Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Harapan yang Pupus

Harapan yang Pupus

SBS

5.0
Komentar
20
Penayangan
5
Bab

Siapa yang tak sangka kalau pria yang kita cintai adalah anak dari keluarga yang menyebabkan orang tua kita meninggal? Aku tak menyangka dan aku juga ingin melupakannya. Tapi rasanya itu berat bagiku. Semua rasa bersalah mereka telah mereka bayar diam-diam dengan memberikan sejumlah uang dari aku kecil hingga aku masuk ke perguruan tinggi. Begitu licik! Apakah sekarang aku harus pergi darinya dan meninggalkannya begitu saja? Ya, aku memang melakukannya. Tapi siapa sangka kami akhirnya bertemu lagi.

Bab 1 Perjodohan

Langkah kakiku menapak pada jalan yang penuh dengan becek. Orang-orang yang berjalan bersamaku mencipratkan lumpur-lumpur ke kakiku, sehingga aku harus berhati-hati saat berjalan. Aku mencoba berjalan dengan senyap sehingga sandalku tidak membuat cipratan ke punggung kakiku.

Aku melihat ke kanan dan kiriku ke penjual-penjual preloved yang ada di pajak ini. Aku memperhatikan penjaja yang menjual tas bekas yang akan kuberikan kepada Bibiku. Nama pajak ini adalah pajak Melati. Pajak ini khusus menjual barang-barang bekas, mulai dari baju, tas, sepatu, tali pinggang dan masih banyak lagi.

Aku berhenti melihat tas indah yang mau di gantung oleh seorang nenek di tokonya.

"Berapa harganya?"

"300.000! Ini merek terkenal, baru saja bongkar bal!"

Aku diam. Aku mencoba berpikir berapa harga yang bisa kutawar kepada nenek ini.

"Bisa kurang?"

"Ini kualitas bagus dan terjamin, lihat ini merek Hermes. Ini bukan KW. Ini barang asli."

Dia mengatakan itu sambil mengambilkan tas itu dari gantungannya. Senyumannya sangat lebar. Aku bisa melihat bahwa ia menaruh seluruh harapannya padaku agar aku mau membeli tas tersebut.

Aku mengambil tas itu sambil menundukkan kepalaku lalu mengecek bagian dalamnya. Tas ini tidak tampak seperti tas bekas. Aku melihat bahan yang digunakan sangatlah bagus meski model tas ini sudah ketinggalan zaman.

"Ini tas seperti baru. Coba cek bagian dalamnya. Lihat-lihat, seperti baru bukan?" Kata nenek tersebut lagi setelah dia memegang tas itu.

Aku merasa yakin bahwa barang ini masih bagus. Aku menawar dengan harga dua ratus ribu. Tapi nenek itu tidak mau memberikannya. Sulit memang untuk tawar menawar seperti ini. Kalau saja ada bibi, pasti dia akan menawar lebih rendah dari harga yawar yang kuberikan sebelumnya.

"250.000 lah cantik. Sudah murah itu! Ini masih bisa dipakai bertahun-tahun lagi. Dimana dapat tas asli dengan harga murah seperti ini?"

"Kasih lah nek, 200 ribu! Duit saya pas-pasan!"

"Gak bisa sayangku. Kamu itu kan cantik, jadi cocok untuk pakai tas ini."

Dia terus merayuku. Padahal bukan aku yang akan memakai tas ini.

"230 ribu lah ya! Gak usah lah kita berdebat lagi. Udah murah itu!" Kata sang nenek lagi.

Aku pun jadi membelinya.

Setelah dari pajak barang bekas itu, aku singgah ke toko bunga yang ada di dekat sana. Aku membungkus tas tersebut dengan rapi lalu menuliskan besar-besar di atas kadonya, 'terima kasih, bibi!'.

Aku membawa kado itu dengan hati senang. Aku berharap bibi akan senang menerimanya.

Sesampai di rumah, bibi ternyata belum pulang. Padahal aku sudah tidak sabar melihat reaksinya saat menerima hadiah ini.

Aku menunggu hingga jam dua belas malam, tapi bibi tak pulang juga. Kemana dia?

Aku mencoba menelponnya, tetapi handphonenya tidak diangkat. Tidak biasanya bibi seperti ini.

Tak lama aku menutup telepon yang tidak diangkat-angkat, aku mendengar suara pintu terbuka. Aku berlari ke ruang tamu.

Wajah bibi tersenyum dengan seorang nenek tua yang berdiri di belakangnya. Aku tidak tahu siapa nenek itu. Rumah kami jarang ada tamu. Keluarga dari ayah dan ibu juga tidak aku kenal. Hanya bibi yang tersisa. Siapa dia?

Belum sempat menanyakan dari mana bibi dan kenapa dia lama pulang, dia sudah menyuruhku untuk membuatkan minum untuk tamu.

Sambil berjalan ke dapur, aku mencondongkan telingaku ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Sudah sekuat tenaga melakukannya, aku tidak mendengar apapun. Aku tahu alasannya. Pasti karena aku yang semakin jauh berjalan dari mereka.

Melihat wajah sang nenek membuatku tidak karuan. Aku merasakan firasat yang buruk akan terjadi.

Aku cepat-cepat membuat teh lalu mengantarkannya ke depan. Dua gelas teh terhidang di depan mereka. Saat aku datang, pembicaraan mereka terhenti. Apa ada rahasia yang ditutupi dariku?

Aku menggelengkan kepalaku. Ternyata bibi dari tadi memanggil nama ku.

"Ta! Ini nenek Marni. Ayo beri salam!" Ucap bibi.

Aku melakukan perintah bibi.

Sambil menyapanya, aku menilai rupa nenek tersebut. Dia memakai mutiara di lehernya. Mutiara itu sangat indah dan besar-besar seperti kelereng. Meskipun itu palsu, pasti kalung itu sangat mahal. Mungkin kw satu.

Aku melihat cincin dan melanjutkan ke model rambutnya yang sedang tren, bagaikan oma-oma yang ada di drama-drama korea. Aku cekikikan sebentar sambil menutup mulutku. Bibi langsung menegurku dengan memukul tanganku. Aku langsung kaku layaknya robot.

"Apakah kamu Cithaerias?"

Aku mengangguk. Aku melihat ke arah bibi dan dia menunjukkan wajah yang mencurigakan.

"Bekerjalah di perusahaan kami dan setelah cucu saya pulang dari Amerika, menikahlah dengannya."

"Menikah?" Kurasa mulutku bisa muat mereka berdua karena begitu lebarnya.

Bibi berbicara karena melihat tingkahku. "Tentu dia mau nyonya!"

Siapa yang berkata mau? Bibi tidak mempertimbangkan perasaanku sama sekali. Aku ingin menyela ucapannya, tapi tidak bisa karena ada nenek tua yang tidak tahu asal usulnya dari mana.

"Kalau begitu, kamu bisa datang ke perusahaan kami mulai senin depan." Ucap sang nenek. Dia meletakkan kartu namanya di meja dan berdiri.

"Kalau begitu, saya pergi dulu. Sampai ketemu lagi."

Bibi mengantarnya ke depan pintu. Aku mengikutinya. Mobil mewah yang disertai dengan supir membukakan pintu untuknya. Aku tidak pernah melihat mobil semewah itu selama aku hidup. Dia pasti sangat kaya. Mutiara yang dipakainya itu pun pasti asli.

"Uuuuyy.." seseorang memanggil kami dari luar pagar.

"Siapa yang datang itu? Dia pasti orang kaya!"

Ternyata itu ibu Mira, tukang jualan sayuran di sebelah rumah kami. Herannya, tengah malam begini dia masih bangun dan sibuk dengan urusan tetangganya.

"Teman itu ibu Mira!" Jawab Bibi.

"Wah, ada juga ya teman kalian yang kaya raya. Mobilnya itu mobil Mercedes Benz mahal lho! Kalian gak tau kan?"

Bibi hanya tersenyum dengan lembut. Lalu dia mengajakku pergi. Dalam hati, selama percakapan itu, aku cuma mengomel karena ucapannya yang sok pintar. Dia sangat-sangat menyepelekan keluarga kami.

Sesampainya di dalam, aku langsung menunjukkan kekesalan ku. Kenapa bibi mengambil keputusan tanpa bertanya padaku.

Dia berkata memberikan penjelasan, "Dia itu pemilik perusahaan tekstil terbesar. Cabangnya hingga ke Amerika. Dia yang menjumpai bibi di tempat laundry dan mencarimu. Lalu dia juga ingin kamu menjadi pendamping cucunya. Siapa yang menolak menjadi menantu konglomerat."

"Bibi, kebutuhan kita sudah cukup.."

Belum selesai berbicara, bibi malah memotong percakapanku.

"Siapa bilang kita berkecukupan?"

"Buktinya aku bisa kuliah!"

"Siapa bilang kita punya uang untuk kuliah mu?" Bibi menarik napas. Aku tidak pernah melihat dia semarah itu. Dadanya tampak mengambil udara yang banyak. Bibirnya digigitnya dan tangannya mulai menyandar di meja. Lalu dia berdiri tegak menatapku tajam. "Semua yang kamu butuhkan sekarang itu ditanggung oleh asuransi kematian orang tua mu. Jadi, itu cukup bagimu? Semua itu cukup untuk makan kita? Selesai dari kuliah ini, semua asuransi itu lepas dan kita tidak akan punya uang lagi. Jadi bibi tidak mau mendengar kamu menolak pekerjaan itu."

Suara bibi sudah menggertakku. Aku ketakutan. Tidak biasanya dia memperlakukanku seperti itu.

Bibi langsung pergi dan meninggalkanku.

Aku berteriak kepadanya dan berkata, "Jadi, bagaimana dengan perjodohan itu?"

"AKU TIDAK MENERIMA KOMPLAIN!" teriaknya lebih besar. Ini adalah teriakan pertamanya kepadaku. Selama aku bersamanya, aku tidak pernah mendengarnya berteriak padaku.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh SBS

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku