Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
"Innalillahi wainnalillahi raji'un." Aku menoleh pada Mas Bisma suamiku yang baru saja membaca pesan di ponselnya.
Mas Bisma meraup wajah lalu tubuhnya dimiringkan kearah selatan menatapku sayu, setelah beberapa detik bola mata itu menatapku.
"M-mbah Kakung ... meninggal." Suaranya gemetar sangat kecil, tetapi mampu meruntuhkan hidupku detik itu juga.
Sontak aku turun dari ranjang tanpa menjawab, mengambil semua baju yang terlihat olehku. Aku yang biasanya enggan pergi jika tidak tampil stylish yang cocok, sekarang ... bagiku itu tidak penting lagi.
Tak terasa air mata terjatuh deras, Mbah kakung ... pengganti orang tuaku. Akibat perceraian orang tuaku 24 tahun silam, dari bayi merah dirawat oleh Mbah kakung dan Mbah uti.
Mereka menganggapku sebagai anak kandung mereka, mungkin bisa dibilang setengah hidup mereka ... mereka habiskan untuk merawatku sendirian tanpa nafkah oleh ayah dan ibuku di setiap bulannya.
Tapi sekarang ... tubuh mereka sudah mulai renta dan kini Mbah kakung pun sudah dipanggil oleh sang maha kuasa.
"Sudah ... Ainur, Ayo kita berangkat sekarang atau besok pagi saja? Menunggu dirimu tenang dulu." Mas Bisma membuyarkan lamunan, aku terhenyak menatapnya dalam.
"Ndak, Mas ... ndak. Aku mau sekarang juga tempat Mbah," jawabku.
"Tapi ini sudah hampir tengah malam, Nur. Kan ke rumah Mbah bisa dari subuh jadi kamu istrahat dulu ya ... aku takut kamu sakit lo," cegah Mas Bisma.
Aku menggeleng dengan air mata yang tiada henti, "POKOKNYA SEKARANG! TITIK!" ucapku dengan suara yang tidak sengaja tinggi.
Jarak ke rumah Mbah kakung memang terbilang cukup jauh, tapi juga tidak jauh-jauh amat. Jadi ada benarnya kata suamiku besok pagi kami berangkat pun sebenarnya masih keburu.
Namun, ntah mengapa hati ini ingin sekarang juga sampai ke rumah Mbah kakung. Seperti ada ketakutan yang sulit untuk diungkapkan.
Dan akhirnya sebagai istri yang menjunjung keegoisan wanita tertinggi di rumah ini, Mas Bisma dengan kesabarannya yang masih baik-baik saja sampai sekarang. Dia memanaskan mobil lalu menyuruhku masuk dengan nada yang selalu membuatku jatuh cinta untuk ke sekian kalinya.
"Nur ... Mas tuh ngelarang kamu berangkat sekarang, karna ini kan hari Jum'at kliwon, Nur," celetuk Mas Bisma sembari menyetir.
"Dimana-mana yang serem itu, malam jum'at kliwon bukan hari jum'at. Ini mah malem sabtu, Mas ...," jawabku datar sambil sibuk mengslide galeri foto melihat semua kenanganku bersama Mbah kakung disana.
"Tetep medeni, Nur ... Nur ...."
Jawabannya Mas Bisma kuabaikan, aku masih terfokus dengan foto Mbah kakung.
pikiranku pun sudah tidak ada lagi memikirkan hal lain, selain merasakan sakit hati ditinggal pria terhebatku.
****
Air mata terus berjatuhan sepanjang jalan mengiringi dinginnya angin malam yang meliuk-liuk masuk dari celah switer yang kukenakan.
Kulihat jam dipergelangan menunjukkan pukul 01:45 WIB, kami turun dari mobil dengan mobil yang terparkir tepat di halaman rumah Mbah kakung.
Sendi-sendii kaki melemah di setiap langkah, menerobos kerumunan keluarga ada banyak anak-anak Mbah kakung dan Mbah uti menyambut kami berdua dengan tangisan.
Dan ada juga seorang wanita tua bergamis serba putih menunduk di samping jenazah Mbah kakung yang tidak pernah kukenal sebelumnya.
Aku duduk di sampingnya tanpa bertanya siapa dan dari mana dia berasal, fokusku lebih teralihkan pada Mbah kakung yang terbujur kaku dan dingin tak berdaya. Tubuh yang dulu kekar menggendongku berlari-larian sepanjang halaman rumah, kini hanya bisa kupeluk tanpa balasan.
Kuajikan surah-surah sepanjang malam, tidak ingin kumeninggalkan Mbah kakung meski hanya semenit. Karena ini malam terakhirku bersamanya.
"Ainur ... Nur ... bangun, sudah pagi."