Medan, 1950
***
Sebuah mobil Plymouth hitam bergerak pelan menyusuri jalan, memasuki sebuah kampung bernama Sungai Agul, pada ketika itu sedang Hari Pekan, di mulut kampung ramai sekali orang berjual-beli, di pinggir jalan atau di halaman rumah. Meskipun ada satu-dua toko kelontong, kedai kopi dan kedai pangkas berada di jalan utama memasuki kampung, tapi tidak seramai kalau sedang hari pekan. Orang-orang yang berada di dalam mobil Plymouth hitam memperhatikan dengan tiada jemu-jemunya. Suasana kampung yang berada di pinggiran kota Medan ini, membuat mereka seperti sedang bertamasya saja layaknya.
Tuan Hanafi berkali-kali memberi tahu arah jalan kepada Pak Amat yang menyetir mobil. Sementara itu di bangku belakang duduk dua orang perempuan, Puan Yusra dan Aina—istri dan anak perempuan Tuan Hanafi—mereka terus saja melempar pandang keluar jendela mobil, tapi hanya Tuan Hanafi dan istrinya saja yang asyik berbincang, seperti burung murai sedang berkicau. Sedangkan anak mereka, Aina hanya diam memperhatikan suasana di luar. Sejak semula ia memang enggan untuk mengikut kedua orang tuanya itu—berkunjung ke rumah kawan lama Tuan Hanafi—karena sejak awal, Aina telah menangkap gelagat yang tak biasa dari makna kunjungan itu. Sedikit banyak ia sempat juga mendengar soal perjodohan. Ayah dan ibunya membincangkan keluarga Pak Bachtiar yang katanya punya anak lelaki. Mendengarkan perbincangan kedua orangtuanya, sejak semula Aina sudah menampik usul perjodohan itu.
“Apa kata kau, Aina?” ujar Tuan Hanafi sambil menoleh sedikit ke belakang.
Aina yang sejak tadi asyik melihat-lihat keluar tak segera menjawab pertanyaan ayahnya—ia pura-pura tak mendengar—dan masih saja melempar pandangan keluar jendela mobil.
“Aina, kau dengar Ayahmu tidak?” Puan Yusra—ibunya Aina—menyikut lengan anaknya.
Aina menoleh kepada ibunya dengan air muka seperti orang bodoh. Mulutnya terbuka sedikit. Kemudian daripada itu, ia melempar pandang ke arah Tuan Hanafi yang duduk di depan, di samping Pak Sopir.
“Jawablah Ayah kau itu, Aina,” ujar Puan Yusra lagi.
“Apa yang hendak dijawab, Ibu?” Aina mengerutkan keningnya.
“Janganlah seperti kura-kura dalam perahu.”
Tuan Hanafi menyindir putrinya. Ia masih terus saja memandang ke depan. Sekarang mobil berjalan agak perlahan karena memasuki Pekan¹ yang sedang ramai-ramainya orang berjual-beli hingga hampir saja menutup jalan.
“Soal usul Ayah kau tentang anak lelaki sahabatnya itu, anak Pak Bachtiar. Apa kata kau, Aina?” terang Puan Yusra. Ia berharap Aina tak bisa berkilah lagi dengan pura-pura tak mendengar.
“Ayah harap kau tak menampiknya. Bukan begitu, Yusra?” ujar Tuan Hanafi kepada istrinya sambil memiringkan sedikit kepalanya seperti hendak menoleh ke belakang, tapi urung dilakukan.
“Iyalah, dulu Abang berkawan dengan Pak Bachtiar, tentu saja Abang sudah tahu seluk-beluk keluarganya. Lazimnya buah jatuh tak jauh dari pohon, begitu jugalah pasti Pak Bachtiar dan anaknya itu,” Puan Yusra mengibas-ngibaskan kipas dari anyaman daun pandan--serupa tikar--yang dipegangnya.
“Oh, kalau masalah itu, kau tak usah ragu, Yusra. Bachtiar itu kawan sepermainan Abang, satu sekolah pula dan rumah kami dulu pun berhampiran. Aku dan dia itu seperti lepat dengan daun, macam saudara sudah. Kalau ditanya paras-rupanya? Amboii ... gagah benar ia pada masa mudanya dulu,” Tuan Hanafi mengurai kata. Kalau sudah membicarakan kawan lamanya itu, bukan main berapi-apinya ia.
“Anaknya pula bagaimana?” susul Puan Yusra.
Tuan Hanafi terdiam sejenak. Aina berdehem—batuk yang dibuat-buat—mengejek ayahnya yang terdiam. Mobil yang mereka tumpangi berhenti di tengah jalan, ketika seorang pedagang kambing menyeret kambing-kambingnya menyeberang jalan kecil di tengah Pekan. Kesempatan itu dipergunakan Tuan Hanafi untuk mengomel—pura-pura—menyalahkan penjual kambing yang serampangan menyeberang jalan. Aina berdehem-dehem lagi. Menggoda ayahnya.
“Ibu sudah bertanya, sekarang apa kata Ayah?” ujar Aina melepas geramnya melihat Tuan Hanafi yang tadi begitu berapi-api memuja-muja sahabat lamanya itu.
“Mmm ... memang sudah lama Ayah tak berkunjung ke rumah mereka, dan seingat Ayah, kali terakhir melihat anaknya, si Hafiz waktu ia baru berumur dua atau tiga tahun.”
Aina tertawa. Gelak-gelak. Lalu katanya:
“Amboiii ... sudah berpuluh tahun tak bersua, masih ingatkah mereka kepada, Ayah?”
Tuan Hanafi menoleh ke belakang. Memandang putrinya—Aina—dengan saksama.
“Baru sepekan yang lalu, Ayah bertemu dengannya.”
“Betul itu, Aina. Hari ahad yang baru lalu, Ayahmu bersua dengan kawannya itu, di Kantor Jawatan Perkebunan,” Puan Yusra menguatkan kata-kata suaminya.
Lalu Tuan Hanafi bercerita lagi, tentang kawan lamanya itu dan juga anak lelakinya yang bernama Hafiz. Entah dari siapa asal mulanya, di tengah pertemuan kedua kawan lama itu Tuan Hanafi dan Pak Bachtiar bersepakat untuk menjodohkan anak-anak mereka. Kemudian diaturlah pertemuan awal untuk saling memperkenalkan Aina dan Hafiz. Maka hari ini diputuskan keluarga Tuan Hanafi yang datang berkunjung lebih dulu.
Mendengar penjelasan ayahnya, bukan main geramnya hati Aina.
“Oh, kita pula yang datang ke rumah mereka, macam sumur mencari timba!” ujar Aina dengan nada suara yang tinggi.
“Tak ada salahnya itu, Aina. Pak Bachtiar yang menganjurkan Ayah untuk datang berkunjung,” Tuan Hanafi pula coba menyabarkan Aina.
“Kenapa Ayah mau?!” Aina meradang.
“Kalau kalian jadi menikah, hubungan baik Ayah dan Pak Bachtiar akan berlanjut sampai ke anak cucu. Lagi pula sejak dulu pun kami sudah seperti saudara, tapi alangkah bagusnya kalau hubungan itu dikekalkan dengan pernikahan kalian.”
/0/5182/coverorgin.jpg?v=b063e051933eb93352719ee6bdb9c1e6&imageMogr2/format/webp)
/0/5547/coverorgin.jpg?v=4029339d32ff0a77581a3df9e0c22aa7&imageMogr2/format/webp)
/0/17399/coverorgin.jpg?v=ce332ff4cfc7f860939dfb5ed516696b&imageMogr2/format/webp)
/0/3265/coverorgin.jpg?v=7827e8328c66449cb6ba03e6b9a882e1&imageMogr2/format/webp)
/0/15576/coverorgin.jpg?v=ae7c86108849a540d4251fae51083754&imageMogr2/format/webp)
/0/26716/coverorgin.jpg?v=442642f2aee24265e95d7d7f6f9a03f5&imageMogr2/format/webp)
/0/29163/coverorgin.jpg?v=c354ec2c6aed2db5390990818807a52d&imageMogr2/format/webp)
/0/27200/coverorgin.jpg?v=b250a528e180dbffa54c6e5df87dedc1&imageMogr2/format/webp)
/0/27225/coverorgin.jpg?v=afa14fbaade9b3a9d0c65a8433138a3b&imageMogr2/format/webp)
/0/27132/coverorgin.jpg?v=8a62a4074b9bfa878363e400e61cfb66&imageMogr2/format/webp)
/0/26710/coverorgin.jpg?v=b1cd94986537d9e613cddf067ac78116&imageMogr2/format/webp)
/0/29189/coverorgin.jpg?v=0833a9cb8133e62e2ac8bb4be13fef96&imageMogr2/format/webp)
/0/16078/coverorgin.jpg?v=c3990aa00c0bc5f2524051abfe2f061d&imageMogr2/format/webp)
/0/16886/coverorgin.jpg?v=c9265175ed17d54078e183f1c3216577&imageMogr2/format/webp)
/0/15510/coverorgin.jpg?v=dc3cc79b18515863a006a3df9c4993fa&imageMogr2/format/webp)
/0/18350/coverorgin.jpg?v=2d2967f9a95dc6e8d8accc80dac0dc3e&imageMogr2/format/webp)
/0/2925/coverorgin.jpg?v=4f6c2089a306db7c05d48183b939e157&imageMogr2/format/webp)
/0/2636/coverorgin.jpg?v=6af8154aa17e7843e124180b40741a9a&imageMogr2/format/webp)