Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Ilmu warisan
5.0
Komentar
36
Penayangan
5
Bab

Jin Leluhur itu pandai memilah dan memilih tubuh yang menurutnya pantas untuk dijadikan tempat kembali Jangan lupa komentar dan subcribe ya 💗

Bab 1 KEMATIAN

"Innalillahi wainnalillahi raji'un." Aku menoleh pada Mas Bisma suamiku yang baru saja membaca pesan di ponselnya.

Mas Bisma meraup wajah lalu tubuhnya dimiringkan kearah selatan menatapku sayu, setelah beberapa detik bola mata itu menatapku.

"M-mbah Kakung ... meninggal." Suaranya gemetar sangat kecil, tetapi mampu meruntuhkan hidupku detik itu juga.

Sontak aku turun dari ranjang tanpa menjawab, mengambil semua baju yang terlihat olehku. Aku yang biasanya enggan pergi jika tidak tampil stylish yang cocok, sekarang ... bagiku itu tidak penting lagi.

Tak terasa air mata terjatuh deras, Mbah kakung ... pengganti orang tuaku. Akibat perceraian orang tuaku 24 tahun silam, dari bayi merah dirawat oleh Mbah kakung dan Mbah uti.

Mereka menganggapku sebagai anak kandung mereka, mungkin bisa dibilang setengah hidup mereka ... mereka habiskan untuk merawatku sendirian tanpa nafkah oleh ayah dan ibuku di setiap bulannya.

Tapi sekarang ... tubuh mereka sudah mulai renta dan kini Mbah kakung pun sudah dipanggil oleh sang maha kuasa.

"Sudah ... Ainur, Ayo kita berangkat sekarang atau besok pagi saja? Menunggu dirimu tenang dulu." Mas Bisma membuyarkan lamunan, aku terhenyak menatapnya dalam.

"Ndak, Mas ... ndak. Aku mau sekarang juga tempat Mbah," jawabku.

"Tapi ini sudah hampir tengah malam, Nur. Kan ke rumah Mbah bisa dari subuh jadi kamu istrahat dulu ya ... aku takut kamu sakit lo," cegah Mas Bisma.

Aku menggeleng dengan air mata yang tiada henti, "POKOKNYA SEKARANG! TITIK!" ucapku dengan suara yang tidak sengaja tinggi.

Jarak ke rumah Mbah kakung memang terbilang cukup jauh, tapi juga tidak jauh-jauh amat. Jadi ada benarnya kata suamiku besok pagi kami berangkat pun sebenarnya masih keburu.

Namun, ntah mengapa hati ini ingin sekarang juga sampai ke rumah Mbah kakung. Seperti ada ketakutan yang sulit untuk diungkapkan.

Dan akhirnya sebagai istri yang menjunjung keegoisan wanita tertinggi di rumah ini, Mas Bisma dengan kesabarannya yang masih baik-baik saja sampai sekarang. Dia memanaskan mobil lalu menyuruhku masuk dengan nada yang selalu membuatku jatuh cinta untuk ke sekian kalinya.

"Nur ... Mas tuh ngelarang kamu berangkat sekarang, karna ini kan hari Jum'at kliwon, Nur," celetuk Mas Bisma sembari menyetir.

"Dimana-mana yang serem itu, malam jum'at kliwon bukan hari jum'at. Ini mah malem sabtu, Mas ...," jawabku datar sambil sibuk mengslide galeri foto melihat semua kenanganku bersama Mbah kakung disana.

"Tetep medeni, Nur ... Nur ...."

Jawabannya Mas Bisma kuabaikan, aku masih terfokus dengan foto Mbah kakung.

pikiranku pun sudah tidak ada lagi memikirkan hal lain, selain merasakan sakit hati ditinggal pria terhebatku.

****

Air mata terus berjatuhan sepanjang jalan mengiringi dinginnya angin malam yang meliuk-liuk masuk dari celah switer yang kukenakan.

Kulihat jam dipergelangan menunjukkan pukul 01:45 WIB, kami turun dari mobil dengan mobil yang terparkir tepat di halaman rumah Mbah kakung.

Sendi-sendii kaki melemah di setiap langkah, menerobos kerumunan keluarga ada banyak anak-anak Mbah kakung dan Mbah uti menyambut kami berdua dengan tangisan.

Dan ada juga seorang wanita tua bergamis serba putih menunduk di samping jenazah Mbah kakung yang tidak pernah kukenal sebelumnya.

Aku duduk di sampingnya tanpa bertanya siapa dan dari mana dia berasal, fokusku lebih teralihkan pada Mbah kakung yang terbujur kaku dan dingin tak berdaya. Tubuh yang dulu kekar menggendongku berlari-larian sepanjang halaman rumah, kini hanya bisa kupeluk tanpa balasan.

Kuajikan surah-surah sepanjang malam, tidak ingin kumeninggalkan Mbah kakung meski hanya semenit. Karena ini malam terakhirku bersamanya.

"Ainur ... Nur ... bangun, sudah pagi."

"Aku nggak mau!!" teriakku memecah keheningan, aku terperanjak kaget setelah sadar ternyata aku tertidur dan bermimpi di samping jenazah Mbah kakung.

Semua mata menyorot termasuk Mbah uti yang membangunkanku juga matanya membulat, mungkin mereka kaget mengapa aku berteriak seperti itu. Tetapi anehnya wanita tua bergamis putih yang semalam kulihat, dia masih menunduk masih dengan posisi yang sama tidak bergeser sama sekali apa lagi terkejut seperti mereka.

Aku memperhatikannya secara seksama dari ujung kaki sampai tudung putih yang ia kenakan, wanita tua cenderung sudah bungkuk itu seperti patung berbentuk manusia. Dia benar-benar diam tak tergoyahkan yang membuatku merasa aneh padanya.

Sampai Mbah uti menarikku untuk menemaninya menyiapkan kain kafan, bunga-bunga untuk digunting dan beberapa perlengkapan jenazah lainnya.

Aku masih memikirkan wanita tua itu, dia terlihat aneh. Apa ada nenek nenek jaman sekarang yang kuat duduk sambil menunduk sepanjang malam? Sedangkan aku saja bisa tertidur dan akhirnya bermimpi buruk.

Apa wanita tua itu begitu sedih dengan kepergian Mbah kakung ... atau jangan-jangan selama ini Mbah kakung mempunyai istri selain Mbah uti yang tidak kuketahui?

Argh!!!!!

Rasanya ... pikiranku campur aduk, memikirkan wanita tua itu dan perasaanku yang sedang begitu hancur ditinggalkan Mbah kakung.

Lagi pula, mengapa orang-orang disini tidak terfokus padanya sedangkan bagiku wanita tua itu sangatlah tidak wajar. Anehnya mereka seperti biasa saja atau malah sebenarnya akulah yang terlalu penasaran?

Lagi-lagi aku hanya menarik napas dan sesekali memperhatikan wanita tua aneh itu yang dimana Mbah kakung diangkat, dia akan berdiri sambil menunduk mengikuti dimana jenazah Mbah kakung berada dan jika Mbah kakung dibaringkan, dia akan duduk sambil menunduk juga.

Sangat aneh bukan? Tetapi lebih aneh lagi, mengapa semua orang seperti biasa menganggap kehadirannya? Meski sebenarnya sejak tadi kuperhatikan tidak ada satupun yang menyapanya atau malah sebaliknya.

Sumpah!! Baru kali ini kumelihat ada seorang nenek-nenek seintrovert ini! Sudah pas filingku dia adalah istri kedua Mbah kakung dan sepertinya dia berbeda dari Mbah uti yang terlihat tegar tidak seterpukul dirinya.

Prosesi penguburan jenazah berjalan lancar meski hati ini meraung menangis di dalam hati melihat Mbah kakung tercintaku terkubur di bawah sana dan tidak akan pernah bangkit lagi.

Dan sekarang para pelayat mulai pulang satu persatu, hanya satu yang tidak pulang ... yaitu wanita tua aneh itu. Sejak sepulangnya kami dari kuburan wanita tua itu seakan terus saja mengekoriku dari belakang.

Kemana pun aku melangkah dia terus mengikutiku, saat aku duduk di samping Mbah uti pun. Dia duduk juga disampingku.

Hatiku mulai gelisah, aku ingin berkenalan padanya. Tetapi sedari tadi dia hanya menunduk seperti orang yang tidak ingin diganggu oleh siapa pun! Tapi mengapa dia mengikutiku sekarang?

Akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya pada Mbah uti, tadinya kupikir ini akan menjadi pertanyaan tidak sopan. Namun ... dari pada aku mati penasaran lebih baik aku bertanya pada Mbah uti dengan sedikit berbisik takut menyakiti wanita tua disampingku ini.

"Mbah ... Mbah ...," panggilku pelan sembari menyenggol bokong Mbah uti.

"Dalem."

"Mbah, Nur mau nanya ... apa Mbah kakung punya istri lain selain Mbah uti?" tanyaku sangat pelan karena takut terdengar.

Mbah uti mengerutkan keningnya, seolah bingung dan terkejut dengan pertanyaanku.

"Nur ... kok takon ngono? Mbah kakung loh baru dikubur, yo ndaklah ... si mbahmu cinta mati sama Mbah uti," ujar Mbah uti sembari tersenyum menatapku, walaupun pertanyaanku sepertinya membuat bola matanya berkaca-kaca.

Dan aku semakin bingung, jika bukan istri kedua ... lalu wanita tua di sebelah kananku siapanya Mbah kakung? Sedangkan kakak beradik Mbah kakung pun sudah pada meninggal. Lalu siapa diaa? Aku semakin penasaran.

Kali ini pertanyaanku tidak lagi kubisikkan, pikirku sekalian berkenalan pada wanita tua yang terpukulnya melebihi aku, cucu kesayangan Mbah kakung.

"Mbah ... Nur mau nanya, Mbah di samping Nur ini namanya siapa ya?" Kali ini aku tidak lagi canggung menanyakan hal ini pada Mbah uti.

Namun, alih-alih menjawab Mbah uti mengerutkan keningnya lagi ... lalu membetulkan kaca matanya dengan mantap. Kemudian memeriksa keberadaan wanita tua yang kusebutkan tadi.

"Yang mana, Nur? Ndak ada siapa-siapa dari tadi cuma ada kita berdua duduk disini."

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Bakti Ardi

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku