Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
"Jika nama adalah bait cinta dari orang tua yang terus didoakan oleh siapa saja yang menyebutnya. Lalu, sajak apa yang pantas untuk menyebut sebuah namaku tanpa arti?"
Part 1
🍂Nama Yang Ditertawakan🍂
"Siapa namamu?'' tanya petugas administrasi berniat mencatat nama pelamar pekerjaan di atas map yang berisi semua berkas-berkas.
"Hananan," jawab perempuan berbaju putih dengan jilbab berwarna senada, sedangkan rok berwarna hitam sesuai persyaratan.
"Jangan bercanda, kamu mau langsung diblacklist sebelum mengikuti tes?" cerca sang petugas dengan wajah ketus dan lelah karena sejak pagi tadi hingga siang ini dia duduk di kursi administrasi untuk melayani para pelamar pekerjaan.
Hananan menghela napas kasar, dia berusaha tidak tersulut emosi dengan membalas tatapan tajam itu, dia juga lelah karena mengantri sejak pagi tadi.
"Saya tidak bercanda, nama saya memang Hananan. Lihat saja KK di dalam jika Anda tidak percaya," papar Hananan masih menetralkan wajahnya dengan setenang mungkin meski para pelamar kerja lainnya menatap sinis ke arahnya dengan sedikit desas-desus.
Petugas tersebut membuka map dengan enggan, dia berdecak kesal karena menambah pekerjaan saja yang memperlambat proses administrasi.
Hananan tidak peduli nada sumbang di belakang, mereka menertawakan namanya yang tidak berkelas dan kampungan. Terlebih sebuah nama tanpa arti, hana nan.
"Orang tuanya kayaknya enggak ngarep dia lahir deh, enggak mau capek-capek cari satu nama saja haha."
"Kasihan namanya begitu, coba dikasih nama Maemunah saja ya, ha ha," timpal yang lain.
Ini bukan kali pertama dia ditertawakan, dicemooh dan dicibir oleh si pendengar ketika namanya disebut. Sudah berulang kali, hingga dia lelah sendiri untuk mengulangi namanya bahkan sukar untuk menanggapi olokan mereka.
Sejak SD hingga lulus kuliah, dia terus saja dicecar oleh candaan yang membuat mereka saling menertawakan dirinya karena memakai nama tanpa arti menurut bahasa Aceh.
"Coba tanya sama mamakmu kenapa namamu begitu, diganti saja sebelum lulus," anjur sang guru ketika Hananan duduk di kelas enam SD.
Hananan pernah bertanya beberapa kali, tetapi respons sang ibu tidak membuatnya puas.
"Sudahlah, kenapa sekarang kamu permasalahkan nama itu. Kamu mau katain ibu katro juga? Bersyukur masih bisa orang memanggilmu dengan nama itu. Kamu punya biaya untuk mengurus KK, akte kelahiran ulang? Mana kantor penduduk di kota, lihat adik-adikmu masih sekolah juga."
Sejak saat itu Hananan tidak lagi menyinggung namanya pada sang ibu. Dia pasrah dengan nama yang menjadi identitas, dan tidak acuh pada teman-temannya yang membullynya hingga melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi.
Kehidupan sederhana bersama orang tua yang bekerja sebagai petani, tiga adik-adiknya yang perlu biaya untuk sekolah membuat Hananan tidak menuntut banyak pada mereka. Bahkan dia harus ikut membantu kedua orang tua ke kebun, mengumpulkan pinang, mengupasnya lalu menjual ke pasar agar bisa membayar biaya sekolah untuk dirinya juga sang adik-adiknya.
Hananan hampir saja tidak bisa melanjutkan kuliah jika dia tidak bekerja sampingan selagi menjadi mahasiswi.
"Kamu ngapain kuliah, bantu ibu ke kebun saja. Lihat adik-adikmu namatin sekolah saja susah. Mending uangnya buat mereka, kamu anak tertua jangan mementingkan diri sendiri."
"Sekarang kamu menyesal kan, kuliah tinggi-tinggi, habis biaya eh enggak kerja juga sampai sekarang."
"Ke ruang 14 A, cepat minggir kamu membuat mereka mengantri lama saja," hardik petugas seraya mengetuk meja dengan penggaris.
Hananan berjalan menuju ruang 14 A, sebentar lagi dia akan mengikuti tes interview agar bisa lolos tahap awal dan lanjut tahap berikutnya supaya menjadi karyawan di kantor Perum BULOG, Cabang Sigli.
🍂🍂🍂
Dua jam lebih dia baru sampai di rumahnya, bukan sambutan yang diterima ketika dia mengetuk pintu seraya memberi salam melainkan sebuah pertanyaan yang mencibir dari sang Ibu.