Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Ayu melangkahkan kaki perlahan menghampiri Arlita yang sedang duduk di salah satu bar sambil menikmati vodka. Dentuman musik menggema di seluruh ruangan yang sengaja di-booking untuk Birthday’s Party Ananda Putera Perdanakusuma, kekasih dari Arlita Holsler sekaligus sahabat baik Sonny Pratama.
Ayu sengaja datang untuk mewakili Sonny karena tunangannya itu masih berada di kota Jakarta. Pekerjaannya sebagai dokter muda, membuat Sonny tak bisa kembali ke Surabaya dan memberikan selamat pada sahabat baiknya yang sedang merayakan ulang tahun ke-24.
“Lit, Nanda mana ya?” tanya Ayu sambil membawa kotak kado di tangannya. Ia sudah celingukan sejak masuk ke bar tersebut. Tapi tak menemukan sosok Nanda, pria yang sedang merayakan ulang tahun di bar yang ada di salah satu hotel ternama di pusat kota Surabaya.
“Nanda? Lagi main sama temen-temennya kali. Coba aja tanya ke yang lain!”
“Kamu ini pacarnya, kenapa nggak tahu ke mana perginya Nanda?”
“Emangnya aku disuruh ngintilin Nanda dua puluh empat jam? Yang ada, dia eneg dan sebel sama aku. Kayak nggak tahu Nanda aja. Dia mana mau diganggu kalau lagi sama temen-temennya,” sahut Arlita sambil menenggak vodka di hadapannya. “Minum dulu, Ay!”
Ayu melirik arloji di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Andai ia tidak dipaksa lembur oleh atasannya, ia tidak mungkin tiba semalam ini. Untungnya, pesta ulang tahun Nanda memang dibuat sampai pagi. Jadi, ia masih punya waktu untuk memberikan hadiah yang sudah ia pilih bersama Sonny.
“Minum dulu, Ay! Nanda marah loh kalau kamu nggak menghargai dia. Pesta semewah ini, harus kamu nikmati!” Arlita merangkul tubuh Ayu sambil menyodorkan segelas vodka.
Ayu tersenyum kecil. Ia meletakkan kotak kado yang ia bawa ke atas meja dan meminum segelas vodka yang disodorkan Arlita. “Lit, aku nggak bisa lama-lama. Ini udah malem banget. Kamu tahu, aku nggak nyaman ada di pesta kayak gini.”
Ayu mengedarkan pandangannya. Semua orang di sana menari bebas sambil minum alkohol. Terlihat sangat bahagia dan riang gembira. Bahkan, ada beberapa wanita yang dengan bangga memperlihatkan tubuhnya yang dirayapi oleh tangan-tangan nakal para pria yang ada di sana.
“Ay, kamu ini udah dewasa. Kenapa sih masih kuno aja? Eh, Sonny juga nggak datang ke kota ini ‘kan? Kamu pilih satu cowok yang ada di sini dan bersenang-senang!” pinta Arlita. “LDR itu nggak enak. Apa enaknya pacaran cuma lewat video call doang?”
Ayu mengedikkan bahunya. “Nggak, Lit. Aku harus ngantor lagi besok pagi. Nggak bisa tidur terlalu larut.”
“Hei, kamu pemburu dollar banget, sih? Besok hari Minggu, Sayang. Buat apa sih kerja terus?”
“Ini last month, Lit. Di kantor selalu sibuk untuk closing data bulanan. Bos nyuruh aku lembur,” jawab Ayu .
“Hmm ... iya, deh. Kalau bisa, kamu cari pacar yang banyak duitnya dan royal kayak Nanda. Nggak perlu kerja keras. Kamu bisa bersenang-senang setiap hari pakai uang pacar kamu!”
Ayu tertawa kecil. “Kamu ini ada-ada aja. Aku masih setia sama Sonny. He is a best man for me.”
“Hahaha. Iya, iya. Tujuh tahun LDR, masih setia aja. Kalo aku, udah punya banyak selingkuhan, Yu,” sahut Arlita sambil menenggak vodka di hadapannya. Ia kembali menyodorkan satu gelas vodka ke arah Ayu . “Minum lagi!”
“Aku nggak bisa minum banyak. Aku cari Nanda dulu, ya! Mau kasih kado ini untuk dia. Soalnya, Sonny nggak bisa balik. Aku harus kasih hadiah ini secara langsung ke dia.”
“Minum sekali lagi, Yu! Aku udah capek nuangin minuman ini buat kamu. Kamu nggak menghargai kerja kerasku?” sahut Arlita.
Ayu menghela napas. Ia meraih gelas vodka dan langsung menenggak habis minuman tersebut.
“Wah ...! Ayu keren! Lagi! Lagi!” seru beberapa wanita yang muncul di belakang tubuh Arlita.
Ayu menggelengkan kepalanya. Meski ia sudah mengenal Arlita sejak duduk di bangku SMP, tapi ia tidak begitu dekat dengan wanita itu. Gaya hidup Arlita yang suka mabuk-mabukkan, membuatnya tak nyaman. Ia selalu mengingat pesan bundanya untuk menjaga jarak dengan Arlita meski mereka berteman sangat lama.
“Aku pergi dulu, Lit!” pamit Ayu . Ia buru-buru menyambar kotak kado yang ia letakkan di bar table. Kemudian bergegas pergi. Menyelinap di antara keramaian untuk mencari keberadaan Nanda sambil menahan pening di kepalanya karena reaksi vodka yang ia minum.
“Angga, kamu lihat Nanda?” tanya Ayu sambil menghampiri Angga dan beberapa teman sepergaulan Nanda yang sedang berkumpul di salah satu meja.
“Nanda? Lagi ke kamar hotel. Katanya mau ganti baju karena ketumpahan bir,” jawab Angga sambil mengacungkan jarinya ke atas. Bar tersebut memang berada di salah satu hotel. Tak heran jika Nanda juga menginap di hotel tersebut.
“Tahu nomor kamarnya?” tanya Ayu .
“Kamar tiga dua empat,” jawab Angga sambil menatap tubuh Ayu yang berdiri di hadapannya.
“Makasih, Ngga!” Ayu berbalik. Ia buru-buru melangkahkan kakinya keluar dari bar tersebut. Waktu sudah semakin malam, ia harus bergegas pulang ke rumah dan beristirahat. Ia tidak ingin pergi ke kantor dengan mata panda karena kurang tidur.
“Ngga, itu ceweknya si Sonny ‘kan?” tanya salah seorang pria yang bersama Angga.
Angga mengangguk.
“Cantik banget, Ngga. Kenapa mau sama Sonny yang biasa aja?”
Angga mengedikkan bahu. “Mereka udah pacaran lama banget. Roro Ayu itu bukan cuma cantik, tapi juga kaya raya dan baik hati. Dari Sonny nggak punya apa-apa sampai bisa jadi dokter, dia selalu nemenin cowok itu berjuang. Beruntung banget si Sonny dapetin dia.”
“Emang bener, sih. Cewek baik emang untuk cowok yang baik. Nggak mungkin cewek baik-baik mau sama cowok bajingan kayak kita-kita. Hahaha.”
“Stok cewek baik di dunia ini makin menipis. Andai aja si Roro mau sama aku, udah aku jadikan istri. Nggak perlu jadi pacar,” sahut Angga.
“Hahaha. Jangan ngimpi!”