Rusly sudah berani membawa selingkuhannya ke dalam istana surgaku. Bagaimana bisa dia tega dan terang-terang membawa perempuan lain ke dalam bahtera rumah tanggaku? Apakah dia sudah tidak lagi menganggap ku ada? Atau dia sudah tidak cinta lagi kepadaku? Aku akan memberi perhitungan kepada dia dan wanita murahan itu. Lihat saja nanti, diamku bukan berarti aku kalah.
Kain Basahan Basah di Kamar Mandi
Part 01: Kain Basahan Basah
"Pa, kok ada di rumah? Bukannya tadi sudah berangkat ke kantor?" cecarku dengan heran. Aku menautkan satu alis ke atas.
"Ada yang ketinggalan," jawabnya santai.
"Semuanya sudah kusiap 'kan tadi. Kenapa masih ada yang ketinggalan," tanyaku kembali.
"Sudahlah jangan banyak tanya. Berkas ini sangat penting buat meeting siang ini bersama klien kita, Ma. Maka dari itu, aku pulang mengambilnya," jawab Rusly dengan santai sembari membereskan kemeja dan dasinya.
Tiba-tiba, aku kebelet ke kamar mandi, aku terkejut kain basahan basah di kamar mandi dan yang lebih mengejutkan lagi tetesan airnya masih deras menetes. Lantai dan dinding kamar mandi masih setengah kering. Tidak hanya itu, botol shampo yang tidak pernah aku beli dan pakai ada di tempat sabun. Merk shampo ini biasa dipakai perempuan. Cuma aku perempuan di rumah ini. Nggak mungkin Bu Ijah pakai shampo merk ini.
"Papa baru selesai mandi ya?" tanyaku menyelidiki sambil keluar dari kamar mandi.
Masih kuingat suamiku duluan mandi daripada aku. Kenapa kain basahan ini basah? Otakku terus berpikir kejadian yang sangat aneh menurutku.
"Mandi! mau pipis saja nggak sempat, Ma. Aku pulang ke rumah mau ambil berkas ini saja, nggak lebih," jawab Mas Rusly sambil memperlihatkan map batik. Dia menuju meja rias. Kemudian duduk dan meletakkan map itu di atas meja rias. Sesekali dia menyisir rambutnya.
Aku melangkah masuk kembali ke dalam kamar mandi. Tidak buang-buang waktu, aku mencari tahu kebenaran yang telah terjadi.
"Ini shampo siapa Pa?! Dan Kenapa kain basahan ini basah?" tanyaku dengan bertubi-tubi.
Kubawa botol shampo itu menghampiri Rusly yang sedang duduk di meja rias. Dia asyik menyisir rambutnya dan sesekali melirik ke arahku.
Seketika wajah Rusly berubah merah. "Ma! Bisa nggak sih, nggak curiga samaku. Kalau aku mau selingkuh sejak dulu bisa. Mana mungkin aku mengkhianatimu, Ma!" jawabnya mulai emosi.
Nada suaranya sudah mulai naik dan tidak seperti biasanya. Rasa curigaku mulai meronta untuk membuktikan suamiku selingkuh atau tidak. Namun, aku masih bisa menahan diri untuk bermain cantik.
"Aku masih ingat betul kamar mandi yang aku tinggalkan seperti apa, Pa! Shampo ini nggak ada tadi. Mana mungkin perempuan lain mandi di sini kalau bukan kamu yang bawa, Pa!"
Aku tersulut emosi, rasanya aku ingin menampar wajah suamiku dengan keras. Ternyata aku tidak bisa menahan amarah dan rasa curigaku pada suamiku.
"Belakangan ini mama selalu curiga setiap gerak-gerikku. Aku risih dengan tingkahmu, Ma."
"Wajar dong aku menaruh curiga sama papa. Kebiasaan papa jauh berubah semenjak naik jabatan."
Rusly berpikir sejenak, dia baru sadar kalau aku selalu memperhatikan setiap gerak-geriknya.
"Berubah apanya, Ma?! Perasaan aku biasa saja. Pikiranmu saja yang berlebihan dan terlalu menaruh curiga padaku," ucapnya pergi melangkah turun ke bawah. Langkah kakinya sangat cepat menapaki anak tangga.
"Aku belum selesai ngomong Pa! Tolong jelaskan apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dariku!"
Aku terus berusaha mencari kebenaran yang ada. Aku yakin, suatu saat kebusukan suamiku pasti tercium juga.
"Nggak ada rahasia yang aku sembunyikan, Ma! Sudahlah aku mau pergi ke kantor, takut terlambat."
Rusly terus melangkah dan sambil mengotak-atik ponselnya. Tidak berapa lama, dia memasukkan gawainya ke saku celananya. Dia fokus berjalan dengan cepat.
Aku melihat map batik tinggal di atas Meja rias. Aku mengayunkan kakiku menghampiri map itu lalu kuambil. Mataku melotot melihat ada sehelai rambut panjang dekat map tersebut.
'Nggak mungkin rambutku, aku cuma memiliki rambut pendek, itu pun sebahu. Rambut siapa?' gumamku sembari memperhatikannya dengan seksama.
Kukejar Rusly sambil membawa map dan sehelai rambut tersebut. Langkah kakiku sengaja aku percepat.
"Pa ... Pa ... Mapnya ketinggalan," teriakku memanggil sembari mengejarnya.
Dia tidak menggubris panggilanku. Aku heran seketika, katanya berkas dalam map ini penting buat bahan meeting. Kenapa map-nya ketinggalan tidak dihiraukannya? Pertanyaan ini muncul di benakku.
Rusly berhenti tiba-tiba, ponsel miliknya berdering. Dia merogoh kotak perseginya dari dalam saku celananya. Tidak butuh waktu lama, dia menjawab panggilan telepon tersebut.
[Sayang aku lupa membawa shampoku di kamar mandi. Takut kalau Nesya menaruh curiga kepada hubungan gelap kita. Merk shampo itu bukan sembarangan orang pakai,] ucap wanita itu di ujung sana.
Kebiasaan suamiku kalau menerima panggilan telepon, dia selalu mengaktifkan speakernya. Sehingga aku dapat mendengar isi percakapan suamiku dengan lawan bicaranya.
Deg!
Jantungku berdegup kencang, darahku mulai mendidih mendengar ucapan perempuan yang baru saja bicara sama Rusly, suamiku.
[Sudah aman kok sayang, untung saja aku bisa bersilat lidah. Pokoknya kamu tenang saja. Nggak bakalan ketahuan kok sama istriku,] jawab Rusly dengan santai.
Suamiku tidak tahu kalau aku sekarang menguping di belakangnya. Kebiasaan buruknya masih saja melekat pada dirinya yaitu kalau menelpon selalu mengaktifkan speakernya. Itu sebabnya aku mendengar jelas ucapan mereka via telepon.
[Usai meeting kita lunch di tempat biasa ya, sayang. Aku klepek-klepek sama kamu. Pokoknya aku nggak bisa jauh dari kamu, sayang.]
Suara perempuan itu kembali menggoda suamiku. Darahku mendidih mendengar kata sayang. Suamiku masih saja santai dan belum mengetahui kalau aku di belakangnya.
"Pa! siapa wanita itu?! Kenapa bisa dia memanggil sayang, jawab Mas!" amukku, rasa emosi sudah tidak terkontrol sehingga kurobek map batik itu di depannya.
"Mama! Kamu sudah gila ya?! Itu berkas sangat penting buat karierku. Kenapa di robek?" ucap Rusly sambil menampar jidatnya.
Ponsel miliknya masih saja melekat di daun telinganya sebelah kiri. Tidak berapa lama, sambungan telepon terputus.
"Lebih bagus jabatan kamu biasa-biasa saja daripada seperti ini, Pa! Betul pepatah mengatakan, semakin tinggi pohon itu semakin kencang angin menerpanya. Papa juga seperti itu, semakin tinggi jabatan kamu semakin banyak wanita lain di luar sana mulai menggodamu!"
Plak!
Sebuah tamparan menepis di wajahku. Aku mengelus pipi mulusku yang baru saja panas karena pukulan yang diberikan Rusly padaku.
"Kamu jahat, Pa. Aku tidak menyangka kamu setega ini memperlakukanku. Sudah banyak bukti yang aku temukan satu hari ini. Mulai dari kain basahan yang basah, botol shampo, sehelai rambut panjang dan kamu telah terang-terangan menjawab telepon wanita lain dengan nada mesra. Papa kira aku bakalan diam dengan semua bukti yang sudah cukup jelas."
"Terus kamu mau apa?!"
Rusly bukannya tidak merasa bersalah malah dia semakin melawan. Dia tidak tahu diri, kalau asal muasalnya kariernya naik dan cemerlang berkat usahaku.
"Aku mau cerai, Pa!"
"Tidak bisa."
Rusly berkacak pinggang sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Dia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Kalau kamu nggak mau, aku akan menggugat cerai kamu, Pa!"
"Berani kamu menggugat ceraiku, hidupmu akan melarat. Kamu nggak tahu siapa aku sekarang. Aku bisa mencampakkan kamu laksana sampah tidak berguna."
Rusly sudah berani melawan. Dia sudah merasa hebat, sehingga bisa berkata seperti itu.
"Silahkan Pa! kalau kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang sudah lama bersamamu. Aku menerimamu apa adanya mulai dari nol, sekarang kamu sukses dan kaya raya malah mencampakkan aku laksana sampah tak berguna. Kamu kira aku diam, kita lihat saja siapa yang bakalan menderita dan menyesal."
Sudah saatnya diriku bangkit untuk melawan kekejian suamiku.
"Kamu itu cuma wanita biasa. Hidupmu sekarang bergantung kepadaku. Kalau aku tidak memberi uang kepadamu, mana bisa kamu makan."
Rusly lupa kalau aku bekerja dan menjadi wanita karier.
"Kamu lupa kalau aku punya penghasilan sendiri. Aku ini sudah bekerja."
"Oh iya, aku lupa. Kalau kamu itu karyawan biasa."
Rusly mengukir senyum smirk. Dia sangat bahagia melihat aku mati kutu dan tidak bisa menjawab lagi.
"Sayang ...!" suara wanita terdengar jelas membuyarkan perang dingin antara aku dan suamiku.
"Kamu ...," ucapku terjeda dengan mulut menganga.
Bersambung ....
Next?
Buku lain oleh Hasibuan Official
Selebihnya