/0/13690/coverorgin.jpg?v=34d407bff7def1b62c3b6d9da1a2d824&imageMogr2/format/webp)
Dentuman musik klasik yang lembut mengalun memenuhi aula yang megah, memantul dari setiap sudut dinding berlapis marmer dan kristal yang berkilauan. Aroma bunga lili putih yang semerbak berpadu dengan wangi parfum mahal, menciptakan aura kemewahan yang tak tertandingi. Di tengah keramaian tamu-tamu terkemuka yang bersulang dan berbincang ringan, Cantika Putri berdiri bak ratu, gaun pengantin putihnya menjuntai anggun, dihiasi ribuan payet yang memantulkan cahaya layaknya taburan bintang.
Senyum tipisnya tersungging sempurna, namun ada kilatan misterius di matanya, seolah menyimpan rahasia yang tak terjamah. Di sisinya, Ardi Permana berdiri tegak, setelan tuksedo hitamnya membungkus tubuh atletisnya dengan sempurna. Matanya tak pernah lepas dari Cantika, tatapan penuh puja dan posesif.
Ardi Permana, putra tunggal dari keluarga konglomerat Permana Group yang menguasai sebagian besar sektor properti dan perhotelan di negeri ini, adalah definisi sempurna dari seorang pria idaman. Tampan, cerdas, berkarisma, dan tentu saja, sangat kaya. Ia terlahir dengan sendok emas di mulutnya, terbiasa dengan segala kemewahan dan kemudahan. Namun, di antara semua yang ia miliki, Cantika adalah permata paling berharga baginya. Ia memuja setiap inci dari Cantika, dari rambut hitam legamnya yang selalu tertata rapi, mata almondnya yang selalu memancarkan kecerdasan, hidung mancungnya, hingga bibir penuhnya yang selalu berhasil membuatnya mabuk kepayang. Bagi Ardi, Cantika adalah karya seni paling indah yang pernah Tuhan ciptakan, sebuah mahakarya yang harus ia miliki sepenuhnya.
Pernikahan mereka adalah sebuah perhelatan akbar yang menjadi buah bibir masyarakat selama berminggu-minggu. Media massa tak henti-hentinya memberitakan detail pernikahan abad ini, mengulas setiap aspek kemewahan dan kemegahannya. Kisah cinta Ardi dan Cantika digambarkan sebagai dongeng modern, di mana pangeran tampan jatuh cinta pada putri jelita. Namun, di balik semua kilauan dan sorotan kamera, hanya Cantika dan Ardi yang tahu bahwa fondasi pernikahan mereka sedikit lebih kompleks dari sekadar kisah romantis biasa. Ya, ada cinta. Cinta yang tulus dari Ardi kepada Cantika, sebuah cinta yang begitu besar hingga mampu menutupi sisi-sisi lain yang mungkin tak terlihat oleh mata publik. Namun, bagi Cantika, cinta itu datang dengan harga yang harus dibayar. Sebuah harga yang ia setujui, demi masa depan yang lebih baik, demi hidup yang lebih stabil. Cantika memang mencintai Ardi, namun ia juga mencintai keamanan, kemewahan, dan status sosial yang Ardi tawarkan. Ini adalah sebuah pertukaran, sebuah perjanjian tak tertulis yang hanya mereka berdua pahami.
"Cantika, kau terlihat sangat bahagia," bisik Ardi di telinga Cantika, suaranya dalam dan penuh kasih. Ia meraih tangan Cantika, mengusap punggung tangannya dengan ibu jarinya, sensasi yang familiar namun tetap membuat Cantika sedikit merinding.
Cantika menoleh, senyumnya semakin lebar. "Tentu saja, Ardi. Ini hari pernikahan kita. Siapa yang tidak bahagia?" jawabnya, nada suaranya selembut sutra. Ia menatap mata Ardi, mencoba memancarkan kebahagiaan yang sama. Ia tahu Ardi sangat ingin melihatnya bahagia, dan ia tidak ingin mengecewakannya. Setidaknya, tidak di hari penting ini.
Ardi mengeratkan genggaman tangannya. "Aku akan memastikan kau bahagia setiap hari, Cantika. Aku bersumpah." Janji itu, diucapkan di tengah riuhnya pesta dan sorak sorai tamu, terdengar begitu tulus dan meyakinkan. Cantika hanya tersenyum tipis, membiarkan Ardi memeluknya erat, menenggelamkan diri dalam pelukan yang hangat dan aman.
Malam itu, di suite pengantin yang mewah dengan pemandangan kota yang gemerlap, Ardi memandangi Cantika yang tengah berdiri di depan jendela, siluet tubuhnya terpahat indah diterpa cahaya bulan. Gaun tidurnya yang berbahan satin putih melambai lembut mengikuti lekuk tubuhnya.
"Cantika," panggil Ardi, suaranya serak. Ia mendekat, memeluk Cantika dari belakang, dagunya bersandar di bahu Cantika. "Aku mencintaimu."
Cantika merasakan kehangatan tubuh Ardi memeluknya. Ia memejamkan mata sejenak, menikmati keheningan yang singkat sebelum menjawab, "Aku juga mencintaimu, Ardi." Jawaban itu keluar secara otomatis, sebuah mantra yang sudah ia hafal di luar kepala. Ardi membalikkan tubuh Cantika, menangkup wajah Cantika dengan kedua tangannya, dan mencium bibirnya dengan penuh gairah. Ciuman itu dalam, menuntut, dan penuh kepemilikan. Cantika membalasnya, mencoba menenggelamkan diri dalam sensasi yang familiar, membiarkan tubuhnya bereaksi secara alami, meskipun pikirannya melayang entah ke mana.
Di sisi lain kota, di sebuah apartemen sederhana namun nyaman yang terletak di kawasan yang jauh dari kemewahan pusat kota, Reza Dirgantara sedang menikmati secangkir kopi hitam pekat di balkon apartemennya. Lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan tampak seperti permata yang berserakan di hamparan kain beludru gelap. Meskipun bergelimang harta, Reza lebih menyukai kesederhanaan dan ketenangan. Ia adalah seorang konglomerat ternama yang memimpin Dirgantara Holdings, sebuah perusahaan investasi multinasional yang namanya sudah dikenal di kancah internasional. Kekayaan dan kekuasaannya tak perlu diragukan lagi. Namun, tidak seperti Ardi yang tumbuh dalam kemewahan sejak lahir, Reza membangun kerajaannya dari nol. Ia adalah seorang pekerja keras, cerdas, visioner, dan memiliki insting bisnis yang tajam. Ia memulai bisnisnya dari sebuah perusahaan rintisan kecil hingga kini menjadi salah satu konglomerat paling berpengaruh di Asia.
Reza menghela napas panjang, senyum kecil terukir di bibirnya saat bayangan wajah kekasihnya, Luna Amara, melintas di benaknya. Luna, gadis cantik nan lugu yang berasal dari sebuah desa di kaki gunung, adalah kebalikan dari segala yang pernah Reza kenal. Ia tidak glamour, tidak ambisius dalam hal materi, dan tidak pernah memaksakan diri untuk mengikuti gaya hidupnya yang mewah. Luna adalah angin segar dalam hidup Reza yang selama ini hanya dipenuhi oleh angka-angka, saham, dan rapat-rapat penting. Kehadirannya membawa warna, keceriaan, dan ketenangan.
Hubungan mereka dimulai secara tak terduga. Reza, yang sedang dalam perjalanan bisnis ke daerah terpencil, mengalami kecelakaan mobil kecil di jalan desa. Luna, yang kebetulan lewat, menolongnya dengan sigap, membawa Reza ke rumahnya dan merawat luka-lukanya dengan penuh ketulusan. Di gubuk sederhana dengan aroma kayu bakar dan masakan rumahan yang lezat, Reza menemukan kedamaian yang tak pernah ia rasakan di tengah gemerlap kota. Ia terpesona oleh kecantikan alami Luna, tawa renyahnya, dan kepolosan hatinya. Luna tidak tahu siapa Reza sebenarnya, dan Reza sengaja tidak memberitahunya. Ia ingin melihat apakah Luna bisa mencintainya apa adanya, bukan karena status dan kekayaannya. Dan Luna membuktikan itu. Ia mencintai Reza, pria sederhana yang ia kira hanyalah seorang pengusaha biasa yang sedang sial.
Setelah pulih, Reza kembali ke kota, namun hatinya tertinggal di desa bersama Luna. Ia terus menghubunginya, sering datang berkunjung, hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya dan juga jati dirinya. Awalnya Luna terkejut, sangat terkejut. Ia tidak menyangka pria yang ia cintai adalah seorang konglomerat besar. Ketakutan akan perbedaan dunia mereka sempat menghantuinya. Namun, Reza meyakinkannya bahwa cinta mereka lebih besar dari segala perbedaan. Ia berjanji akan selalu melindungi Luna dan memastikan kebahagiaannya.
"Luna... Apa yang sedang kau lakukan sekarang?" gumam Reza pada dirinya sendiri, jemarinya memutar-mutar gagang cangkir. Ia merindukan senyum polos Luna, suara lembutnya, dan masakan-masakan sederhana Luna yang selalu berhasil membuat perutnya kenyang dan hatinya hangat. Mereka berencana untuk bertemu besok, dan Reza sudah tidak sabar.
Di sebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk kota, di sebuah rumah kayu sederhana dengan halaman yang dipenuhi bunga-bunga liar, Luna Amara sedang membaca buku di teras rumahnya, ditemani secangkir teh herbal hangat. Cahaya lampu minyak yang redup menerangi halaman buku, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Luna mengenakan daster rumahan sederhana, rambut hitam panjangnya diikat seadanya. Wajahnya bersih tanpa polesan make up, namun kecantikan alaminya terpancar jelas. Mata indahnya memancarkan keteduhan dan kepolosan.
Luna adalah gadis yang mandiri dan pekerja keras. Sejak kecil ia sudah terbiasa hidup sederhana, membantu orang tuanya bertani dan mengurus kebun. Ia tidak pernah punya ambisi besar untuk hidup mewah atau mengejar karier di kota. Baginya, kebahagiaan adalah melihat orang tuanya sehat, kebun mereka subur, dan bisa menikmati ketenangan hidup di desa. Namun, kehadiran Reza mengubah segalanya. Reza membuka matanya pada dunia yang lebih luas, dunia yang belum pernah ia bayangkan. Ia mencintai Reza dengan sepenuh hati, tanpa memandang status atau kekayaan pria itu. Ia mencintai kebaikan hati Reza, perhatiannya, dan bagaimana Reza selalu membuatnya merasa aman dan dicintai.
Ia ingat ketika Reza pertama kali datang ke rumahnya, terluka dan tampak kelelahan. Luna tidak tahu siapa dia, hanya melihatnya sebagai seorang musafir yang membutuhkan pertolongan. Ia merawat Reza dengan tulus, tanpa mengharapkan imbalan. Ia bahkan sempat mengkhawatirkan kondisi Reza yang tampak begitu rapuh. Dan kini, pria itu adalah kekasihnya, pria yang berjanji akan selalu berada di sisinya.
Luna tersenyum tipis, membalik halaman bukunya. Ia tahu bahwa hubungan mereka tidak akan mudah. Banyak perbedaan yang harus mereka hadapi. Namun, ia yakin cinta mereka akan mampu melewati semua rintangan. Ia memegang erat liontin kecil pemberian Reza yang selalu melingkar di lehernya. Liontin perak dengan ukiran nama mereka berdua. Itu adalah hadiah ulang tahunnya yang terakhir, dan menjadi jimat keberuntungannya.
Di kamar tidur utama di sebuah rumah mewah, Cantika sedang menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun tidur sutra yang ia kenakan menampakkan lekuk tubuhnya dengan sempurna. Ia memegang botol parfum mahal di tangannya, aromanya menusuk indra penciumannya. Setelah pernikahan, hidupnya berubah drastis. Ia kini resmi menjadi Nyonya Ardi Permana, istri dari salah satu konglomerat paling berpengaruh. Semua kebutuhannya terpenuhi, bahkan lebih dari itu. Ia bisa membeli apa pun yang ia inginkan, pergi ke mana pun yang ia mau. Ia memiliki kartu kredit tak terbatas, pengawal pribadi, supir, dan pelayan yang selalu siap sedia melayaninya.
Hidupnya adalah impian banyak wanita. Namun, terkadang, di tengah semua kemewahan ini, Cantika merasa kosong. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang. Ia merindukan masa-masa ketika ia harus bekerja keras, ketika ia harus berjuang untuk mendapatkan sesuatu. Kini, semua sudah ada di depan mata, tanpa perlu berusaha. Ia tahu ia harus bersyukur, dan ia bersyukur. Namun, rasa syukur itu terkadang berbalut rasa hampa yang tak dapat dijelaskan.
Ardi sangat mencintainya, itu jelas. Ardi memanjakannya, melimpahinya dengan hadiah-hadiah mewah, dan selalu berusaha memenuhi setiap keinginannya. Namun, terkadang, cinta Ardi terasa begitu posesif, begitu mengikat. Seolah-olah Cantika adalah properti berharganya yang harus ia lindungi dan kendalikan. Ardi selalu ingin tahu di mana Cantika berada, dengan siapa, dan apa yang ia lakukan. Awalnya, Cantika mengira itu adalah bentuk perhatian, namun lama-kelamaan, ia merasa seperti terkurung dalam sangkar emas.
/0/25023/coverorgin.jpg?v=a8010a2c460f09559a82c5d2f0c185f9&imageMogr2/format/webp)
/0/6251/coverorgin.jpg?v=95475b5bb5e62a6ede1cdc661ffbcd76&imageMogr2/format/webp)
/0/29624/coverorgin.jpg?v=f4b49d72034c00807fb6c6fb558fd1e1&imageMogr2/format/webp)
/0/3399/coverorgin.jpg?v=e61b43a3fab04088051795b9ff6c4430&imageMogr2/format/webp)
/0/3163/coverorgin.jpg?v=d1017b5fca450bb6d309b0068faa215d&imageMogr2/format/webp)
/0/4257/coverorgin.jpg?v=31d7f13fba6fb9e3c214d4f8a9e34d2f&imageMogr2/format/webp)
/0/4573/coverorgin.jpg?v=a2a9ac200b82b6010d584c071bdc2c3b&imageMogr2/format/webp)
/0/16974/coverorgin.jpg?v=f16ae03040c779910f8e415b6fff9d51&imageMogr2/format/webp)
/0/27693/coverorgin.jpg?v=e2f84f3599fbcdd647ee2cff4ce0cd7e&imageMogr2/format/webp)
/0/18263/coverorgin.jpg?v=720de119bd06960062dad4d071c92481&imageMogr2/format/webp)
/0/26855/coverorgin.jpg?v=1b6f21b41e9d584d6d1cd0b206e3972e&imageMogr2/format/webp)
/0/27607/coverorgin.jpg?v=7ce54e31851a964bdaf595c5e8bb990f&imageMogr2/format/webp)
/0/19092/coverorgin.jpg?v=e5dfe54b49e546757ebf94e0e0fde06e&imageMogr2/format/webp)
/0/21598/coverorgin.jpg?v=af91a72228b225b8a4fb1e698bdef0d6&imageMogr2/format/webp)
/0/27387/coverorgin.jpg?v=3423360905209ec93940185a6fe6b924&imageMogr2/format/webp)
/0/21814/coverorgin.jpg?v=182b98476980bc40bc0920028bf833c2&imageMogr2/format/webp)
/0/15669/coverorgin.jpg?v=58d9cfb0dbaaf683c8406becf4d9da57&imageMogr2/format/webp)
/0/28057/coverorgin.jpg?v=f3b4efcf5a91765b6e671e1a7eb8bdcb&imageMogr2/format/webp)