/0/24873/coverorgin.jpg?v=3bb5d9f52074eb9898689abd6ad7c196&imageMogr2/format/webp)
“Dasar anak tidak berguna!” Sebuah cambukkan mengenai punggung Kamila.
“Cari uang yang banyak, bukannya main!”
Lagi-lagi cambukkan itu Kamila rasakan dari tangan seorang lelaki berstatus Ayah Kandung.
“Maaf, Yah,” ujar Kamila dengan wajah tertunduk dan duduk lesu di atas lantai.
Pak Angga –Ayah Kandung Nina—mengangkat wajah anaknya. Mencekik dengan kencang, sehingga sang Anak sulit mengambil napas. “Lo, itu dilahirkan buat cari uang! Bukan buat main-main nggak jelas!”
Bu Lesti menangis di atas kursi roda. Tak bisa berbuat apa-apa saat anak semata wayangnya disiksa sang Suami.
“I-iya, Ayah.” Kamila hampir kehilangan napas. Cekikan ini terasa kuat untuknya. Untung saja sang Ayah hanya melakukan penyiksaan itu sebentar. Begitu terlepas, ia langsung menghirup udara dengan rakus.
Telunjuk kanan Pak Angga menuding. "Awas, kalau gue lihat lo lagi main! Jangan harap gue lepasin, lo!"
Kamila mengangguk pelan. "Baik, Ayah."
"Mana duit? Gue butuh buat minum malam ini."
"Aku nggak ada uang, Yah."
"Halah, bohong!" Pak Angga merogoh saku baju anaknya. Menemukan selembar uang pecahan lima puluh ribu. "Katanya nggak ada uang! Ini apa? Daun!"
Kamila tersentak. Berusaha merebut uang sisa yang dimilikinya. "Jangan, Yah. Itu buat beli obat Ibu hari ini." Tangannya berusaha menggapai. Akan tetapi, karena tenaganya tak bagus. Ia kalah.
Pak Angga kembali mencambuk punggung Kamila, lalu pergi dengan membawa uang yang didapatkannya.
Tangis Kamila pecah disaksikan sang Ibu Kandung yang duduk di kursi roda karena lumpuh. Ia berusaha kuat. Menahan semua tekanan batin ini asalkan ayahnya tidak menyiksa sang Ibu.
"Sayang, maafin Ayahmu," kata Bu Lesti. Setetes air mata yang keluar dari netra Bu Lesti berubah menjadi deras. Setiap hari penyiksaan ini berlangsung dan sudah hampir setahun. "Kamu yang kuat, Nak."
Dada Kamila sesak. Rasa sakit di punggung sudah bukan hal luar biasa. Bahkan seluruh badannya pun dipenuhi luka.
Bu Lesti mendorong kursi rodanya. Menghampiri Kamila dan menyentuh pucuk kepala sang Anak. "Nak, kalau kamu nggak kuat. Tinggalkan Ibu aja. Ibu, in syaa Allah bisa bertahan."
Kamila menggelengkan kepala. Ia tak boleh menyerah. Gadis itu mengangkat kepala, menatap netra ibunya yang basah karena air mata. "Aku nggak mungkin tinggalin, Ibu. Sampai kapan pun, aku bakal ada di sisi Ibu. Maaf, belum bisa bawa Ibu pergi dari sini. Kerja sampinganku cuma cukup untuk bayar kuliah dan biaya obat."
Hati Ibu mana yang tak teriris tipis menyaksikan anaknya sendiri terluka dan berjuang sendiri. Lelahnya bekerja dan belajar tidak dapat sambutan baik di rumah. Kamila justru disuguhkan penyiksaan yang luar biasa.
Bu Lesti memegang kedua tangan anaknya. Menyatukannya dengan lembut. "Ibu, berdoa semoga hidupmu kelak bahagia. Bisa bertemu laki-laki baik yang menjagamu. Jaga diri baik-baik, Sayang. Kamu wanita berharga."
Kamila mengangguk pelan. Ia menyembunyikan wajah sendunya di pangkuan sang Ibu. Melepas jerit tangis dan meluapkan sakit di sekujur tubuhnya.
Hari-hari berlalu dilewati Kamila seperti biasa. Kuliah, bekerja di minimarket sampai jam delapan malam, dan pulang dengan perasaan was-was.
Tak jarang ia pun harus sarapan dengan pukulan dari sang Ayah yang baru saja pulang minum dengan teman-temannya.
"Mana makanannya?" Pak Angga melempar tudung saji yang berada di meja. Pasalnya, ia tidak melihat satu butir nasi pun di meja itu. "Kamila!"
Teriakan itu membuat Kamila yang sedang mengganti pakaian Bu Lesti terpaksa harus berhenti. Ia keluar kamar, mengayunkan langkah ke arah dapur dan melihat sang Ayah yang tak bisa mengendalikan emos
"Ayah," kata Kamila.
Gadis itu hendak mengambil tudung saji, tetapi ayahnya lebih dahulu menangkap tangan kanannya. Mencengkram kencang.
/0/6261/coverorgin.jpg?v=89aecf99963c4dc0679f05c775639dce&imageMogr2/format/webp)
/0/5643/coverorgin.jpg?v=5efec7b5d23dc565a11d844ccfcf32f2&imageMogr2/format/webp)
/0/6103/coverorgin.jpg?v=1ef3314fd99a3a1b8b32990b9a885025&imageMogr2/format/webp)
/0/4354/coverorgin.jpg?v=ecb7c02caea887179aa0ed024447d116&imageMogr2/format/webp)
/0/4760/coverorgin.jpg?v=5b5d159c31f41b5b4c23c4a193c5afd1&imageMogr2/format/webp)
/0/22397/coverorgin.jpg?v=f499664c12913d8df592fd3731f46cc0&imageMogr2/format/webp)
/0/26240/coverorgin.jpg?v=662fe648190aa082e7081b5f60cf8b56&imageMogr2/format/webp)
/0/10813/coverorgin.jpg?v=748f1fe0beef96412cd6727bbe66147d&imageMogr2/format/webp)
/0/13864/coverorgin.jpg?v=65cd4992d93acf0e7fb3ae0dc0f9d9fa&imageMogr2/format/webp)
/0/14040/coverorgin.jpg?v=e2468d2e6fe1987cb823e8cf9614f31e&imageMogr2/format/webp)
/0/22203/coverorgin.jpg?v=aa5c4d394e5c161d72f1fae229d0327c&imageMogr2/format/webp)
/0/24649/coverorgin.jpg?v=4dc5c1c9bfbbc7c81ce4b79fb2018b63&imageMogr2/format/webp)
/0/28795/coverorgin.jpg?v=bc9886bdf6a06f6c3f6f1537fdcf11fe&imageMogr2/format/webp)
/0/15682/coverorgin.jpg?v=309d2c68cdf00ae1a052e743831ec10a&imageMogr2/format/webp)
/0/18360/coverorgin.jpg?v=0b2e1603fbce88128ccb2ce7e9ed3e5d&imageMogr2/format/webp)
/0/6715/coverorgin.jpg?v=17cb27d8f6b2bed7165645b85523623f&imageMogr2/format/webp)
/0/9030/coverorgin.jpg?v=20250122135841&imageMogr2/format/webp)
/0/7183/coverorgin.jpg?v=2c7413fa5623c226eb15c56a42383ec6&imageMogr2/format/webp)