/0/24873/coverorgin.jpg?v=3bb5d9f52074eb9898689abd6ad7c196&imageMogr2/format/webp)
Seharusnya pernikahan ini adalah pernikahan pertama dan terakhir untukku agar tiada lagi pernikahan kedua, ketiga, dan seterusnya. Tapi ternyata, di luar sana aku menemukan samudera yang luas dan tenang, meski orang bilang samudra itu dalam dan ganas. Apakah aku salah jika menantang diriku dengan melakukan dosa terindah dalam hidupku setelah sekian lama merasakan kebohongan demi kebohongan dalam bentuk ikatan cinta suci?
(-Zivanna Yahya-)
“Sayang, di mana pakaianku?”
“Sayang, di mana sepatuku?”
“Sayang, di mana kopiku?”
“Sayang, di mana kunci mobilku?”
“Sayang … Sayang … Sayang … Sayang.”
Hidup Zivanna Yahya serasa di taman kanak-kanak! Memiliki suami yang selalu bertanya tentang barang-barang miliknya hampir tiap hari membuat Zivanna hampir gila!
Rio Wibisono, laki-laki berusia 35 tahun yang bekerja sebagai dosen sejarah pada universitas ternama di Jakarta dan beberapa kali menjadi dosen tamu di luar Jakarta, tampan, hidung mancung, kulit kuning, potongan rambut selalu mengikuti tren masa kini, tak heran jika Rio menjadi buah bibir dan primadona tempatnya mengajar. Tak hanya itu, berulang kali mahasiswinya bahkan terang-terangan menyatakan perasaan mereka padanya, meski tahu ia telah beristri yang tentunya jauh lebih cantik dan pintar.
“Sudah kusiapkan di tempatnya masing-masing, Mas. Heran deh, masih aja tanya di mana … di mana … kaya lagunya Ayu Ting-Ting aja!” Zivanna Yahya, putri pertama keluarga Hernandi Joshua Yahya, arsitek muda yang menjanjikan sekaligus penikmat benda-benda seni lukis. Dia amat terobsesi dengan sesuatu yang berbau kewanitaan, hingga mendapat julukan Miss Feminis saat masih kuliah.
“Ya, kan itu tugasmu, Sayang. Apa iya kamu seharian mau duduk gambar aja, yang ada nanti ambeien plus sembelit, lho.” Canda Rio sambil menjulurkan lidahnya pada Zivanna yang sedang menggambar untuk proyek barunya.
“Namanya kang gambar, Mas ya harus duduk. Kalo kang parkir, kerjanya berdiri dan teriak-teriak,” balasnya santai.
“Hmmm, mulai. Iya … iya, deh. Emang susah kalau udah bicara sama ras terkuat di bumi,” celetuknya.
Zivanna yang sepintas mendengar ucapan Rio menghentikan laju pensilnya dan mengarahkan tatapan selidik. “Ngomong apa barusan?”
“Eh, e-enggak-enggak. Nggak ada kok, Sayang. Aku siap-siap dulu, ya.” Rio lari tunggang langgang karena tahu jika Ziva, begitu sang suami menyapa istri cantik dan manjanya sudah marah, apapun akan melayang.
***
Mousedeer : Kamu di mana? Kok jam segini belum datang? Aku udah di tempat biasa. Cepetan donk! Lama, ih! Kaya pejabat aja!
Mousedeer : Jangan-jangan kamu masih tidur, ya? Atau kelonan sama istri kamu yang manjanya setengah mati itu!
Mousedeer : Rioooooo!!!! Di mana kamu!?
Berulang kali bunyi pesan masuk di ponsel Rio mengusik gendang telinganya. Buru-buru dia melihat siapa yang mengiriminya pesan bak debt collector.
“Diani?” ujarnya pelan celingak-celinguk kalau-kalau Ziva dengar.
Me : Iya, bentar lagi, sabar sedikit lagi, ya.
“Aku harus buru-buru nih, kalau nggak bisa kena jatah omelan preman cantik.”
Rio segera menghampiri ruang kerja Zivanna yang tak jauh dari kamar inti mereka. Memberi kecupan kejutan dari belakang, Rio dengan senyum lebar berpamitan pada sang istri untuk mengajar.
“Jemput aku ya, Mas,” pinta Ziva.
“Kuusahakan ya, Sayang kalau nggak ada rapat atau ngisi kelas dadakan, soalnya ada dosen yang lagi cuti hamil.”
Ziva mengangguk. Rio dengan segera melangkah menjauh dari ruang kerja sang istri dan saat masuk ke mobilnya, sang suami menghubungi seseorang dengan nada bicara yang mesra.
“Aku akan sampai 20 menit lagi, tunggu ya.”
***
Sepasang sepatu dengan heels sekitar 7 cm berdiri di depan ruang dosen sambil mondar-mandir. Berkali-kali wanita rambut sepinggang itu melihat jam tangan di tangan kirinya.
“Lama banget, sih! Nggak tahu orang capek nunggu apa!”
Tak lama terdengar suara nyaring sepatu pantofel menggema di gendang telinganya. Keadaan kampus pagi ini memang masih sepi, hanya di beberapa fakultas yang telah ramai oleh mahasiswa.
“Hai, Sayang. Maaf, ya. Jalanan macet banget. Ini aja aku udah ngebut,” suara pria tak lain dan tak bukan adalah Rio bersenandung mesra menyapa perempuan jelita yang sedari tadi menunggunya. Dialah Diani, perempuan berusia 29 tahun, dosen di mana Rio mengajar sekaligus wanita idaman lain suami Zivanna Yahya.
“Maaf, ya, Sayang.” kecup mesra Rio di kening Diani.
“Eh, hati-hati donk, Sayang. Gimana kalau ada yang lihat nanti? Kamu kan tahu kalau kampus kita ini banyak CCTV-nya!” Diani buru-buru mendorong kasar tubuh Rio yang memeluknya.
“Pagi!!!”
Suara nyaring tak kalah menggema mengejutkan keduanya.
“Arnold!” ucap Rio dan Diani berbarengan.
“Dih, kenapa kalian liatin aku kaya gitu? Heran ya belum pernah lihat dosen ganteng paripurna kaya aku,” narsisnya.
Rio dan Diani saling lempar pandangan, mereka berharap Arnold tak melihat saat keduanya tengah berpelukan tadi.
“Tumben kamu dateng pagi-pagi buta? Mimpi didatengin siapa semalam?” ledek Rio tertawa renyah.
“Mimpi didatengin bidadari.” Ucapnya sambil melirik Diani. Rio yang melihat gerakan mata Arnold terbakar cemburu dan menggaet lengan dosen narsis itu menjauh dari Diani.
“E…e, apa-apaan ini! Kok aku main ditarik aja kaya ayam yang mau dipotong!” protes Arnold.
“Kerjaanmu banyak! Ada laporan dari beberapa mahasiswamu yang bilang kalau kamu nggak adil kasih mereka nilai dan laporan tugas yang kamu kasih ke mereka juga belum diberi nilai!” Rio menunjukkan ekspresi sedikit nyolot ke Arnold.
“Oh, hehe…iya, aku lupa. Nanti eh maksudku hari ini kukerjakan,” ucap Arnold.
“Bagus deh! Jadi dosen tuh yang profesional, kita kan udah disumpah, sama kaya dokter. Jadi, kerahkan ilmu kita untuk mereka,” sambung Rio duduk di kursi tempat kerjanya.
“Hmmm, mulai lagi khotbahnya. Iya…iya, Pak Rio Wibisono menantu Pak Hernadi Joshua Yahya yang terhormat,” ledek balik Arnold.
Seketika, ruang dosen yang tadinya sepi menjadi ramai walau hanya diisi dua orang. Namun, di saat Rio dan Arnold tengah bercanda mengenai keluarga istrinya, Diani melipat kedua tangannya berdiri di ambang pintu menyandarkan tubuhnya sambil melihat dengan ekspresi tak mernyenangkan.
Mousedeer :Teruskan! Teruskan percakapan kalian dan pamerkan kebahagiaanmu menikahi perempuan itu!
Rio yang mendengar ponselnya berdering, segera membuka pesan yang baru saja masuk dan melihat ke arah pintu utama ruangan dosen. Diani masuk dan duduk kasar di tempat kerjanya.
“Eh, Diani kenapa? Kok mukanya jutek banget?” tanya Arnold penasaran.
“Entahlah, bentar ya.” Rio hendak berdiri namun ditahan oleh Arnold. “Eh, mau ke mana?” tanya Arnold menghentikan Rio.
“Katanya kamu mau tahu Diani kenapa, ya kutanya ini,” jelas Rio.
“Nggak…nggak! Nggak usah. Biar aku yang nanya sendiri!” Arnold bangun dari kursinya dan menghampiri meja Diani. Sementara Rio melihat dengan penuh cemburu. Dan di saat bersamaan, Ziva menghubungi sang suami dan Rio sengaja mengencangkan volumenya.
“Halo, Sayang. Kenapa? Kamu kangen ya sama aku?”
Diani dan Rio langsung menoleh ke meja Rio.
[Jangan lupa nanti Mas jemput aku, ya di tempat kerja. Soalnya mobilku masuk bengkel]
“Iya, Sayang. Jangan khawatir. Apa sih yang nggak buat istriku tercinta…”
“Cieeeee…” ucap Arnold terdengar oleh Ziva.
[Siapa itu?]
“Siapa lagi, ya si Arnold, dosen narsis.”
Diani makin tersulut emosi dan mendorong tubuh Arnold. “Minggir!” ucapnya ketus.
“Eh, Diani! Mau ke mana?” Arnold segera mengikuti Diani, Rio merasa ada kepuasan karena ternyata Diani sangat terbakar api cemburu tapi di sisi lain ia khawatir jika Arnold akan menjadi duri dalam hubungan mereka.
[Halo…halo, Mas. Masih di sana kan kamu?]
“Oh, iya..iya, Mas dengerin kok. Nanti mau dijemput jam berapa?”
[Nanti aku kabari, ya]
Rio terus memperhatikan Arnold dan Diani meski siluet mereka mulai menghilang.
[Mas!] teriak Ziva.
“Oh, iya..iya, Sayang. Yaudah ya, Mas mau ngajar dulu. Nggak enak sama yang lain, udah pada dateng.” Rio langsung menyudahi percakapan mereka sebelum Ziva mengucapkan kalimat penyemangat seperti biasanya.
“Arnoldddd!!” geramnya namun Rio hanya bisa menahan kekesalannya.
***
Ziva yang saat ini masih ada di rumah merasa ada yang aneh dengan sikap suaminya. Tiba-tiba mematikan sebelum ia menyemangati hari-harinya, membuat Ziva sedikit bersedih. “Apa aku terllu keras ya sama Mas Rio selama ini?” pikir Ziva.
Tak lama, saat Ziva hendak beranjak dri ruang kerjanya, deringan ponselnya membuat langkahnya terjeda. Dilihat, nama Papa terbaca jelas di layar gawainya.
“Iya, Pa. Ada apa?”
/0/19742/coverorgin.jpg?v=995a92768f4edcb88db83d08d3f5acd9&imageMogr2/format/webp)
/0/25077/coverorgin.jpg?v=dc071e5af099969a92897653b5c920ef&imageMogr2/format/webp)
/0/16748/coverorgin.jpg?v=dbdb06e80c4accb8a35c8be811cc63cd&imageMogr2/format/webp)
/0/27133/coverorgin.jpg?v=a234caac6ad81c4ec9981831ae69d9b6&imageMogr2/format/webp)
/0/8125/coverorgin.jpg?v=5ad6f5ddf27985fb57a4bf580902103a&imageMogr2/format/webp)
/0/10344/coverorgin.jpg?v=826acfb2dcf815c4d1b29170dd0a1274&imageMogr2/format/webp)
/0/13079/coverorgin.jpg?v=a6c06b631419545580a4e017d8a460e5&imageMogr2/format/webp)
/0/13070/coverorgin.jpg?v=956c28f2db34b6587c27c621746bec69&imageMogr2/format/webp)
/0/5278/coverorgin.jpg?v=8c99a0d62ab00316f0e8158283e52f2f&imageMogr2/format/webp)
/0/3275/coverorgin.jpg?v=84fc76bdd84181da74d2f2b3aabad44d&imageMogr2/format/webp)
/0/21861/coverorgin.jpg?v=0f4e65363e281e89be22227c20075f20&imageMogr2/format/webp)
/0/2897/coverorgin.jpg?v=6de51343e108045764aa1b8f6b08a1b0&imageMogr2/format/webp)
/0/2234/coverorgin.jpg?v=f8c202752ac64cc56a54dc716c5fe6e8&imageMogr2/format/webp)
/0/13940/coverorgin.jpg?v=2462ec44eb93b90203506e20b87dd19a&imageMogr2/format/webp)
/0/16587/coverorgin.jpg?v=d6a1eb443b28ce89fe6806ee21a3d75a&imageMogr2/format/webp)
/0/27977/coverorgin.jpg?v=0968e8b5527c6f6ef206c7938937141a&imageMogr2/format/webp)
/0/12525/coverorgin.jpg?v=5f4089e3b9f9d453d452d90c94ebd1ee&imageMogr2/format/webp)