/0/15744/coverorgin.jpg?v=06abe3e55eacaf5d8b461595cbfda95e&imageMogr2/format/webp)
Hujan turun deras malam itu. Deru air menabrak jendela kaca besar di ruang tamu rumah megah milik keluarga Delvane. Di balik kaca itu, seorang pria berdiri diam, memandangi kilat yang sesekali membelah langit dengan tatapan hampa.
Aldric Delvane.
Putra tunggal dari pengusaha legendaris yang baru saja meninggal dunia dua bulan lalu. Di pundaknya kini tertumpuk beban besar-menjaga perusahaan keluarga dari kebangkrutan yang mengintai.
Namun yang membuat napasnya terasa sesak bukan hanya urusan bisnis. Malam itu, ia baru saja menerima pesan singkat dari Mira, perempuan yang dulu sempat menjadi seluruh hidupnya.
"Aku sudah kembali ke Jakarta. Aku ingin kita bicara, Ric. Tentang kita... dan tentang masa lalu yang belum selesai."
Pesan itu sederhana, tapi cukup membuat dadanya bergetar aneh. Mira-wanita yang dulu menolaknya karena ia tak lagi punya apa-apa. Kini, setelah ia kembali berdiri tegak di puncak kekayaan dan kekuasaan, Mira datang lagi.
Aldric tersenyum miring, meneguk scotch yang ada di tangannya.
Namun senyum itu memudar ketika langkah kaki lembut terdengar di belakangnya.
"Sudah larut. Kau masih bekerja?" suara itu lembut tapi datar.
Aldric menoleh. Seorang wanita dengan gaun sederhana berwarna putih berdiri di ambang pintu. Rambut hitamnya diikat rendah, wajahnya pucat namun tenang. Keira.
Istrinya.
Atau lebih tepatnya-istri kontrak yang dinikahinya setahun lalu demi menyelamatkan perusahaannya.
"Tidak," jawab Aldric pendek, menaruh gelas di meja. "Aku hanya butuh udara."
Keira berjalan pelan ke arah sofa, duduk sambil memeluk lutut. "Kau lupa makan malam lagi."
"Aku tidak lapar."
Keira menghela napas. "Kau bilang hal yang sama semalam. Dan malam sebelumnya."
Suasana hening menelan keduanya. Hanya suara hujan yang menemani.
Aldric tak pernah tahu bagaimana harus memperlakukan Keira. Di satu sisi, ia merasa berutang padanya-karena pernikahan ini menyelamatkan nama baik keluarganya dan mengembalikan sebagian saham perusahaan. Tapi di sisi lain, ia juga tak bisa memaksakan perasaan yang tak pernah tumbuh.
Ia menikahi Keira dengan kesadaran penuh bahwa tidak akan ada cinta di antara mereka. Semua hanya transaksi.
Dan Keira tahu itu sejak awal.
Namun entah mengapa, beberapa bulan terakhir, pandangan mata Keira berubah. Ada sesuatu di sana-rasa yang tak berani diungkapkan. Dan justru itu yang membuat Aldric gelisah.
"Besok pagi aku akan ke kantor lebih awal," katanya, mencoba memutus keheningan. "Kau tak perlu menungguku sarapan."
Keira hanya mengangguk, suaranya nyaris tak terdengar, "Baik."
Aldric menatap wajahnya sejenak. Wajah yang selalu tampak tenang tapi penuh kesedihan. Seolah Keira sudah terbiasa menahan kecewa.
Ia ingin berkata sesuatu, tapi tak tahu apa. Dan seperti malam-malam sebelumnya, ia memilih diam.
Ia melangkah pergi ke kamar kerja, meninggalkan Keira sendirian di ruang tamu dengan cahaya lampu yang redup.
Keira menatap punggungnya yang menjauh. Di matanya, genangan air tampak berkilat, tapi tak satu pun tetes air mata jatuh.
Sudah setahun ia menjalani pernikahan ini, dan setiap hari terasa seperti berdiri di pinggir jurang-menunggu waktu hingga semuanya runtuh.
Keesokan paginya, langit cerah. Rumah besar itu sepi, seperti biasa.
Keira duduk di meja makan, memandangi piring sarapannya yang tak tersentuh. Ia mengenakan kemeja putih dan celana bahan, siap berangkat ke galeri kecil tempatnya bekerja. Ia tidak mau hanya menjadi "istri kaya yang duduk diam di rumah", meskipun Aldric pernah menawarinya segala kemewahan.
Ia lebih memilih memiliki sesuatu yang bisa disebut miliknya sendiri.
Namun pagi itu, sesuatu terasa berbeda. Ketika ia hendak mengambil tas, matanya menangkap sebuah amplop di atas meja.
Tulisan tangan Aldric di bagian depan membuatnya berhenti.
Tangannya bergetar saat membuka surat itu.
"Keira,
Terima kasih atas kerja samamu selama ini. Aku tahu ini tidak mudah bagimu. Tapi seperti yang pernah kita sepakati, begitu semua urusan selesai, kita akan menjalani hidup masing-masing.
Aku akan mengurus proses perceraian setelah semua dokumen perusahaan selesai.
Kau akan mendapat bagianmu sesuai perjanjian.
– Aldric"
Keira menatap kertas itu lama, sebelum akhirnya terdiam.
Jadi... waktunya sudah tiba.
Ia tahu hari ini akan datang, tapi tetap saja rasanya menyakitkan.
"Selama ini aku hanya bagian dari kesepakatan," gumamnya pelan. "Dan sekarang, tugasku selesai."
Air matanya akhirnya jatuh.
Bukan karena kehilangan cinta, tapi karena kehilangan harapan yang diam-diam ia tanamkan tanpa izin.
Ia mengambil napas dalam-dalam, lalu tersenyum getir. "Baiklah, Aldric Delvane. Kalau ini yang kau inginkan... aku akan pergi tanpa menoleh lagi."
Tiga hari kemudian, Keira benar-benar pergi dari rumah itu.
Tanpa membuat drama, tanpa berteriak, tanpa menuntut apa pun. Ia hanya meninggalkan cincin pernikahan mereka di atas meja, persis di tempat Aldric biasa duduk.
Ketika Aldric pulang malam itu, rumah tampak kosong. Tak ada aroma masakan, tak ada langkah lembut di lantai marmer, tak ada suara piano yang biasanya dimainkan Keira setiap sore.
Hanya keheningan.
Dan cincin itu.
Aldric menatap benda kecil itu lama, dadanya terasa sesak.
Ia mengira akan merasa lega, tapi justru sebaliknya. Ada ruang hampa di dadanya yang tak bisa dijelaskan.
Namun ia menepis perasaan itu cepat-cepat.
"Ini memang yang terbaik," katanya dalam hati. "Semua sudah sesuai rencana."
Tapi bahkan saat ia mencoba tidur malam itu, suara lembut Keira masih terngiang di telinganya.
"Jangan lupa makan, Aldric..."
Sederhana, tapi entah mengapa justru kata-kata itu membuat matanya sulit terpejam.
/0/28913/coverorgin.jpg?v=27349dd4fb907d981345554fe0aa639c&imageMogr2/format/webp)
/0/16653/coverorgin.jpg?v=495680019c3ed741c2137fc3f818800f&imageMogr2/format/webp)
/0/30692/coverorgin.jpg?v=52ecb041bbe4c0037c17ca0867b3dd0b&imageMogr2/format/webp)
/0/26001/coverorgin.jpg?v=300f605f96750a7439e9c5f9975a8b57&imageMogr2/format/webp)
/0/24454/coverorgin.jpg?v=fa9c761542b395139927ddff009dacff&imageMogr2/format/webp)
/0/14017/coverorgin.jpg?v=57e051154f489edeb67427c9b6e12968&imageMogr2/format/webp)
/0/2424/coverorgin.jpg?v=89852b50c5c617dbbc1432bd35bf0432&imageMogr2/format/webp)
/0/6585/coverorgin.jpg?v=c55c9dd34d7d839f3c31119769249f11&imageMogr2/format/webp)
/0/4224/coverorgin.jpg?v=baf7d841ae35f45935e153dd8eb82713&imageMogr2/format/webp)
/0/22403/coverorgin.jpg?v=fd6cebf51b6cb1770e5917608cb2118b&imageMogr2/format/webp)
/0/24401/coverorgin.jpg?v=18031ca93a6dfbe60ad12a082ac7c30e&imageMogr2/format/webp)
/0/14428/coverorgin.jpg?v=e673db163036ee391c656ce0b40786ba&imageMogr2/format/webp)
/0/20576/coverorgin.jpg?v=00d22628dbbf03f0037e311e7cef0b8d&imageMogr2/format/webp)
/0/22147/coverorgin.jpg?v=bb2713d9715456eaacf368d9d01d52c1&imageMogr2/format/webp)
/0/29462/coverorgin.jpg?v=967cc3fc25cc7c93f4e2b94122932fe4&imageMogr2/format/webp)
/0/27799/coverorgin.jpg?v=ce2a38399ad81e3bf34fb193f2844214&imageMogr2/format/webp)
/0/21259/coverorgin.jpg?v=01e549da942327acc9101de8b0486b53&imageMogr2/format/webp)
/0/5924/coverorgin.jpg?v=5103dee62307df26ce22cd04d34b3ecd&imageMogr2/format/webp)
/0/24941/coverorgin.jpg?v=a61ed2b43d3dfa13c7e1d68cb88abd69&imageMogr2/format/webp)
/0/24238/coverorgin.jpg?v=55837c16f8c8fb055cc3a1dd5c34a1b7&imageMogr2/format/webp)