/0/21612/coverorgin.jpg?v=e60d6bd2c0a776a47dc1740ac270ceed&imageMogr2/format/webp)
"Ini data yang salah," kata Rama dengan suara dingin. "Di mana data yang benar?"
Andini merasakan jantungnya berdebar keras. Dia mencoba mencari dokumen yang benar di laptopnya, namun tidak menemukannya. "Maaf, Mas—maksud saya, Pak Rama. Saya pikir ini sudah benar..."
Meskipun Rama adalah suami kakaknya, Rama tidak pernah berlaku hangat pada Andini. Tatapannya tajam bak elang, dan sikapnya sebagai bos terkesan sangat galak.
Rama memandangnya tajam. "Kesalahan seperti ini tidak bisa diterima. Rapat ini sangat penting dan kamu harus memastikan semua data benar sebelum diserahkan."
Andini menunduk, merasa malu dan bersalah.
"Ikut ke ruangan saya sekarang," perintah Rama dengan nada tegas.
Andini mengikuti langkah Rama dengan hati-hati, merasakan ketegangan di udara. Sesampainya di ruangan, Rama berdiri di belakang meja kerjanya, wajahnya kaku dan penuh amarah yang terpendam.
"Duduk," perintah Rama tanpa senyuman.
Andini duduk dengan gugup, menatap meja, tidak berani menatap langsung ke mata Rama.
"Ini bukan pertama kalinya kamu melakukan kesalahan besar, Andini," kata Rama dengan suara yang semakin tinggi. "Sekarang, kamu memberikan data yang salah untuk rapat penting. Itu memalukan. Dan apakah kamu tidak ingat, kamu pernah mengirim email yang salah kepada klien kita yang paling penting! Apa yang kamu pikirkan?"
Andini menelan ludah, mencoba menjelaskan. "Saya benar-benar minta maaf, Pak. Saya sedang berusaha menyesuaikan diri dengan pekerjaan ini. Saya benar-benar tidak bermaksud untuk membuat kesalahan..."
"Berusaha? Berusaha saja tidak cukup, Andini!" potong Rama dengan keras. "Ini bukan tempat untuk orang yang hanya 'berusaha'. Ini adalah perusahaan yang serius, dan setiap kesalahan yang kamu buat berakibat besar pada kita semua."
Air mata mulai menggenang di mata Andini, tetapi dia mencoba menahannya. "Saya akan lebih berhati-hati, Pak. Saya akan belajar dari kesalahan-kesalahan saya sebelumnya."
Rama menggelengkan kepala, menunjukkan ketidakpuasan. "Saya sudah cukup memberi kesempatan. Kamu harus memahami bahwa setiap tindakanmu membawa konsekuensi. Jika kamu tidak bisa mengikuti ritme kerja di sini, mungkin kamu harus mempertimbangkan kembali apakah kamu cocok untuk pekerjaan ini."
Andini merasa dunia seolah runtuh di sekitarnya. Dia tahu bahwa Rama benar, tetapi tekanan dan kritik yang diberikan membuatnya merasa hancur. "Jangan mentang-mentang karena kamu adik ipar saya kamu bisa seenaknya, Andini. Ingat, kamu saya terima di perusahaan ini karena Anjani yang meminta. Saya ulangi, hanya karena Anjani yang meminta. Karena dia sangat menyayangi adik perempuannya yang manja ini."
Andini semakin menunduk, harusnya dia sadar Rama menerimanya karena tidak mungkin menolak permintaan istri tercintanya.
"Saya... saya akan berusaha lebih baik lagi, Pak. Tolong beri saya satu kesempatan lagi."
Rama menatapnya tajam, wajahnya penuh ketegangan. "Ini kesempatan terakhir. Jika kamu membuat satu kesalahan lagi, saya tidak akan ragu untuk memecatmu."
Andini mengangguk lemah, merasa keputusasaan semakin dalam. Dia keluar dari ruangan Rama dengan langkah gontai, mencoba menenangkan diri. Namun, kejadian-kejadian itu membuat Andini merasa semakin tidak nyaman tinggal bersama Rama dan Anjani.
***
"Mau ke mana kamu?"
Andini yang sedang mengemasi barang-barangnya bersiap pulang menatap Rama, masih takut setelah dimarahi tadi.
"Pulang, Pak. Ada yang Anda butuhkan lagi?"
"Siapa yang menyuruhmu pulang? Kamu harus ikut saya ke acara pesta pertunangan investor baru kita. Itu salah satu tugasmu sebagai sekretaris juga, Andini."
Andini tidak bisa berkata tidak, jadi dia mengangguk. 'Baik, Pak. Saya akan siapkan jas Anda dulu—"
"Tidak perlu, saya pakai ini saja. Ayo, kita sudah hampir terlambat."
Andini mengikuti Rama menuju mobil pribadinya. Biasanya, Andini yang menyetir untuknya, tapi kali ini pria 28 tahun itu ingin menyetir sendiri.
Suasana dalam mobil terasa tegang, seolah-olah ada sesuatu yang tidak diungkapkan oleh keduanya.
Tiba-tiba, ponsel Rama berbunyi.
"Halo, sayang?" sapanya ke seseorang di seberang sana. Itu Anjani, istrinya.
"Sayang, aku malam ini nggak pulang dulu, ya. Bridal showernya tengah malam banget, jadi kita-kita mau sekalian nginap. Boleh yaa sayang yaaa..." Anjani merengek agar diizinkan.
Rama menghela napas berat.
"Iya boleh."
"Yeay terimakasih suamiku i love you!"
"Saya juga malam ini mungkin pulang te—"
Tut.
Sambungan telepon diputuskan begitu saja oleh Anjani.
/0/19587/coverorgin.jpg?v=94b223d41808f39abb1de8f12c73aff5&imageMogr2/format/webp)
/0/20819/coverorgin.jpg?v=81267841f6c5c8431c822d06c1bbb882&imageMogr2/format/webp)
/0/16527/coverorgin.jpg?v=2e54cd0c6edd768dfd375d41be6de1f3&imageMogr2/format/webp)
/0/2577/coverorgin.jpg?v=6aec95d891445bca0fac94148f036350&imageMogr2/format/webp)
/0/16672/coverorgin.jpg?v=d87fa4f845b95b8f9e90e34b460bad5e&imageMogr2/format/webp)
/0/17777/coverorgin.jpg?v=04e9cf7f6d4ab1c77e74757b73022bb7&imageMogr2/format/webp)
/0/12435/coverorgin.jpg?v=64f8d4062844170c933fd79480fd5f99&imageMogr2/format/webp)
/0/28887/coverorgin.jpg?v=20251203182435&imageMogr2/format/webp)
/0/5504/coverorgin.jpg?v=35ab9f0bd86b36561c076b646f879983&imageMogr2/format/webp)
/0/26541/coverorgin.jpg?v=20250909182536&imageMogr2/format/webp)
/0/3863/coverorgin.jpg?v=dd541e9306aeca030ade281c09d46f41&imageMogr2/format/webp)
/0/19053/coverorgin.jpg?v=c89c07f10c79a12901a42e5cc532728f&imageMogr2/format/webp)
/0/17287/coverorgin.jpg?v=20250124101037&imageMogr2/format/webp)
/0/15668/coverorgin.jpg?v=20250123120946&imageMogr2/format/webp)
/0/9925/coverorgin.jpg?v=76704e864aa0c8701137c1f549f0be96&imageMogr2/format/webp)
/0/19256/coverorgin.jpg?v=641b28735d21c5dbfe5b2bfc6ce3493a&imageMogr2/format/webp)
/0/12764/coverorgin.jpg?v=312164d811c5cae3873f2cdf925c7af0&imageMogr2/format/webp)
/0/21473/coverorgin.jpg?v=20250114182852&imageMogr2/format/webp)
/0/15485/coverorgin.jpg?v=a5fc7a9de81abc48fe45f05598ca6529&imageMogr2/format/webp)