Cinta yang Tersulut Kembali
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Sang Pemuas
Terpesona oleh Istri Seribu Wajahku
Hamil dengan Mantan Bosku
Gairah Citra dan Kenikmatan
Perjalanan Menjadi Dewa
Hati Tak Terucap: Istri yang Bisu dan Terabaikan
Cerita dewasa
Sudut pandang Fransiska:
Aku keluar dari kamar mandi dengan mengenakan gaun tidur tipis dan berenda, yang memperlihatkan seluruh punggungku. Gaun itu juga memperlihatkan hampir keseluruhan dari tubuhku dan benar-benar pendek, sampai hanya menutupi sebagian dari bokongku.
William Lusman yang berdiri di dekat jendela besar setinggi langit-langit langsung berbalik begitu mendengar kehadiranku. Dia mengenakan jubah mandi bergaris hitam dengan sabuk pinggang yang dililitkan di sekitar pinggangnya. Bagian atas jubahnya sedikit terbuka, memperlihatkan dadanya yang kuat dan tegap.
Begitu tatapannya jatuh padaku, matanya langsung berbinar.
Saat itu, aku tahu bahwa penampilanku ini berhasil membangkitkan minatnya.
Aku telah menikah dengan William selama tiga tahun, tapi selama itu juga kami tidak pernah saling menyentuh satu sama lain.
Aku tahu bahwa dia jatuh cinta dengan orang lain, jadi aku memutuskan untuk terbang ke Prancis tak lama setelah upacara pernikahan kami.
Namun beberapa hari yang lalu, Nenek William meneleponku dan memberi tahu bahwa sudah waktunya bagi Keluarga Lusman untuk menyambut kehadiran seorang anggota baru.
Tentu saja, aku tahu apa maksud ucapannya itu. Sejujurnya, aku tidak membenci gagasan memiliki anak dengan William. Bahkan sebenarnya, aku senang mendengar hal itu.
Inilah sebabnya mengapa aku memilih untuk kembali ke William setelah sekian lama. Aku selalu merindukannya selama tiga tahun terakhir.
Sambil meletakkan tangan di belakang, aku berjalan perlahan ke arah William. Kubiarkan pria itu menatapku begitu lekat dari kejauhan.
Perasaan terkejut yang terlihat di matanya sulit untuk diabaikan.
"Kemarilah," ucap William dengan suara serak.
Aku menggigit bibir bawahku, mendekatinya, lalu melingkarkan tanganku di lehernya.
Sementara William melingkarkan tangannya di pinggangku dan berbisik di telingaku, "Kamu sedang merayuku?"
Napas hangatnya yang berembus di telingaku membuatku merinding dan menggelitik kulit kepalaku.
"Apa berhasil?"
William menyipitkan mata ke arahku dan tiba-tiba tersenyum, "Apa ini yang kamu pelajari di Prancis selama beberapa tahun ini?"
"Kamu menyukainya?" Aku menatapnya penuh harap, dengan jantung yang mulai berpacu.
"Fransiska, kamu cantik," ucapnya dengan suara yang sangat ringan.
Kalimat pujiannya benar-benar mengejutkanku. Apa itu artinya dia juga memikirkanku selama aku pergi?
"William, ayo ..."
"Tapi aku menginginkan perceraian."
Kami berbicara pada saat yang bersamaan.
Saat itu juga, pikiranku menjadi kosong dan aku segera menelan sisa kalimatku.
Kalimat yang sudah berada di ujung lidahku, 'William, ayo kita punya anak ....'
Hanya ada satu hal dalam pikiranku sekarang: William ingin bercerai.
William lalu melepaskanku dan mundur dua langkah, sengaja menjaga jarak dariku, "Kesehatan Fera jauh lebih buruk dibanding sebelumnya. Aku takut dia tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Jadi, aku ingin menikahinya."
Ternyata rumor mengenai dirinya dan Fera yang akan segera bertunangan itu benar.
Hanya angan-anganku bahwa media mengarang cerita.
"Setelah proses perceraian kita selesai, aku akan memberimu satu triliun rupiah sebagai kompensasi sesuai dengan kontrak kita." Nada suara William terdengar ringan, tapi begitu tegas. Sepertinya keputusannya sudah bulat dan sudah tidak ada kesempatan bagiku untuk bernegosiasi.
Air mata yang panas dan pahit mulai mengalir dari mataku. Aku segera menundukkan kepala. Aku tidak ingin William melihat diriku yang selemah ini.
"Kamu baik-baik saja?"
Sambil menyeka wajah dengan tergesa-gesa, aku lalu menjawab, "Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya sangat bahagia."
William bertanya dengan curiga, "Apa maksudmu?"
"Akhirnya aku punya alasan yang bagus untuk meninggalkanmu. Bukankah seharusnya aku bahagia?" ucapku bercanda. Karena khawatir dia tidak akan memercayaiku, aku segera memasang senyum lebar di wajahku yang berlinangan air mata.
Tiba-tiba wajah William menggelap, dan dia tersenyum dingin, "Wow! Aku tidak menyangka kamu akan bereaksi sesantai ini."
Aku pun tersenyum semakin lebar, "Kurasa itu adalah keputusan yang bagus."
Embusan angin dingin bertiup melalui jendela, mengangkat sedikit ujung gaunku.
Baru saat itulah aku menyadari bahwa aku masih mengenakan gaun tidur yang begitu terbuka dan terlihat sangat konyol.
Ironi itu terasa begitu pahit di mulutku.
Aku mengambil sebuah jubah mandi, memakainya, dan mengikatkan sabuk pinggang jubah itu dengan erat ke pinggangku. Aku menutup bagian atas tubuhku dan melipat tanganku di dada, berharap tindakan ini akan menghangatkan hatiku dari ucapan William yang begitu dingin.
"Jika kita bercerai, kamu bisa menikahi Fera dan aku bisa mengejar pria yang kucintai. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui."
Mendengar ucapanku, William mengerutkan kening dan bertanya, "Sejak kapan kamu jatuh cinta dengan orang lain?"
Pertanyaan itu membuatku harus menelan gelombang rasa sakit yang baru. Aku menarik napas dan berusaha membuat nada suaraku terdengar santai, "Bertahun-tahun yang lalu."
Namun, hatiku berteriak pada William bahwa dialah satu-satunya pria yang pernah kucintai.
"Beri tahu aku siapa namanya."
Aku merasa aneh dengan keingintahuan William terhadap kekasih misteriusku, padahal dia baru saja memintaku untuk bercerai dengannya. Selain perasaan aneh itu, tentu saja aku juga panik karena tidak tahu harus menjawab apa padanya, dan otakku menolak untuk memikirkan satu nama palsu untuk kuberikan saat ini juga.
Namun, tiba-tiba ponselnya berdering, menyelamatkanku dari keingintahuannya atas pernyataan palsuku.
"Fera, ada apa?" jawab William sambil berjalan ke arah ruang ganti.
Ketika keluar, dia sudah mengenakan celana dan kemeja. Dia lalu mengambil jaket dan memakainya di depan cermin.