/0/15746/coverorgin.jpg?v=dd951388bf1506d99ea44810f630efd4&imageMogr2/format/webp)
"Mas, aku mau kamu menikah lagi!" pinta seorang wanita yang sedang terbaring di ranjang dengan wajah pucatnya.
Pria yang sedang memakai dasi seketika menoleh. Terlihat raut wajahnya tak senang saat mendengar ucapan wanita itu.
"Cukup Fatma! Sudah berapa kali aku bilang, aku tidak akan menikah lagi!" tegas seorang pria yang bernama Satria.
Fatma bangun dari tidurnya, lalu dia menyandarkan tubuhnya di dipan ranjang dan menatap lekat pada pria yang sudah menemaninya selama 5 tahun itu.
"Mas, aku ingin melihatmu bahagia. Kamu tahu kan, jika aku tidak akan bisa memberikanmu seorang anak? Aku ini gak bisa hamil, Mas. Aku ikhlas jika kamu menikah lagi."
"Tidak. Sudahlah Fatma, aku malas membahas ini terus." Satria keluar dari kamar untuk menuju meja makan.
Dia menghela nafasnya dengan kasar. Tatapannya kosong dengan tangan yang sedang mengaduk-aduk kopi yang ada di gelas.
Sudah beberapa kali Fatma memintanya untuk mendua, tetapi selalu Satria tolak dengan tegas. Pikirannya menerawang ke 5 tahun silam, dimana ia menikahi Fatma karena perjodohan almarhum kedua orang tuanya.
"Mas," panggil Fatma yang sudah sampai di meja makan.
"Fatma, sudah cukup! Jangan memaksaku untuk mendua." Satria merasa jengah, sebab setiap hari Fatma selalu membahas tentang menikah lagi.
"Maaf, Mas. Aku tidak bermaksud membuatmu marah. Hanya saja, kamu tahu kan jika aku sedang sakit dan kita tak mungkin mempunyai anak. Aku hanya ingin ada yang mengurus kamu sebelum aku tiada," tuturnya.
Satria bangkit dari duduknya dengan tatapan tajam ke arah Fatma. "Cukup ya! Kamu itu bukan Tuhan yang tau kapan kamu tiada. Ingat Fatma! Ucapan adalah do'a. Sudahlah, aku mau ke cafe dulu."
Tanpa mengulurkan tangannya untuk di cium oleh Fatma, Satria pergi begitu saja. Dia meninggalkan sang istri yang tengah menangis.
"Maafkan aku, Mas. Maaf jika aku memaksamu. Tapi ini untuk kebahagiaanmu," lirihnya.
Dia meremas dadanya yag terasa sakit. Bukan Fatma rela mengizinkan Satria menikah lagi, akan tetapi penyakitnya yang semakin hari semakin parah, membuat Fatma tak memiliki pilihan lain.
Fatma hanya ingin melihat Satria ada yang mengurus saat ia sudah tak ada di dunia ini lagi. Namun, di balik itu semua ada hal penting yang menjadi dorongan bagi Fatma untuk mengizinkan Satria mendua. Sebab ia tahu, jika selama ini Satria tak pernah mencintainya.
"Mas, maaf jika aku harus melakukan ini." Fatma menuju kamar lalu menelpon Uminya.
"Hallo assalamualaikum, umi," ucap Fatma saat telepon teraambung.
"Waalaikumussalam."
"Umi, apa umi dan abi sudah dapatkan calon untuk mas Satria?"
"Iya nak, kami sudah mendapatkan wanita itu. Dan umi pastikan ia gadis baik-baik. Besok umi dan abi akan ke rumah untuk berbicara sama kamu dan Satria."
Setelah berbicara dengan uminya, Fatma menutup teleponnya. Dia kembali termenung sambil menatap foto pernikahannya bersama dengan Satria.
Air mata kembali mengalir deras saat mengingat 5 tahun perjalanan rumah tangga mereka berdua. Fatma memang sadar, selama ini sikap baik Satria padanya bukan dasar cinta, namun hanya sekedar menghargai dia sebagai istri.
"Aku berharap, wanita itu tidak pernah sakit, seperti aku saat ini." Dia menghapus air matanya lalu mengambil obat yang ada di laci kamar.
"Aawwh! Sssh!" ringis Fatma saat merasakan perutnya kembali sakit.
.......................
Malam ini Satria pulang lebih lambat, karena ia sengaja sebab malas berdebat dengan Fatma yang ujung-ujungnya akan membahas soal pernikahan lagi.
"Assalamualaikum," ucap Satria saat masuk kedalam kamar.
"Waalaikumusalam," jawab Fatma sambil mencium tangan Satria. "Mas, tumben kamu pulang telat?" tanyanya sambil membuka jas Satria.
"Iya, cafe lagi rame," bohong Satria, kemudian dia segera masuk kedalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
/0/15991/coverorgin.jpg?v=1212693ecc24eb7b105799e976c9649b&imageMogr2/format/webp)
/0/19673/coverorgin.jpg?v=25988945196601dde51c6207d83011e0&imageMogr2/format/webp)
/0/15408/coverorgin.jpg?v=99c2ca88f6851f28760af88cf210536a&imageMogr2/format/webp)
/0/16915/coverorgin.jpg?v=b125a57b47eaa0639756f1097a79c374&imageMogr2/format/webp)
/0/5308/coverorgin.jpg?v=64a8e7b9ce3a4e1e58facea7f2edddb5&imageMogr2/format/webp)
/0/4923/coverorgin.jpg?v=f6fd5fb7815eba45ad5a4a6d9b153170&imageMogr2/format/webp)
/0/6712/coverorgin.jpg?v=3fb629fc7a1968833dcabd9ab1f978ec&imageMogr2/format/webp)
/0/15990/coverorgin.jpg?v=44f540b94ce0197a5b7a675c8a67cea7&imageMogr2/format/webp)
/0/15686/coverorgin.jpg?v=afcf5a6ff86d6d1f40e69e3ce01b315c&imageMogr2/format/webp)
/0/10329/coverorgin.jpg?v=109cced51fe1b6bd734c006a4a9046fb&imageMogr2/format/webp)
/0/6488/coverorgin.jpg?v=68fb57334c996bf8bec4b64d8c6c0a41&imageMogr2/format/webp)
/0/5783/coverorgin.jpg?v=3712bdebc069917f2361658abd585e25&imageMogr2/format/webp)
/0/23627/coverorgin.jpg?v=f285cbfe3e929af7d2d05222a9a25935&imageMogr2/format/webp)
/0/29157/coverorgin.jpg?v=7d298893a8968568891c7a31be8e99d1&imageMogr2/format/webp)
/0/30875/coverorgin.jpg?v=735491a742a20327e5c47d79156671e4&imageMogr2/format/webp)
/0/15950/coverorgin.jpg?v=509021433262d5a333b93286ab8868d6&imageMogr2/format/webp)
/0/26743/coverorgin.jpg?v=8f4fc03f62f240f5b1a748b5c827d624&imageMogr2/format/webp)
/0/16559/coverorgin.jpg?v=e2071e6c7a02478e542e0f7ba23df599&imageMogr2/format/webp)