Delapan tahun pernikahan rahasiaku hancur saat aku melihat suamiku, Teguh, melamar wanita lain dengan kue ulang tahun yang seharusnya untuk adikku, Heru.
Aku menyerahkan surat cerai dan pengunduran diriku dari restoran yang kami bangun bersama. Namun, Teguh hanya menganggapku bercanda dan menuduh adikku sebagai biang keladi.
Di depan mataku, dia membawa selingkuhannya, Selia, ke rumah kami dan mengusirku dan Heru seolah kami adalah sampah.
"Jangan dramatis, Risa. Kamu tahu posisimu," katanya dengan tatapan jijik, seolah aku adalah aib yang harus disembunyikan.
Heru, adikku yang hatinya hancur, menatap Teguh dengan dingin. "Heru tidak punya Ayah lagi. Yang Heru punya hanya Kakak Risa."
Aku membawanya pergi, meninggalkan semua racun di belakang. Namun, saat restoran Teguh di ambang kehancuran karena kebodohan Selia, dia datang mencariku ke Swiss, memohon untuk kembali.
"Aku mencintaimu, Risa! Aku sangat mencintaimu!" teriaknya putus asa.
Aku menatapnya tanpa emosi. "Kau selalu menganggapku wanita licik yang menjebakmu. Malam itu, kau dibius, Teguh. Dan aku... akulah korbannya."
Bab 1
Risa Irawan POV:
Kue edisi terbatas untuk adikku, Heru, tidak pernah datang. Sebagai gantinya, aku melihat foto Teguh berlutut di hadapan Selia, dengan kue yang sama persis.
Tanganku tidak gemetar sedikit pun saat meletakkan amplop putih itu di atas meja kerja Teguh. Aroma adonan kue yang baru dipanggang masih menempel di ujung jariku, ironi yang pahit. Di dalamnya, ada surat cerai yang sudah kutandatangani dan pengunduran diriku dari Restoran Adiwangsa, mahakarya yang kami bangun bersama.
"Risa?" Teguh terdengar terkejut, suaranya naik satu oktaf saat dia mengangkat kepala dari laporan keuangan. Matanya yang biasanya tajam, kini memancarkan kebingungan.
Aku mundur selangkah, menjaga jarak. "Aku mengundurkan diri, Teguh. Dan ini, surat cerai kita." Suaraku datar, tanpa emosi, seperti membaca daftar belanjaan. Aku tidak ingin dia melihat retakan di balik ketenanganku ini.
"Apa?" Teguh berdiri, bangkit terlalu cepat hingga kursinya berderit. "Kamu... bercanda, kan? Ada apa ini tiba-tiba? Apa Heru membuat masalah lagi?" Ada nada kekesalan dalam pertanyaannya, seolah Heru hanyalah beban.
Aku merasakan otot rahangku mengeras. Kata-katanya menusuk tepat di ulu hati, membangkitkan kembali luka yang masih menganga dari semalam. Teguh, betapa tidak pekanya dirinya. Aku hanya menatapnya, ekspresiku kosong.
Teguh menyadari kesalahannya. Raut wajahnya berubah canggung. "Maaf, Risa. Bukan itu maksudku. Aku hanya... tidak mengerti. Ada apa sebenarnya? Kita baik-baik saja, kan?" Dia mencoba meraih tanganku, tapi aku menariknya menjauh.
"Tidak, Teguh. Kita tidak baik-baik saja." Aku berbisik, tetapi setiap kata terasa seperti palu yang menghantam. "Dan tidak akan pernah baik-baik saja."
/0/30884/coverorgin.jpg?v=4a77d47b55afc497dd9b8e9762d23874&imageMogr2/format/webp)
/0/20883/coverorgin.jpg?v=7c89e6cb9f689c9772f6ba97dbbc38d9&imageMogr2/format/webp)
/0/26509/coverorgin.jpg?v=830b73a37413432e6f7ce9f1b5ade740&imageMogr2/format/webp)
/0/30473/coverorgin.jpg?v=6291851d125c9ec89171f9cd0e5c3e2e&imageMogr2/format/webp)
/0/24866/coverorgin.jpg?v=f7065baf7f62da0e74ee8bf6ac37822d&imageMogr2/format/webp)
/0/17433/coverorgin.jpg?v=e3f4aa9d96359f32ce44a09c18f28150&imageMogr2/format/webp)
/0/30508/coverorgin.jpg?v=2c20d10388ca4581c1eace5f1e6ce93f&imageMogr2/format/webp)
/0/26736/coverorgin.jpg?v=4c0fbfe9b681f66f91279de560c205ca&imageMogr2/format/webp)
/0/16492/coverorgin.jpg?v=e0eb82b092970376d0c03ce9f8f19f1d&imageMogr2/format/webp)
/0/27357/coverorgin.jpg?v=e39a59c48209a041c8e3cb7a97f0a436&imageMogr2/format/webp)
/0/24250/coverorgin.jpg?v=f742b725ae599210d293d306a214d2f0&imageMogr2/format/webp)
/0/12242/coverorgin.jpg?v=3f4c35df759a421233796731ef9d1aa0&imageMogr2/format/webp)
/0/16579/coverorgin.jpg?v=3a43b19fd5c47a295880ec8095314a64&imageMogr2/format/webp)