Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Istriku Punya Nama

Istriku Punya Nama

Zubaidah

5.0
Komentar
28
Penayangan
10
Bab

HANANAN (dari bahasa Aceh, berarti Tidak Ada Nama) seorang gadis cantik dan mandiri berusia dua puluh lima tahun berusaha untuk tidak kalah dengan beban hidupnya. Dia mengetahui rahasia pahit, tentang dirinya yang ternyata bukan anak kandung dari pasangan petani itu. Kehidupannya berubah ketika dia dijemput oleh beberapa pengawal yang membawanya ke sebuah rumah megah, tetapi bukan untuk melepaskan kerinduan antara seorang anak dengan orang tua kandung. Melainkan, HANANAN dipinta untuk menggantikan adik kembarnya menjadi calon istri bagi seorang pengusaha kaya raya karena Nazia nekat kabur dengan pilihannya sendiri, cinta pertamanya. Lelaki sederhana yang tidak direstui oleh orang tuanya. HANANAN, merasa mereka tidak menyayanginya layaknya seorang ibu mencintai putri yang telah lama berjauhan. Sulitkah dia meraih kebahagiaan?

Bab 1 Part 1

"Jika nama adalah bait cinta dari orang tua yang terus didoakan oleh siapa saja yang menyebutnya. Lalu, sajak apa yang pantas untuk menyebut sebuah namaku tanpa arti?"

Part 1

🍂Nama Yang Ditertawakan🍂

"Siapa namamu?'' tanya petugas administrasi berniat mencatat nama pelamar pekerjaan di atas map yang berisi semua berkas-berkas.

"Hananan," jawab perempuan berbaju putih dengan jilbab berwarna senada, sedangkan rok berwarna hitam sesuai persyaratan.

"Jangan bercanda, kamu mau langsung diblacklist sebelum mengikuti tes?" cerca sang petugas dengan wajah ketus dan lelah karena sejak pagi tadi hingga siang ini dia duduk di kursi administrasi untuk melayani para pelamar pekerjaan.

Hananan menghela napas kasar, dia berusaha tidak tersulut emosi dengan membalas tatapan tajam itu, dia juga lelah karena mengantri sejak pagi tadi.

"Saya tidak bercanda, nama saya memang Hananan. Lihat saja KK di dalam jika Anda tidak percaya," papar Hananan masih menetralkan wajahnya dengan setenang mungkin meski para pelamar kerja lainnya menatap sinis ke arahnya dengan sedikit desas-desus.

Petugas tersebut membuka map dengan enggan, dia berdecak kesal karena menambah pekerjaan saja yang memperlambat proses administrasi.

Hananan tidak peduli nada sumbang di belakang, mereka menertawakan namanya yang tidak berkelas dan kampungan. Terlebih sebuah nama tanpa arti, hana nan.

"Orang tuanya kayaknya enggak ngarep dia lahir deh, enggak mau capek-capek cari satu nama saja haha."

"Kasihan namanya begitu, coba dikasih nama Maemunah saja ya, ha ha," timpal yang lain.

Ini bukan kali pertama dia ditertawakan, dicemooh dan dicibir oleh si pendengar ketika namanya disebut. Sudah berulang kali, hingga dia lelah sendiri untuk mengulangi namanya bahkan sukar untuk menanggapi olokan mereka.

Sejak SD hingga lulus kuliah, dia terus saja dicecar oleh candaan yang membuat mereka saling menertawakan dirinya karena memakai nama tanpa arti menurut bahasa Aceh.

"Coba tanya sama mamakmu kenapa namamu begitu, diganti saja sebelum lulus," anjur sang guru ketika Hananan duduk di kelas enam SD.

Hananan pernah bertanya beberapa kali, tetapi respons sang ibu tidak membuatnya puas.

"Sudahlah, kenapa sekarang kamu permasalahkan nama itu. Kamu mau katain ibu katro juga? Bersyukur masih bisa orang memanggilmu dengan nama itu. Kamu punya biaya untuk mengurus KK, akte kelahiran ulang? Mana kantor penduduk di kota, lihat adik-adikmu masih sekolah juga."

Sejak saat itu Hananan tidak lagi menyinggung namanya pada sang ibu. Dia pasrah dengan nama yang menjadi identitas, dan tidak acuh pada teman-temannya yang membullynya hingga melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi.

Kehidupan sederhana bersama orang tua yang bekerja sebagai petani, tiga adik-adiknya yang perlu biaya untuk sekolah membuat Hananan tidak menuntut banyak pada mereka. Bahkan dia harus ikut membantu kedua orang tua ke kebun, mengumpulkan pinang, mengupasnya lalu menjual ke pasar agar bisa membayar biaya sekolah untuk dirinya juga sang adik-adiknya.

Hananan hampir saja tidak bisa melanjutkan kuliah jika dia tidak bekerja sampingan selagi menjadi mahasiswi.

"Kamu ngapain kuliah, bantu ibu ke kebun saja. Lihat adik-adikmu namatin sekolah saja susah. Mending uangnya buat mereka, kamu anak tertua jangan mementingkan diri sendiri."

"Sekarang kamu menyesal kan, kuliah tinggi-tinggi, habis biaya eh enggak kerja juga sampai sekarang."

"Ke ruang 14 A, cepat minggir kamu membuat mereka mengantri lama saja," hardik petugas seraya mengetuk meja dengan penggaris.

Hananan berjalan menuju ruang 14 A, sebentar lagi dia akan mengikuti tes interview agar bisa lolos tahap awal dan lanjut tahap berikutnya supaya menjadi karyawan di kantor Perum BULOG, Cabang Sigli.

🍂🍂🍂

Dua jam lebih dia baru sampai di rumahnya, bukan sambutan yang diterima ketika dia mengetuk pintu seraya memberi salam melainkan sebuah pertanyaan yang mencibir dari sang Ibu.

"Tidak lulus juga? Apa aku bilang, percuma melamar pekerjaan kalau enggak punya orang dalam."

Hananan mencium telapak tangan Ibunya sebelum menaruh sepatu di tempat penyimpanan.

"Doakan lulus tahap awal, Bu. Ayo masuk, ini ada Ana belikan makanan," ajak Hananan yang lebih suka menyebut dirinya Ana jika diartikan dalam bahasa Arab bermakna saya, kosa kata yang dia ambil dari namanya juga.

"Beli apa kamu? Banyak uang sekarang, ya," cibir Ibu sambil menarik kantong berwarna putih di tangan Hananan.

"Kakak sudah pulang? Yeay bawa makanan!" seru adik bungsu diikuti dua adik lainnya yang sejak tadi sibuk dengan ponsel, bahkan tidak bangkit dari tempat duduk mereka untuk menyalami Hananan.

"Ambil satu-satu," anjur Ibu.

"Kakak menikah sajalah sama Bang Salim itu, enggak perlu capek lamar kerja," celetuk Tika, adik pertama.

"Iya Kak, dia kan anak toke Beureunuen, nanti kami bisa menginap di sana kalau sudah kuliah di Sigli," timpal Tiwi, adik keduanya ikut mendukung saran kakaknya barusan.

"Kakakmu jual mahal, nanti jadi perawan tua baru menyesal," cela Ibu seraya menarik kursi.

"Ana mandi dulu ya, Bu, belum shalat magrib," pungkas Hananan menyudahi pembicaraan yang menyudutkannya. Dia berjalan menuju kamar yang berukuran kecil itu, tetapi harus berbagi dengan Tya karena kamar ke tiga ditempati oleh dua adik kembar, karena itu dia lebih akrab dengan Tya yang masih duduk di kelas empat SD.

Hananan tidak langsung bangkit di atas sajadah setelah salam ke dua. Dia berdoa memohon kepada Sang Kuasa agar diberikan kesehatan dan rezeki yang berlimpah, halal, serta berkah supaya bisa membahagiakan kedua orang tua juga adik-adiknya.

Tiga hari lagi akan diumumkan siapa saja yang berhak lolos ke tahap tes selanjutnya. Dia berharap agar namanya masuk dalam daftar beruntung tersebut. Meski jarak dari rumahnya ke Kabupaten lebih kurang dua jam, tetapi semangatnya tak pernah pudar. Dia akan berangkat usai shalat subuh, menunggu bus yang beroperasi di pagi hari agar tidak telat sampai ke Sigli.

Hananan juga mendoakan agar hati ibunya dilembutkan supaya mendoakan dia dengan kebaikan, bukan dengan kata-kata pahit yang menyakitkan.

Bukankah doa ibu adalah anak panah yang melesat begitu cepat? Lalu, kenapa ibunya berbeda? Hananan butuh ridha ibunda agar dia bisa mudah melangkah di setiap perjalanan hidup ini.

Hananan memang bisa merasakan perbedaan kasih sayang yang ditunjukkan kedua orang tuanya kepada dirinya, tetapi dia tidak pernah iri kepada sang adik-adik.

"Kak, sudah makan?" Tya masuk dan langsung duduk di atas tempat tidur.

Hananan melepaskan mukena, lalu menyimpannya.

"Sudah, kamu sudah makan?"

"Sudah, Kak. Enak banget burgernya. Makasih, ya."

Hananan mengelus rambut ikal Tya. "Ada PR? Kerjain dulu!''

"Iya, Kak. Tya bakal rajin supaya bisa kayak Kakak selalu juara dan bawa pulang piala," ucap Tya bersemangat lantas bangkit menuju meja belajarnya yang dibelikan oleh Hananan tahun lalu.

Hananan menatap piagam perhargaan di atas meja belajar milik Tya. Meski dia menjadi siswi berprestasi, sering juara setiap ujian dan mengikuti olimpiade, tetapi tak lantas membuat ibunya bangga ketika dia membawa piala ke rumahnya.

"Untuk apa ini, bisa dijual?" cela ibunya ketika Hananan menyatakan dirinya menjadi juara umum, bahkan dia terpaksa harus melepaskan beasiswanya ke Banda Aceh karena tidak mendapatkan izin dari Ibu.

"Siapa yang jaga adikmu kalau kamu ke Banda? Tika dan Tiwi masih sibuk kuliah, mereka enggak bisa ke kebun, kamu sengaja mau santai di Banda biar enggak berkebun lagi?"

Hananan punya banyak mimpi, salah satunya sang ibu bisa tersenyum dengan bahagia ketika menatapnya seraya berkata, aku bangga padamu.

Sesederhana itu, kata yang dia rindukan sejak kecil.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku