Duniaku berputar di sekitar Jaka Hardinata, teman kakakku yang seorang rockstar karismatik dan memabukkan.
Sejak umur enam belas, aku memujanya setengah mati; di umur delapan belas, aku berpegang teguh pada janjinya yang diucapkan sambil lalu: "Nanti kalau kamu sudah 22 tahun, mungkin aku akan serius."
Ucapan santai itu menjadi pedoman hidupku, menuntun setiap pilihanku, membuatku merencanakan ulang tahunku yang kedua puluh dua dengan cermat sebagai takdir kami.
Tapi di hari yang menentukan itu, di sebuah bar trendi di Senopati, Jakarta, sambil memeluk hadiah untuknya, mimpiku meledak berkeping-keping.
Aku mendengar suara dingin Jaka: "Nggak percaya Savi beneran datang. Dia masih saja kepikiran omongan konyolku dulu."
Lalu rencana jahat yang menghancurkan hatiku: "Kita akan bilang ke Savi kalau aku tunangan sama Chloe, mungkin sekalian bilang dia hamil. Itu pasti bikin dia takut dan menjauh."
Hadiahku, masa depanku, terlepas dari jari-jariku yang mati rasa.
Aku lari menembus hujan dingin Jakarta, hancur lebur oleh pengkhianatan.
Kemudian, Jaka memperkenalkan Chloe sebagai "tunangannya" sementara teman-teman bandnya mengejek "cinta monyetku yang menggemaskan"—dan dia tidak melakukan apa-apa.
Saat sebuah instalasi seni jatuh, dia menyelamatkan Chloe, membiarkanku terluka parah.
Di rumah sakit, dia datang untuk "menyelamatkan muka," lalu dengan tega mendorongku ke kolam air mancur, membiarkanku berdarah, dan meneriakiku "cewek gila pencemburu."
Bagaimana bisa pria yang kucintai, yang pernah menyelamatkanku, menjadi begitu kejam dan mempermalukanku di depan umum?
Mengapa pengabdianku dianggap sebagai gangguan yang harus dihancurkan dengan kejam melalui kebohongan dan penyerangan fisik?
Apakah aku hanya sebuah masalah, dan kesetiaanku dibalas dengan kebencian?
Aku tidak akan menjadi korbannya.
Terluka dan dikhianati, aku bersumpah pada diriku sendiri: Aku sudah selesai.
Aku memblokir nomornya dan semua orang yang terhubung dengannya, memutuskan semua ikatan.
Ini bukan pelarian; ini adalah kelahiran kembali diriku.
Florence menanti, sebuah kehidupan baru sesuai keinginanku, tanpa terbebani oleh janji-janji palsu.
Bab 1
Udara di Bandung selalu terasa kental dengan musik, terutama saat Serigala Malam tampil.
Saat itu aku berusia enam belas tahun, dan Jaka Hardinata dua puluh dua.
Dia adalah sahabat kakakku, Beni, sekaligus gitaris utama band mereka.
Karismatik, sedikit menjaga jarak.
Aku naksir berat padanya.
Bukan sekadar naksir; rasanya seluruh duniaku jungkir balik saat dia ada di dekatku.
Aku membuatkan kue kering untuk latihan band mereka, yang dengan ekstra choco-chip, persis seperti yang Jaka suka.
Aku menggambar poster-poster awal untuk pertunjukan mereka, setiap goresan pensilku dipenuhi kerinduan yang tak tahu kunamai apa.
Aku hafal setiap lirik dari setiap lagu yang pernah dia tulis.
Ulang tahunku yang kedelapan belas.
Aku duduk di kelas tiga SMA, formulir pendaftaran sekolah seni sudah kukirim, mimpi tentang Jakarta berdengung di kepalaku.
Tapi malam itu, hanya Bandung yang berarti, hanya Panggung Merdeka tempat Serigala Malam menggebrak panggung.
Beni memberiku seteguk sampanye di belakang panggung setelah mereka selesai.
Rasanya seperti pemberontakan dan keberanian.
Cukup berani untuk menemukan Jaka, rambut gelapnya basah oleh keringat, senyum tipis tersungging di bibirnya saat dia berbicara dengan seorang kru.
Jantungku berdebar kencang.
"Jaka?"
Dia berbalik, tatapan dinginnya mendarat padaku. "Hei, Savi. Selamat ulang tahun, ya."
Kata-kata itu keluar begitu saja, sebuah luapan perasaan yang kikuk dan tulus. "Aku sangat menyukaimu, Jaka. Sudah bertahun-tahun."
Lalu, didorong oleh sampanye dan harapan bertahun-tahun yang terpendam, aku mencondongkan tubuh dan menciumnya.
Ciuman itu cepat, mungkin canggung.
Dia tidak menghindar, tapi juga tidak membalas ciumanku.
Saat aku menarik diri, pipiku terasa panas, dia menatapku dengan ekspresi geli dan sedikit terkejut.
Dia mengacak rambutku, sebuah gestur yang terasa baik sekaligus meremehkan.
"Kamu masih anak kecil, Savi."
Hatiku mencelos.
"Tapi hei," lanjutnya, dengan nada malas, sedikit cadel karena bir yang sedang dipegangnya. "Nanti kalau kamu lulus kuliah dan umurmu, katakanlah, dua puluh dua, kalau kamu masih merasakan hal yang sama... mungkin aku akhirnya siap untuk serius dengan gadis baik-baik. Kita lihat saja nanti."
Dia mengatakannya dengan enteng, hampir seperti lelucon.
Tapi aku berpegangan pada kata-kata itu seolah itu adalah tali penyelamat.
Dua puluh dua. Terdengar seperti sebuah janji.
Empat tahun.
Aku diterima di FSRD Trisakti, jurusan desain grafis.
Jakarta menelanku bulat-bulat, pusaran perkuliahan, tugas, dan rasa rindu yang konstan pada Bandung, pada Jaka.
"Janjinya" menjadi garis waktu rahasiaku.
Aku mengikuti kesuksesan kecil Serigala Malam dari jauh, lagu-lagu mereka menjadi soundtrack sesi belajarku hingga larut malam.
Aku merencanakan ulang tahunku yang kedua puluh dua dengan sangat teliti.
Itu bukan sekadar ulang tahun; itu adalah tenggat waktu, sebuah pintu gerbang.
Aku bahkan merancang sebuah sampul album tiruan, representasi visual dari masa depan yang kubayangkan untuk kami.
Konyol, aku tahu, tapi rasanya penting. Sebuah hadiah untuknya.
Dua puluh dua.
Hari itu akhirnya tiba.
Serigala Malam sedang di Jakarta untuk sebuah pertunjukan industri kecil, sebuah kesempatan untuk mendapatkan kontrak rekaman.
Tanganku gemetar saat aku memegang hadiah "sampul album" itu, terbungkus rapi dengan kertas cokelat polos.
Mereka sedang mengadakan pertemuan pra-pertunjukan di sebuah bar trendi di Senopati.
Aku tiba lebih awal, terlalu bersemangat, terlalu gugup.
Bar itu remang-remang, berbau bir basi dan ambisi baru.
Aku melihat mereka di sebuah bilik semi-pribadi di dekat bagian belakang—Jaka, Beni, anggota band lainnya.
Dan seorang wanita yang tidak kukenali, berpenampilan tajam, duduk sangat dekat dengan Jaka.
Aku ragu-ragu, tidak ingin mengganggu.
Lalu aku mendengar suara Jaka, rendah dan mengeluh.
/0/29707/coverorgin.jpg?v=6a5e2553a396061dcab0e8081b7e7f0e&imageMogr2/format/webp)
/0/14650/coverorgin.jpg?v=dbc5a59a7a20cce61253f607a304874f&imageMogr2/format/webp)
/0/23587/coverorgin.jpg?v=fed66f799c359ee95600d60ff2f31076&imageMogr2/format/webp)
/0/27921/coverorgin.jpg?v=4eda760d43a833803876b057d0adbf78&imageMogr2/format/webp)
/0/28646/coverorgin.jpg?v=26cd7df2b7b3c2006171a25b098ba4c8&imageMogr2/format/webp)
/0/28208/coverorgin.jpg?v=412a8cf94fdd73cdbc528d0668148c35&imageMogr2/format/webp)
/0/6109/coverorgin.jpg?v=cf942bb99b8fc29cfd071d9f0d1e127f&imageMogr2/format/webp)
/0/12656/coverorgin.jpg?v=c9626fbcae3e583f3765ce46ec87d742&imageMogr2/format/webp)
/0/12670/coverorgin.jpg?v=18b22571e316be6cec9d5f4cf8333d9b&imageMogr2/format/webp)
/0/16975/coverorgin.jpg?v=2de95201a1dd53d808eae22a016988db&imageMogr2/format/webp)
/0/30469/coverorgin.jpg?v=457d50ab47bd5ccb4157b7e9162c8b93&imageMogr2/format/webp)
/0/16017/coverorgin.jpg?v=99dc715da7f8e84d484e8c156e7fdc74&imageMogr2/format/webp)
/0/29102/coverorgin.jpg?v=fe96be1fdce6c6b952b09697e2127b92&imageMogr2/format/webp)
/0/5756/coverorgin.jpg?v=22395f8a604d06774cbebbcddcc206b3&imageMogr2/format/webp)
/0/24784/coverorgin.jpg?v=2f8224f0742e71367de30d7f48d128c9&imageMogr2/format/webp)
/0/29103/coverorgin.jpg?v=979a3c394d00f6aae1a78fe5c26076dc&imageMogr2/format/webp)
/0/2453/coverorgin.jpg?v=96c7673aae26a3b99eca8d7df29c9aad&imageMogr2/format/webp)
/0/17139/coverorgin.jpg?v=87dfbe04afc0929da1a13e65b6bb7b31&imageMogr2/format/webp)
/0/3258/coverorgin.jpg?v=5fb6465f89cc6c5a46aff9806f1bba29&imageMogr2/format/webp)