/0/29987/coverorgin.jpg?v=ae31e45a1e39dad40e590c256c3a2bf9&imageMogr2/format/webp)
Selama tiga tahun, aku menyerahkan hidupku sebagai "Nemesis," pengacara tak terkalahkan itu, demi menjadi istri sempurna untuk jaksa bintang Jakarta, Baskara Wijoyo. Aku menukar berkas-berkas hukumku dengan buku resep, percaya aku bisa menyembuhkan pria yang kucintai.
Di hari jadi pernikahan kami, dia pulang mabuk, menciumku dengan putus asa, dan membisikkan nama wanita lain.
"Aurelia," bisiknya. "Aku tahu kau akan kembali padaku."
Tapi putusan akhir pernikahan kami jatuh di sebuah restoran. Ketika seorang pelayan menumpahkan seteko kopi panas, Baskara tidak ragu sedetik pun. Dia melompat untuk melindungi mantan kekasihnya, Aurelia, dari beberapa tetes kopi.
Sisa kopi panas dari teko itu menyiram lenganku, menyebabkan luka bakar tingkat dua. Dia panik hanya karena bekas kemerahan kecil di tangan Aurelia, dan langsung membawanya ke klinik pribadi.
Dia bahkan tidak pernah melirik kulitku yang melepuh. Dia hanya menyodorkan kartu kreditnya padaku.
"Naik taksi saja ke UGD," katanya. "Nanti aku telepon."
Saat itulah istri yang berbakti itu mati. Aku berjalan keluar dan tidak pernah menoleh ke belakang. Tiga bulan kemudian, aku berdiri di seberangnya di ruang sidang, mewakili pria yang dia tuntut dalam kasus terbesar dalam kariernya.
Dia tidak tahu bahwa ibu rumah tangga pendiam yang dia buang adalah legenda hukum yang dikenal sebagai Nemesis. Dan aku akan menghancurkan rekor sempurnanya yang tak terkalahkan.
Bab 1
Di dunia hukum korporat Jakarta, nama "Nemesis" adalah legenda. Sosok hantu. Selama tiga tahun, komunitas hukum berspekulasi, bertanya-tanya ke mana perginya si jenius yang tidak pernah kalah dalam satu kasus pun. Beberapa bilang dia kelelahan. Yang lain berbisik dia punya musuh yang terlalu kuat dan terpaksa bersembunyi.
Tidak ada yang menebak kebenarannya.
Kebenarannya saat ini sedang merangkai buket bunga lili putih di dalam vas minimalis, gerakannya hati-hati dan senyap. Eva Lestari, yang dulu dikenal sebagai Nemesis, sekarang memakai nama Eva Wijoyo. Dia adalah istri Baskara Wijoyo, jaksa bintang Jakarta, pria yang juga punya rekor sempurna tak terkalahkan.
Selama tiga tahun, dia telah memainkan peran sebagai ibu rumah tangga yang sederhana dan berbakti. Dia telah menyimpan setelan jas tajam dan berkas-berkas hukumnya, menukarnya dengan celemek dan buku resep. Dia melakukannya demi cinta, atau apa yang mati-matian dia harapkan akan menjadi cinta.
Pernikahan mereka terjadi begitu cepat, lahir dari satu malam kesepian yang mereka bagi bersama dan rasa tanggung jawab di pihak Baskara. Eva adalah seorang pengacara muda yang sedang naik daun, diam-diam mengagumi jaksa brilian yang terkadang dia hadapi dalam simulasi persidangan. Suatu kali, dia melihat secercah kerapuhan dalam dirinya, rasa sakit yang dia sembunyikan di balik karismanya. Eva pikir dia bisa menjadi orang yang menyembuhkannya.
Dia salah besar.
Rasa sakit Baskara punya nama: Aurelia Hartono. Cinta pertamanya, seorang desainer mode selebriti yang meninggalkannya untuk membangun kerajaannya sendiri. Baskara tidak pernah bisa melupakannya. Rumah mereka adalah museum obsesinya. Meskipun tidak ada foto Aurelia di dinding, kehadirannya ada di mana-mana. Ada pada merek kopi yang dia minum karena Aurelia menyukainya, musik yang dia putar, cara matanya akan menerawang, tersesat dalam kenangan di mana Eva tidak punya tempat.
Eva sudah mencoba. Dia telah mempelajari rutinitasnya, seleranya, suasana hatinya. Dia telah mencurahkan semua kejeniusan strategisnya ke dalam satu kasus yang tidak mungkin dimenangkan: memenangkan hati suaminya.
Tetapi setelah seribu hari sikap dingin, menjadi orang asing yang sopan di rumahnya sendiri, dia tahu putusannya sudah jelas. Dia telah kalah.
Bukti terakhir datang tadi malam. Itu adalah hari jadi pernikahan mereka, tanggal yang, seperti biasa, dilupakan Baskara. Dia pulang larut malam, berbau wiski mahal dan aroma bunga samar dari parfum wanita. Dia mabuk, lebih mabuk dari yang pernah Eva lihat.
Dia terhuyung-huyung masuk ke ruang tamu, tempat Eva menunggu. Teman-temannya dari Kejaksaan bersamanya, menertawakan beberapa kasus lama. Mereka nyaris tidak menyadari keberadaan Eva, mata mereka melewatinya seolah-olah dia adalah bagian dari perabotan.
"Mas Baskara, kamu perlu istirahat," kata Eva lembut, bergerak untuk membantunya.
Dia menyandarkan tubuhnya yang berat pada Eva, napasnya yang panas terasa di telinga Eva. Untuk sesaat yang memusingkan, Eva merasakan secercah harapan. Dia dekat. Dia menyentuhnya.
Lalu dia menciumnya. Ciuman yang kasar dan putus asa, tidak seperti kecupan singkat dan sekadarnya yang terkadang dia berikan. Jantung Eva berdebar kencang di dadanya. Mungkin ini saatnya. Mungkin alkohol akhirnya meruntuhkan dinding pertahanannya.
Dia menarik diri, matanya kabur dan tidak fokus. Dia tersenyum, senyum yang rapuh dan lembut yang bukan ditujukan untuk Eva.
"Aurelia," bisiknya, ibu jarinya mengelus pipi Eva. "Aku tahu kau akan kembali padaku."
Nama itu terasa seperti tamparan keras. Harapan di dalam dirinya hancur berkeping-keping, berubah menjadi debu halus dan tajam yang memenuhi paru-parunya. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia hanya membantunya ke kamar tidur mereka, melepaskan pakaiannya, dan menidurkannya, gerakannya mekanis.
Baskara langsung tertidur, menggumamkan nama Aurelia untuk terakhir kalinya.
Eva berdiri di ruangan yang sunyi, cahaya bulan menyoroti garis-garis tajam wajah tampannya. Dia adalah pria yang dipuja oleh kota, seorang raksasa keadilan. Tapi baginya, dia adalah kekosongan. Pengingat terus-menerus tentang siapa dirinya yang bukan.
Dia berjalan keluar dari kamar tidur dan masuk ke ruang kerjanya, sebuah ruangan yang tidak pernah Baskara masuki. Dia menarik sebuah kotak berdebu dari belakang lemari. Di dalamnya ada barang-barang lamanya. Sebuah ijazah berbingkai dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Piala-piala dari kompetisi debat hukum. Dan sebuah tempat kartu nama hitam yang sederhana.
Dia mengeluarkan satu kartu. Desainnya tegas dan minimalis.
/0/29111/coverorgin.jpg?v=69d133363b100312036777e75461409e&imageMogr2/format/webp)
/0/17930/coverorgin.jpg?v=39fb4a11b317d421a36643706182c671&imageMogr2/format/webp)
/0/9842/coverorgin.jpg?v=9a6e554bcaa7a45079ce24a6f2a592d4&imageMogr2/format/webp)
/0/12930/coverorgin.jpg?v=f1d178d85c4e24b2cfcbcc8d6f43c9ae&imageMogr2/format/webp)
/0/15873/coverorgin.jpg?v=49849c71aa44043d823653d11438a557&imageMogr2/format/webp)
/0/16988/coverorgin.jpg?v=fb6f5bc71b71ba673fd22385c858c968&imageMogr2/format/webp)
/0/26320/coverorgin.jpg?v=72709ea82d6b43347f5a9612b7ca8019&imageMogr2/format/webp)
/0/29679/coverorgin.jpg?v=3ce2b19260a523e3b9a35975a260c831&imageMogr2/format/webp)
/0/17164/coverorgin.jpg?v=5399f2d9a3016cf695306f21f6d38fe9&imageMogr2/format/webp)
/0/21572/coverorgin.jpg?v=3a807ab91c98487d10183047ec65e63d&imageMogr2/format/webp)
/0/2865/coverorgin.jpg?v=148b7c0297ea539ab197a845457d933d&imageMogr2/format/webp)
/0/6595/coverorgin.jpg?v=36080175ef3c9e6d890c9db59d2148c9&imageMogr2/format/webp)
/0/6637/coverorgin.jpg?v=a530a5398bc61eb694f5ea42202f4e80&imageMogr2/format/webp)
/0/15094/coverorgin.jpg?v=e47e40b3c69070a2e7c84429b1b2df6d&imageMogr2/format/webp)
/0/23825/coverorgin.jpg?v=626b269729f3f72697f5d6c0d0a61b07&imageMogr2/format/webp)
/0/23335/coverorgin.jpg?v=449cea810c5ef59b88cedb2b49dc88c2&imageMogr2/format/webp)
/0/29837/coverorgin.jpg?v=3819f1aae67cdbfda1d6afb7ec9da63c&imageMogr2/format/webp)
/0/16858/coverorgin.jpg?v=55e57d0c3fbbbe72391c0a97e4415700&imageMogr2/format/webp)
/0/17742/coverorgin.jpg?v=9c715846642fa013882fa7cbc90ca5c9&imageMogr2/format/webp)
/0/21489/coverorgin.jpg?v=5f70302b2dcf36ccf19dbe01bcfc7c20&imageMogr2/format/webp)