Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
"Anna...." Aku menoleh dengan malas, melihat siapa sih yang manggil dengan ngegas itu. Heran juga, kenapa suara itu bisa menelusup ke telinga yang kusumpal headset dengan volume full.
Andhika menghampiri mejaku yang tepat berada di depan meja guru. "Ada hadiah buat lo", katanya sambil meletakkan kotak persegi panjang yang terbungkus kado bercorak hati di atas bukuku.
"Dari siapa?" tanyaku tanpa mengalihkan mataku dari buku.
"Nggak tau, secret admirrer lo mungkin," Jawab Andhika. Cowok yang menjabat sebagai ketua kelas itu menyenderkan tubuhnya di meja guru.
"Jangan didudukin, kualat lo. Ilmu lo nggak berkah." Semburku saat tau Andhika menaikkan pantatnya mencoba duduk di meja itu.
"Tolong bukain dong." pintaku.
Dengan senang hati, Andhika langsung membuka kotak itu dengan tergesa. Lalu matanya berbinar cerah mendapati tiga batang coklat Silverqueen.
"Coklat Na..."
"Buat lo aja." kataku dengan masih menarikan pulpenku di atas kertas.
Sontak temanku yang lain berhamburan mengerubungi Andhika, mau dapat jatah coklat juga. Aku cuma geleng-geleng kepala.
Aku nggak suka coklat, makanya ku kasih saja sama yang suka coklat. Disisi lain, yang ngasih kado itu juga nggak jelas. Nggak ada namanya dari siapa, dan yang lebih nggak jelas lagi, nggak ada namaku yang katanya jadi penerima. Jadi kadang, aku nggak percaya sih kalo itu kado buat aku.
Kado itu nggak sekali dua kali dibawa Andhika lalu dikasih ke aku. Andhika dapatnya dari satpam sekolah, dan satpam pun nggak tau siapa pengirim kado itu. Dugaanku sih, si Pak Satpam cuma pura-pura nggak tau aja, biar sosok misterius pengirim kado nggak terbongkar identitasnya.
Kalo aku sih, diterima aja lha wong dikasih. Katanya nggak baik nolak pemberian orang. Apalagi isinya yang bisa dimakan, sayang deh kalo dibuang.
"Makasih Anna...." ucap Doni, temanku yang juga mendapat jatah coklat.
"Yoi." jawabku pendek sembari terus menyalin materi dari handphone ke buku.
Kalo boleh jujur, aku bakal milih ikut temanku yang lain tiduran di belakang kelas. Menggelar tikar, menjadikan tas sebagai bantal, lalu alunan lagu jawa yang terdengar, anggap saja sebagai lagu penghantar rebahan. Kegiatan yang sangat berfaedah yang menjadi kebiasaan saat hari sudah siang, dimana matahari lagi terik-teriknya, dan AC nggak bisa mendinginkan udara.
Atau kalo enggak, ikutan nobar film horor sama segerombolan cowok di pojok kelas. Mantengin dua kubu pemuja ML dan PUBG juga bisa, atau mempercantik diri dengan touch up kayak yang dua temanku cewek lakukan.
Di siang yang lagi puncaknya gerah melanda, ditambah lagi cacing perut yang meronta minta diisi makanan, bukannya dijejali tugas seambrek yang dikejar deadline.
Aku emang nggak bisa cuekin tugas kayak temanku yang lain. Rasanya mengganjal kalo hura-hura tapi masih punya tanggung jawab yang harus diselesaikan.
Seenggaknya kerjain dulu, walaupun nggak sampai selesai karena lebih dulu dilanda rasa malas, lelah dan putus asa.
"Na...Anna..." Tarikan kecil di rambutku membuatku terpaksa menolehkan kepala ke belakang.
"Ada apa?" tanyaku dengan nada malas.
Wingki meringis, lalu cowok ini menggeliat, mengusir segala kepenatan yang melanda dirinya. Sebenarnya aku juga. Sudah lelah, malas dan putus asa buat melanjutkan nulis materi yang nggak kunjung usai.
"Kantin yuk. Gue traktir pop mi." tawarnya. Lalu dalam hati aku berkata, "Rejeki anak sholeh."
Wingki itu anak orang kaya. Tapi, dia nggak sombong, bahkan dia dermawan. Selalu ada disaat aku lagi nggak punya uang. Dengan rela bayarin foto copy soal-soal milikku pas aku gak bawa uang saku. Aku menganggap itu sebagai hutang, yang pasti akan kubayar. Tapi Wingki selalu nggak mau nerima uang pemberianku.
"Gue maunya mi sedap jinja pedas." Membayangkan kalo di suhu yang panas ini, makan mie pedas pasti bisa menghilang mumet di kepala.
Wingki membereskan buku-bukunya dan memasukkan ke dalam tas yang digantung di belakang kursi.
"Capcuss...." ujarnya sambil bangkit.
"Mau kemana lo berdua?" Andhika menghadang kami berdua tepat berada di depan pintu. Dengan mulut mengunyah coklat, kedua alis cowok itu naik menunggu jawaban.
"Gimana coklatnya, enak?" tanyaku. Andhika manggut-manggut. "Izinlah ke kantin, laper. Lo gak mau kan kalo gue pingsan disini?"
Si ketua kelas merenung, lalu merentangkan kedua tangannya. "Gue siap bopong lo ala bridal style ke UKS." Katanya penuh percaya diri.
"Bentar, nggak nyampe lima menit," Aku langsung menarik tangan Wingki, mengajaknya bergegas ke kantin, dan nggak memperdulikan Andhika.
Dulu, aku nggak pernah sekalipun memikirkan kalo aku bakal sekolah di SMK Negeri favorit di kotaku. Masuk jurusan TKR dengan modal nekat dan yakin, itupun enggak dari keinginanku.
Aku cuma iseng mencoba, apa nilai ujian Nasional SMP ku berharga di jurusan itu. Enggak berharap banyak juga, mengingat kalo aku lulusan SMP swasta dan bisa masuk ke SMK Negeri.
Pertama masuk kelas aku lumayan syok, mendapati murid satu kelas berkelamin laki-laki. Tapi ke terkejutanku mereda pas datang dua cewek yang ternyata satu kelas juga denganku. Seenggaknya aku nggak cewek sendirian di kelas.
Berteman dengan para cowok ternyata nggak seseram kelihatannya. Cukup asyik, dan nggak banyak drama. Nggak ada iri-irian kalo misalnya teman yang lain punya barang baru, nggak nyinyir-nyinyir an kalo lagi rebutan pacar, tapi langsung tinju-tinjuan.
"Eh Na, lewat kelas boga ya?" Wingki itu cowok paling tinggi di kelas, jadi untuk melihat dia aku harus mendongak.
"Ngapain sih, kan muter-muter jadinya," Kataku nggak setuju.
Kantin berada di gedung sebelah kiri kelasku, tinggal jalan ke kiri, lalu menuruni tangga sudah sampai. Tapi Wingki malah mengajak muter, melewati lapangan, di siang yang panas begini.
"Mau caper ke ciwi boga lo ya?" Ledekku. Wingki tersenyum malu-malu. Aku nggak tau sih, bisa jadi Wingki punya pacar anak boga. Jurusan boga itu mayoritas muridnya cewek. Satu-satunya jurusan cewek yang ada di sekolah ini. Sering juga anak teknik kalo nggak lagi praktek, pasti nongkrong di kantin boga. Sering juga, kalo pas lagi praktek, anak boga memasarkan hasil masakannya ke anak mesin. Sekalian caper lah, pumpung masih sekolah. Katanya masa SMA masa yang paling indah.
"Cari mie di kantin boga aja."
Wingki menghentikan langkahnya tepat di anak tangga.
"Kenapa? Cem-ceman lo lagi magang disana?" Ledekku lagi.
Wingki itu mantan anggota klub basket. Keluarnya dia dari klub basket sangat disayangkan oleh para anggota yang lain, bahkan juga guru pembimbing. Dia kan tinggi, sekali loncatan pasti tangannya menggapai ring, tapi sayang dia memilih keluar karena katanya terlalu banyak latihan, dan banyak menyita waktu luangnya. Emang sih, klub basket disini kan yang paling diandalkan, karena beberapa tahun terakhir berhasil menggondol banyak piala kemenangan.