh, tubuh Centia kehilangan tumpuan dan jatuh tengkurap. Ia berguling pelan sebelum akhirnya berbaring menatap langit-langit. Gerakannya lemah tapi terlihat alami, seolah tubuhnya benar-benar kehabisan tenaga.

Aku menatap Jo. Jantungku masih berdebar keras, dan udara di ruangan terasa berat-seperti menyimpan sesuatu yang belum selesai. Jo tersenyum tipis. Tatapannya samar tapi tajam. Ia menyentuh bibirnya dengan punggung tangan, lalu mendekat perlahan, seperti pemangsa yang tahu mangsanya sudah tidak bisa lari.

"Kamu..." bisiknya pelan, jemarinya menyentuh daguku dan mengangkat wajahku agar menatapnya langsung.

"...tadi diam aja. Tapi matamu nggak bohong."

Aku menahan napas saat ujung jarinya turun perlahan ke leherku.

"Kamu suka lihat aku main sama dia tadi."

Centia terbaring diam, napasnya sudah lebih tenang tapi masih berat. Ia membuka satu mata, seperti penonton yang enggan pergi dari sebuah pertunjukan, lalu tersenyum kecil. Aku tidak berkata apa-apa. Aku hanya menatap Jo dalam diam, dada terasa sesak tanpa tahu kenapa. Aku tidak bisa membantah apa yang dia katakan.

Tatapannya tetap menempel di wajahku saat tangannya perlahan turun dari leher ke dada, lalu ke perut. Sentuhannya membuat jantungku berdetak cepat. Aku tidak bergerak, hanya menerima setiap gerakannya.

Jo melirik ke wajahku sebelum tangannya turun ke pahaku. Aku tidak bisa menahan napas ketika tangannya menyentuh kulitku. Aku berkedip cepat. Dia seperti mengerti, karena sebuah senyum muncul di wajahnya.

"Kamu suka ini..." bisiknya pelan, tangannya bergerak naik sedikit.

"Kamu cuma pura-pura kaget. Padahal matamu bilang hal lain."

Aku menahan napas. Centia masih berbaring, matanya setengah tertutup dengan senyum kecil di bibirnya- seolah tahu aku tidak bisa menyembunyikan apa pun. Jo tiba-tiba menarikku mendekat hingga tubuh kami hampir menempel. Hangat kulitnya terasa jelas di kulitku.

"Ngaku aja," bisiknya di telingaku, napasnya terasa di leher.

"Kamu udah pengen dari tadi... sejak bangun."

Entah kenapa, kali ini aku tidak mau membantah. Aku tidak tahu bagaimana Jo bisa tahu apa yang kurasakan. Aku ingin menyangkal, tapi tidak bisa menggerakkan tubuhku.

Tangan Jo kembali bergerak naik di pahaku. Aku tetap diam, membiarkan sentuhannya yang membuatku semakin gugup. Aku tidak bisa menolak, tapi juga tidak tahu harus bagaimana. Jo tertawa kecil, seolah paham isi kepalaku. Gerakannya tetap lembut tapi terasa tegas, membuat dadaku berdebar lebih cepat.

"Aku udah tahu kok," katanya, menatapku tajam.

"Aku tahu lebih banyak dari yang kamu kira."

Entah kenapa, aku tahu Jo tidak salah. Jo kemudian tertawa pendek. Tangannya bergerak ke pinggangku dan menarikku ke pelukannya-hangat dan kuat.

"Sekarang giliranmu," bisiknya.

Suaranya tenang, tapi jelas bukan ajakan-itu perintah.

Aku tidak menjawab, tapi tubuhku sudah lebih dulu bereaksi. Suasana hening terasa aneh-campuran antara canggung dan tegang. Aku hanya mengangguk, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Wah, nggak nyangka kamu langsung nurut," katanya santai, tapi nadanya tetap menggoda.

Ia memberiku seringai kecil-antara mengejek dan menantang.

"Tunggu sebentar, ya," bisiknya.

Aku tidak sepenuhnya mengerti maksudnya, tapi aku tetap menurut. Ruangan terasa padat, dipenuhi oleh gairah sekaligus misteri. Aku tidak tahu apa yang Jo rencanakan, tapi tubuhku sudah siap.

Centia masih terbaring di ranjang, wajahnya menoleh ke arahku. Matanya masih terbuka, meski tampak lelah. Di bawah cahaya lampu, ia terlihat sedikit berbeda-bukan lagi penuh gairah, melainkan tenang dan rapuh. Aku ingin bicara, tapi bibirku hanya mampu membentuk senyum tipis.

Aku melihat Jo bergerak pelan menuju meja. Ia membuka laci di bawahnya, tangannya meraba seolah sedang mencari sesuatu dengan hati-hati. Beberapa detik kemudian, ia mengeluarkan sebuah benda dan kembali menghampiriku dengan membawa kotak kecil di tangan kirinya.

Dari tempatku duduk, aku tidak bisa melihat benda itu dengan jelas, tapi aku mendengar suara lembut saat Jo meletakkannya di atas kasur dan duduk di depanku. Ia membuka kotak kecil itu perlahan. Di dalamnya ada gelang kulit hitam dengan inisial JO di bagian dalam-tipis tapi tampak kuat.

Sekilas aku sadar, gelang itu sama seperti yang dipakai Centia. Aku menatapnya, sementara Jo cuma tersenyum.

"Pernah punya tuan?" tanyanya pelan.

Aku mengerutkan kening, belum paham maksudnya.

"Maksudmu... punya tuan gimana?" tanyaku ragu.

Jemarinya menyentuh pergelangan tanganku, membuat bulu kudukku berdiri. Ia mendekatkan gelang itu ke tanganku, belum memakaikannya-hanya menempelkan di kulitku.

"Kalau kamu pakai ini," bisiknya, "mulai saat itu kamu bukan milikmu sendiri lagi... aku yang jadi tuanmu."

Aku menahan napas. Tatapan matanya terlalu dalam, seolah menembus pertahanan yang selama ini kujaga. Gelang itu terasa dingin di kulitku, tapi sentuhan jarinya justru terasa panas.

"Tuan...?"

Aku mengulang kata itu pelan, mencoba memahami artinya. Kedengarannya aneh, tapi entah kenapa membuat pikiranku kacau dan dadaku bergetar.

Centia masih diam, tapi aku tahu dia mendengar. Ia tersenyum tipis, seperti menyimpan rahasia yang tidak akan dibocorkannya. Jo mendekatkan wajahnya hingga hampir menyentuh bibirku, tapi tidak benar-benar mencium. Ia hanya menghembuskan napas pelan di depan mulutku, membuat darahku berdesir.

"Kamu udah kasih keperawananmu padaku semalam," bisiknya lembut.

"Sekarang tinggal satu langkah lagi... biarin aku ambil semuanya darimu."

Jemarinya mendorong gelang itu sedikit lebih masuk ke pergelangan tanganku-belum sampai terkunci. Tapi aku tahu, jika aku membiarkannya terpasang, aku tidak bisa berpura-pura belum mengenal dunia ini lagi.

Centia perlahan duduk di belakang kami. Napasnya masih berat, tapi matanya tak lepas dariku-seolah ingin tahu apakah aku akan menolak atau menyerah. Aku terdiam. Dunia terasa hening. Hanya ada tiga detak jantung yang berpacu dalam diam, dan satu pilihan: menolak... atau membiarkan diriku jatuh lebih dalam.

Tatapanku masih tertuju pada gelang itu-sebuah simbol yang terasa begitu kuat, seperti lambang pengabdian. Aku tahu apa yang akan terjadi jika aku memakainya. Aku tahu apa yang akan kuberikan, dan apa yang akan kudapat sebagai gantinya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menyadari akan apa yang kuinginkan.

Aku berdeham, mencoba mengusir rasa kering di tenggorokan, lalu mengangguk pelan.

Senyum Jo melebar, penuh kepuasan. Ia meraih gelang itu dan melingkarkannya di pergelangan tangan kiriku. Tarikannya pas-cukup erat agar tak mudah lepas, tapi tidak sampai menyakitkan.

Aku melirik ke arah Centia. Ia hanya mengangguk, dan dari tatapannya aku tahu apa artinya.

Seperti dirinya, aku telah menyerahkan segalanya. Kini aku sepenuhnya milik Jo. Dan dia... adalah tuanku.

"Mulai sekarang," katanya pelan, "setiap kali aku nyuruh sesuatu, kamu jawab 'ya, tuan', ngerti?"

Aku menelan ludah dan menjawab pelan, "...Ya, tuan."

Tubuhku bereaksi-bukan karena takut, tapi karena lega. Seolah aku akhirnya tahu tempatku.

Jo menatapku dalam, matanya tajam tapi tenang. Ia mengusap bibir bawahku dengan ibu jarinya, lalu berbisik,

"Welcome... ini dunia kita yang sebenarnya."

Aku hanya bisa mengerjap, seolah baru menyadari apa yang benar-benar terjadi. Kini aku bukan lagi milikku sendiri, melainkan miliknya-Jo, tuanku. Aku tidak tahu apa yang menanti di depan, tapi aku tahu aku siap untuk menerimanya. Aku menarik napas panjang yang terasa lebih ringan, lalu berkata pelan,

"Ya, Tuan."

"Bagus," ucapnya lembut, senyum tipis muncul di sudut bibirnya.

Saat itu, hatiku terasa hangat-campuran antara takut, lega, dan sesuatu yang sulit dijelaskan. Seolah aku baru saja menemukan tempatku di dunia. Untuk pertama kalinya, aku tidak merasa kosong. Semua yang terjadi, seaneh apa pun, justru membuatku merasa utuh untuk pertama kalinya dalam hidup.

Aku menunduk sebentar, membiarkan keheningan menyelimuti. Suara napas kami bertiga terasa seperti denyut yang sama, berpadu dalam ritme yang menenangkan. Untuk sesaat, aku tak lagi memikirkan benar atau salah, hanya merasa bahwa inilah awal dari sesuatu yang baru-sesuatu yang mungkin tak bisa dipahami oleh siapa pun di luar ruangan ini.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Gairah Liar Perselingkuhan

Gairah Liar Perselingkuhan

kodav
5.0

Kaindra, seorang pria ambisius yang menikah dengan Tanika, putri tunggal pengusaha kaya raya, menjalani kehidupan pernikahan yang dari luar terlihat sempurna. Namun, di balik semua kemewahan itu, pernikahan mereka retak tanpa terlihat-Tanika sibuk dengan gaya hidup sosialitanya, sering bepergian tanpa kabar, sementara Kaindra tenggelam dalam kesepian yang perlahan menggerogoti jiwanya. Ketika Kaindra mengetahui bahwa Tanika mungkin berselingkuh dengan pria lain, bukannya menghadapi istrinya secara langsung, dia justru memulai petualangan balas dendamnya sendiri. Hubungannya dengan Fiona, rekan kerjanya yang ternyata menyimpan rasa cinta sejak dulu, perlahan berubah menjadi sebuah hubungan rahasia yang penuh gairah dan emosi. Fiona menawarkan kehangatan yang selama ini hilang dalam hidup Kaindra, tetapi hubungan itu juga membawa komplikasi yang tak terhindarkan. Di tengah caranya mencari tahu kebenaran tentang Tanika, Kaindra mendekati Isvara, sahabat dekat istrinya, yang menyimpan rahasia dan tatapan menggoda setiap kali mereka bertemu. Isvara tampaknya tahu lebih banyak tentang kehidupan Tanika daripada yang dia akui. Kaindra semakin dalam terjerat dalam permainan manipulasi, kebohongan, dan hasrat yang ia ciptakan sendiri, di mana setiap langkahnya bisa mengancam kehancuran dirinya. Namun, saat Kaindra merasa semakin dekat dengan kebenaran, dia dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah dia benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi di balik hubungan Tanika dan pria itu? Atau apakah perjalanan ini akan menghancurkan sisa-sisa hidupnya yang masih tersisa? Seberapa jauh Kaindra akan melangkah dalam permainan ini, dan apakah dia siap menghadapi kebenaran yang mungkin lebih menyakitkan dari apa yang dia bayangkan?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku