Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Pernah malas sekolah karena dimusuhi satu circle?
Seperti seorang gadis yang saat ini berdiri di samping podium seorang diri. Ia menunduk dalam tak kuasa menerima terpaan sinar mentari yang begitu menyengat.
Padahal sedari tadi ia hanya diam tanpa ada sepatah kata dan tindakan apapun. Namun karenanya pula seluruh siswa yang menghadiri upacara Senin pagi ini mendemo pihak guru bagian pengurus OSIS. Hingga OSIS tahun lalu turun tangan mengamankan para siswa yang semakin ricuh.
Ketika sudah tenang, bu Rani selaku guru pembimbing OSIS berdiri di atas podium untuk menyampaikan beberapa hal. Semua yang telah beliau sampaikan sangatlah masuk akal, tapi tetap saja para siswa tak setuju akan hal itu. Lebih tepatnya mereka tak mau menerima.
Kerumunan siswa dibubarkan setelah mereka dinyatakan kalah telak dalam argumen. Akhirnya dengan terpaksa menerima keputusan sepihak oleh pembimbing OSIS tahun ini.
Sementara seorang gadis yang menjadi alasan kericuhan tetap terlihat tenang. Bola mata coklat terang yang indah itu melirik sekilas ke arah lelaki tampan satu angkatan dengannya di sekolah ini.
Ke-duanya saling berjabat tangan dan berjanji akan mensukseskan sekolah bersama. Tak lupa pula bagian dokumentasi memotret momen itu.
Gadis bernama lengkap Eva Nur Shafaah itu bedeham pelan. Sedikit mendongak untuk menatap wajah ganteng lawan bicaranya ini. Kelopaknya menyipit akibat terpaan cahaya mentari pagi.
"Banyak yang bilang gue sama lo bertolak belakang. Gue yang dikenal cewek pemalu dan gak pandai bergaul. Sedangkan lo cowok dingin dan cuek sama sekitar."
Jeda sejenak. Saat ini Eva mencoba mengatur detak jantungnya yang berpacu kelewat cepat entah memburu apa. Eva yang kurang bisa bergaul hanya punya empat orang teman semasa hidupnya. Semuanya segender. Jadi jujur, baru kali ini Eva berbicara sedalam ini pada seorang cowok.
Merasa gadis di depannya ini tak jua melanjutkan ucapannya yang terhenti, cowok berkulit putih bersih kemerah-merahan bernama lengkap Brian Adam Girikan itu menaikkan sebelah alis dengan tatapan merunduk ke bawah demi dapat melihatnya.
"Jadi?" Suara Adam yang berat akhirnya mengudara.
Hal yang membuat lamunan Eva buyar seketika. Berdiri berdepanan begini membuat perbedaan warna kulit mereka tampak kentara. Eva yang kuning langsat sedikit kecoklatan dan cowok itu justru putih bersih. Eva yang sedikit pesek sedangkan cowok itu dikaruniai hidung mancung. Alis dan bulu mata tebal berwarna hitam. Indah sekali dipadukan dengan kulitnya yang seputih susu. Meski demikian ia selalu tampak cool di setiap saat. Ketika olahraga perut sixpack-nya begitu tercetak jelas oleh keringat. Dia pejantan perkasa walau kulitnya seputih susu.
Menyudahi pemikiran membanding-bandingkan diri, Eva menarik napas dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Masih mengusahakan diri untuk tetap tenang. Tak ingin terlihat gugup hingga bertindak bodoh di depan Adam.
"Jadi gimana bisa kita kerja sama secara totalitas buat mensukseskan sekolah sedangkan kita bertolak belakang?"
Adam mendengkus. "Bisa kalo kita kerja profesional."
Eva langsung mengerti. Cewek itu mengangguk pelan. Ternyata begini, ya? Profesional yang Adam maksud ialah tidak menyangkutpautkan urusan pribadi dengan project OSIS yang akan mereka kerjakan ke depan.
Menatap lamat wajah cowok itu, Eva tak ingin pembicaraan ini hanya sampai di sini saja. Dirinya menginginkan lebih lama. Karena suatu alasan yang jelas. Kelemahannya yang kurang bisa bergaul sering kali membuat Eva kagok sendiri ketika menjalin hubungan pendekatan dengan seseorang. Rasa tak nyaman seketika melingkupi sanubari meski Eva sudah mengusahakan semaksimal mungkin.
Dan saat ini Eva tengah berusaha menampik itu semua. Tak mau mengacaukan project ini dengan miskomunikasi karena buruknya ia ketika bersosial.
"Lo nggak masalah?" Eva bertanya penuh kehati-hatian.
Adam berdecih mendengarnya. Cowok berkulit putih bersih itu mengendikkan bahu. "Gue gak ngerti lo lagi bahas apa."
Ungkapan yang membuat Eva meringis pelan. Dengan ragu Eva menjelaskan. "Yang selama ini digadang-gadangkan sebagai ketos kan lo. Tapi tadi pas pelantikan justru gue yang naik jabatan dan lo turun."
Eva perhatikan sedari tadi raut cowok itu tak berubah. Tetap setia tampilkan wajah datarnya. "Mending lo pikirin nasib lo sendiri ke depannya. Gue rasa hati lo masih berfungsi buat ngerasain sakit. Posisi lo gak diinginkan di sini. Paham?"
"Iya, gue dibenci sama satu circle," ujar Eva murung. "Circle-nya satu sekolahan," lanjutnya lagi. Tapi kali ini senyuman tipis bertengger indah di bibir peach miliknya.
Hal yang membuat Adam termangu. Bisa-bisanya gadis itu tersenyum padahal sudah jelas satu sekolah menolak keberadaannya. Siapa yang tak tahu? Eva anak beasiswa. Ia yatim. Ibunya bekerja sebagai penjual kue di pasar. Latar belakang yang rendah bagi siswa Taruna Bangsa yang notabane-nya adalah anak para pebisnis kaya raya.