/0/12863/coverorgin.jpg?v=01781a4c11a73d5c2378bb441d2543b1&imageMogr2/format/webp)
Kehidupan Hana dan Arya tampak begitu sempurna. Setiap pagi, Hana menyiapkan sarapan di dapur yang dipenuhi aroma kopi dan roti panggang. Arya duduk di meja makan, tersenyum sambil membaca koran atau mengecek berita dari ponselnya. Pagi mereka selalu hangat, penuh canda tawa, dan semua orang di sekitar mereka menganggap keluarga kecil ini sebagai pasangan ideal.
Namun, belakangan ini Hana mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda. Arya, yang biasanya sangat perhatian, kini sering tampak larut dalam pikirannya sendiri. Dia sering pulang terlambat, beralasan pekerjaan yang semakin sibuk, atau proyek besar yang butuh perhatian ekstra.
Suatu pagi, saat Hana menyuguhkan kopi seperti biasa, Arya terlihat kurang antusias.
"Kopi hitam, tanpa gula. Seperti biasa, Pak Arya yang sibuk," Hana mencoba menggoda, berharap bisa mencairkan suasana.
Arya tersenyum singkat, namun tidak seperti biasanya. Senyumnya terlihat samar, dan ia lebih banyak menunduk pada layar ponselnya.
"Terima kasih, Sayang," jawabnya singkat sambil menyeruput kopi.
Hana memandangnya lekat-lekat, merasa ada yang ganjil. Tapi ia menahan diri, berusaha meyakinkan hatinya bahwa ini hanya lelah biasa. Namun, instingnya berkata lain.
"Kamu baik-baik saja, Arya?" Hana akhirnya memberanikan diri bertanya. "Akhir-akhir ini kamu terlihat... berbeda."
Arya menghela napas, menatap Hana sejenak sebelum kembali fokus ke ponselnya. "Hanya kerjaan, Han. Ada proyek baru yang cukup bikin kepala pening."
Hana mencoba tersenyum dan mengangguk. Tapi perasaan aneh itu tak hilang, malah semakin besar. Arya biasanya suka bercerita tentang pekerjaannya, detail kecil yang ia tak sabar untuk bagi pada Hana. Tapi sekarang, jawaban Arya terasa menghindar, seakan ada sesuatu yang dia sembunyikan.
Beberapa hari kemudian, rasa gelisah Hana semakin menjadi. Saat dia merapikan pakaian Arya di lemari, ia melihat dasi yang belum pernah dilihatnya sebelumnya, dengan motif yang lebih mencolok dari pilihan Arya biasanya.
"Mungkin aku yang lupa atau mungkin ini hadiah dari seseorang?" pikirnya dalam hati. Tapi, rasa penasaran itu terus mengusiknya.
Sore itu, Hana memutuskan untuk berbicara dengan sahabatnya, Rina, di sebuah kafe dekat kantor Rina. Rina sudah mengenal Hana sejak lama, dan selalu menjadi tempat Hana curhat.
"Aku tahu mungkin ini hanya perasaanku, Rin," ujar Hana, sambil menyesap teh hangatnya. "Tapi aku merasa Arya berubah. Dia makin sering pulang telat, sering lihat-lihat ponsel, dan... entahlah. Aku merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan."
Rina mengerutkan dahi, mencoba menenangkan sahabatnya. "Mungkin kamu hanya terlalu khawatir, Han. Arya memang lagi sibuk banget kan? Kalau dia nggak pulang malam, itu malah aneh."
Hana tertawa kecil, tetapi tak sepenuhnya terhibur. "Iya sih, tapi kali ini beda, Rin. Bukan cuma soal pulang telat. Dia jadi tertutup. Aku coba nanya, dia cuma bilang soal proyek baru dan nggak mau cerita lebih."
Rina menatap Hana dengan cermat, lalu menggenggam tangannya. "Han, kamu tahu, komunikasi itu kuncinya. Kalau kamu merasa ada yang nggak beres, kamu bisa coba bicara lagi sama Arya. Tapi... pelan-pelan, ya?"
Hana mengangguk pelan. "Mungkin aku terlalu paranoid, ya?"
Malamnya, Hana menunggu Arya pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan belum ada kabar dari Arya. Perasaannya mulai tidak menentu. Setelah dua jam berlalu, Arya akhirnya tiba di rumah, terlihat lelah dan sedikit terkejut melihat Hana yang masih terjaga.
"Kenapa belum tidur?" tanya Arya, menaruh tas kerjanya di sofa.
Hana mencoba tersenyum, meski terasa getir. "Aku nunggu kamu. Kamu baik-baik aja, kan?"
Arya tersenyum kecil, dan menepuk pundaknya. "Iya, tentu saja. Jangan khawatir, Han. Semua baik-baik saja."
Namun, Hana tahu sesuatu tidak seperti biasanya. Meskipun ia ingin memercayai kata-kata Arya, bayang-bayang ketidakpastian terus menghantuinya. Di balik senyum manis dan kata-kata hangat, ada kabut yang semakin tebal menyelimuti kebahagiaan mereka.
Hana berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja. Ia mencoba mengabaikan pikiran-pikiran negatif yang berseliweran di kepalanya. Namun, malam itu, ia tak bisa memejamkan mata. Ada perasaan gelisah yang tak dapat ia abaikan, seakan nalurinya mencoba memperingatkan sesuatu.
Pagi harinya, saat sarapan, suasana kembali terasa canggung. Arya tampak lebih banyak terdiam dan hanya sesekali melempar senyum seadanya. Hana mencoba bersikap biasa, tapi kegelisahannya terus meningkat. Di tengah suasana yang aneh itu, Hana tiba-tiba teringat sebuah acara pernikahan akhir pekan nanti.
/0/20602/coverorgin.jpg?v=d75af516ce6fb953d1ae24f7069b49dd&imageMogr2/format/webp)
/0/18648/coverorgin.jpg?v=f31a92930e18c8e7fa3786c20bae9d2f&imageMogr2/format/webp)
/0/28595/coverorgin.jpg?v=cc370ef253bdb5c2636bd21d34393e13&imageMogr2/format/webp)
/0/21121/coverorgin.jpg?v=bee36f504864146c898793df8909b8a0&imageMogr2/format/webp)
/0/3467/coverorgin.jpg?v=526864a4342f26f6a9b70352d999bf13&imageMogr2/format/webp)
/0/10727/coverorgin.jpg?v=4eb24ffd02e72b0564aca571fd2e35f1&imageMogr2/format/webp)
/0/27626/coverorgin.jpg?v=c16d6becab58d3bd04c34b5bb7c29c3d&imageMogr2/format/webp)
/0/26864/coverorgin.jpg?v=a9a6971efe5b936b2c7adbf456993ce9&imageMogr2/format/webp)
/0/27430/coverorgin.jpg?v=3860a8d27d361bdcbc04f106f9c7e578&imageMogr2/format/webp)
/0/19514/coverorgin.jpg?v=8129e08c5be673a953fc32d0071ef17d&imageMogr2/format/webp)
/0/6103/coverorgin.jpg?v=1ef3314fd99a3a1b8b32990b9a885025&imageMogr2/format/webp)
/0/20082/coverorgin.jpg?v=5d2809df48ebf1920c3bf5ca6292bba0&imageMogr2/format/webp)
/0/26866/coverorgin.jpg?v=61d48a61e59f46241004869e31b436c0&imageMogr2/format/webp)
/0/5195/coverorgin.jpg?v=85a162f7c170b2aebbda49a0c031e545&imageMogr2/format/webp)
/0/20079/coverorgin.jpg?v=bf2c6d1a33f67ca837dd91dd9c25cda5&imageMogr2/format/webp)
/0/8337/coverorgin.jpg?v=502381ba3eb3a2d44a7b59972f01a83c&imageMogr2/format/webp)
/0/28654/coverorgin.jpg?v=c43b1a97bc533e77745f248482033d9b&imageMogr2/format/webp)
/0/27031/coverorgin.jpg?v=4e298f275dec6303d13105278c295c08&imageMogr2/format/webp)