Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
“Zein... mengapa kamu meninggalkan aku? apa kamu tahu bahwa aku sangat membutuhkanmu Zein,”
ratap Inda pada pria tampan yang telah menghilang selama 2 tahun silam.
Hari itu begitu indah, cerah nan sejuk, yang terlihat hanya pemandangan alam dengan kabut putih yang
tersorot cahaya matahari.
Inda berjalan menyusuri taman bunga yang terhampar sejauh mata memandang. Ia
duduk di kursi kayu tepat di bawah pohon yang daunnya berwarna kemerahan, entah
pohon apa namanya, hanya pohon itu yang berada di taman bunga tersebut.
Pria tampan dengan rambut sedikit panjang, bagian depan terbelah dua ala
Angga Yunanda, kulitnya putih,
tubuhnya tinggi berisi,
semakin terlihat perfect dengan outfit kaos dan celana jeans yang saat ini ia kenakan..
Pria itu menghampiri
wanita yang tengah duduk menatapi bunga, mengikutinya duduk seraya menggenggam tangan wanita di sampingnya.
Sambil menatap pria itu dalam-dalam dan membalas genggamannya. Tak terasa suaranya terdengar terisak pilu Llu merebahkan kepalanya di
bahu seorang pria yang baru saja datang menemani kesedihannya.
“Inda, aku tidak akan pernah membiarkanmu tersakiti, aku tetap bersamamu
disini. Maaf saat itu
aku harus pergi, karena cita-citaku belum tercapai. Aku selalu menyayangimu,
aku ingin terus bersamamu,” jelasnya sambil memegang tangan Inda dan tatapan
yang penuh kasih.
“Tapi sekarang aku sudah menikah Zein! Tidak ada gunanya kamu menyatakan
cinta lagi,” ujarnya, matanya menatap sendu pada Zein.
“Aku akan tetap menyayangimu!” kekeh Zein meyakinkan.
Air mata Inda terus berderai, mengingat Zein adalah pria impian yang selalu
membuatnya bahagia. Namun sayang, ia sirna, tenggelam di dalam lautan.
“Astaghfirullahal adzim!” kumandang subuh menyadarkan Inda dari mimpinya.
“Huff... memang pria impian,” lirihnya sambil menghela nafas.
Di sampingnya terlihat pria lain yang masih tertidur pulas.
Benar, aku
sudah memiliki suami, yang lebih tampan dan menawan dari Zein. Gumamnya dalam
hati sambil tersenyum
memandangi Jidan, pria halalnya.
***
Rutinitas harian mereka sangat padat, hingga membuat mereka sulit untuk
saling bercerita. Hanya menjelang
tidurlah kesempatan keduanya untuk berbagi cerita tentang hari ini, hingga hal
yang tidak penting sekalipun.
“Mas... Apa Mas
sudah mulai bicara dengan Umi dan Abi soal kita ingin melanjutkan S2 kita di
Mesir Mas?” tanya Inda yang sedang duduk di meja rias sambil menyisir
rambutnya, ia memulai
percakapan.
“Sudah. Tapi tanggapan mereka masih seperti
itu. Besok coba Mas bicarakan lagi dengan Abi,” jawabnya sambil
merebahkan diri di bad ranjang.
“Oke Mas, tapi... tolong yakinkan mereka ya Mas,” pinta Inda mulai bermanja.
“Iya Sayang... Mas akan usahakan. Sini tidur, jangan
bersolek terus,” goda Jidan sambil menepuk bad ranjang sebelahnya yang masih
kosong.
Esoknya, sepulang mengajar di pesantren milik abinya, Jidan mampir terlebih
dahulu ke rumah kedua orang tuanya atau para santri menyebutnya dengan Ndalem.
“Assalamu’alaikum Umi,” ucapnya sambil mendekatkan wajah ke sela-sela pintu
kayu.
Tanpa mengetuk pintu, beberapa detik ia menunggu jawaban, lalu
mengulanginya sekali lagi, hingga terdengar suara yang mendekat dari
balik pintu tersebut.
“Wa’alaikumussalam Nak, masuk Nak, kebetulan kami lagi mempersiapkan makan
siang nih,” jawab wanita paruh baya yang tengah membukakan pintu untuk
putranya.
Kemudian Jidan mencium tangan wanita paruh baya yang terlihat masih cantik di umurnya yang sudah menginjak angka
lima puluh. Harum tangannya masih tetap sama, parfum Sabaya dari Mekkah
yang selalu membuatnya
terngiang-ngiang saat di Mesir lalu.
Jiddan berjalan menuju ruang keluarga, mendekati abinya yang sedang
duduk di sofa, Dengan pakaian sederhana, dikhiasi tasbih yang selalu berputar
di tangan kanannya, membuat aura wibawanya begitu terpancar.
Jidan mulai menyampaikan niatnya pada kyai yang berwibawa di depannya
tersebut. Setelah semua tersampaikan, tidak menunggu lama dan basa-basi, kyai
Nur langsung menanggapinya.
“Umi sudah bercerita pada Abi soal kalian ingin ke Mesir, Umi setuju, tapi
menurut Abi, tetaplah di sini Jidan, pesantren ini kamu yang kembangkan, kalau
kamu berkenan lanjutlah s2 di dekat sini saja, agar kalian masih bisa membantu
Abi, kalian tahu sendiri, Umi khususnya Abi ini kan sudah mulai tua Nak,
cobalah pikir-pikir lagi,” tutur kyai Nur santai penuh harap.
Mendengar jawaban abinya, Jidan tidak bisa berkutik, mau tidak mau dia
harus mematuhi orang yang amat ia hormati itu, namun di sisi lain ia tidak ingin
mematahkan impian Inda yang ingin terus belajar di negri Kinanah sana.